Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Adik Saya Bernama Tatub

Salam, Saya menulis setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah, ditemani susu coklat hangat dan puding labu yang saya buat kemarin. Bersantai sejenak. Kali ini saya akan menulis tentang kehidupan sebagai kakak perempuan dari adik laki-laki. Saya memiliki adik laki-laki yang akan berusia 10 tahun pada awal Desember mendatang. Namanya Maschub, saya biasa memanggilnya Tatub atau Atub. Selama di rumah, saya kadang mempersiapkan segala keperluan sekolahnya. Mulai dari membangunkannya tidur, membuatkan sarapan, menata buku pelajaran, hingga memastikan alat-alat tulisnya layak digunakan. Setiap kali, saya bangunkan Tatub jam 05.30, atau mungkin sebelumnya. Tatub harus ke kamar mandi lama untuk buang air besar sekaligus main air, jadi ketika membangunkannya, saya katakan, "Udah jam setengah tujuh, ayo bangun," hanya agar dia tidak telat. Kadang harus digendong sampai kamar mandi, kadang juga harus dicubit agar mau bangun. Saya jadi ingat saat ibu membangunkan saya sewaktu mas

Lewat Tulisan

Pram bilang, menulis adalah pekerjaan untuk keabadian. Jika umur hanya bertahan 60-70 tahun, atau bisa saja lebih, bahkan kurang, maka menulis membuat orang hidup lebih lama. Hidup dipikiran orang-orang selama puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun lebih lama. Itu mengapa pekerjaan menulis menarik antusias saya. Membaca karya tulis juga membuat saya mengenal orang-orang dari berbagai zaman yang berbeda. Seperti mendengar penulis bercerita tentang pikirannya, bahkan saya bisa memilih orang mana yang ingin saya dengarkan dan yang sama sekali tidak saya inginkan. Beberapa waktu lalu, seseorang bertanya di akun sosial media. Dia, yang tidak saya ketahui, bertanya tentang kerennya penulis. Saya katakan, salah satunya adalah tentang penulis yang hebat akan lebih hebat dari eksekutor, atau siapapun yang memegang senjata. Senjata adalah salah satu sumber kekuatan dan kekuasaan. Dia bisa digunakan untuk memaksa orang lain melakukan apa saja yang diinginkan pemegang senjata. Jika tidak, ma

Menjadi Tepat

Salam, Akhirnya saya kembali menulis lagi. Kali ini saya menulis dalam perjalanan menuju Surabaya. Saya baru saja membaca sebuah buku yang inspiratif, tapi bukan itu yang ingin saya tulis. Saya ingin menulis tentang perasaan saya. Sejauh empat bulan kami, saya dan kekasih, bersama. Beberapa hal datang, beberapa hal terjadi, syukurlah kami masih bersama. Saya akan menuliskannya beberapa di sini. Kami tidak berlatar belakang studi yang sama. Saya tidak banyak tahu tentang apa yang dia pelajari, begitupun dia tak banyak tahu tentang apa yang saya pelajari. Meski begitu kami berusaha mengenal masing-masing. Saya selalu mendengarkan ketika dia mulai bercerita mengenai hal yang sedang dikerjakannya, begitupun dia banyak mendengar tentang ketertarikan saya. Saya kadang tak mengerti apa yang dibicarakannya, meski sudah bertanya. Meski begitu saya dengarkan saja, dia tahu saya tak paham. Beruntungnya, ilmu politik adalah ilmu yang mungkin banyak sekali dibicarakan orang, banyak diberita

Teruntuk Kamu, Satu Lebih Tujuh

Teruntuk kamu, tepat satu tahun dan tujun bulan, aku mulai mengenalmu. Baju merah bergaris, raut mukamu serius. Aku duduk di anak tangga yang hanya berjumlah tiga, mendengar kamu dan teman-temanmu saling bicara. Aku tak mengerti bahasan itu, aku bukan bagian. Kamu datang berkenalan, sebatas basa-basi untuk menjadi teman. Tak satupun dari kita tahu, dari sanalah semua bermula … mungkin.    Candaan teman-temanmu, sikap anehmu … dan kutahu saat itu kamu mencoba. Pesan pertama darimu, ucapan terima kasih karena telah datang dan membantu. Baiklah, mari kita coba. Perjanjian yang tertunda, waktu yang terbuang untuk menunggu, sikap acuh dan egoisku … apa aku mengecewakanmu? Saat itu kita tahu, percobaan kita tak bisa berlanjut … dan kamu hilang, aku hilang. Labolatorium itu kosong, tak menyisakan siapapun.    Tujuh bulan lalu, tak kutahu apa yang membawamu kembali pada percobaan ini. Aku tahu betul, masih ada yang menahan kita di belakang. Tidakkah ini terlalu memaksa? Tidakku y

Ruang Dengan Ventilasi

Kubiarkan ventilasi terbuka Membiarkan udara menyelinap masuk Agar ruang tak jadi hampa Terlampau dingin hingga menusuk Mengapa tak kunyalakan lilin saja? Api bisa menyala dengan sedikit udara Lantas gelap menyingkir, menepi Teranglah ruang meski sepi Tak terpikir angin membututi semena-mena masuk dengan gaduh Apa begini rasanya hidup kembali Setelah sekian lama berjarak dan menjauh Kau datang dengan berisik Memenjarakan sepi pada tempatnya Kau yang buat api menyala meski sepercik Kau pikir aku suka? Nyatanya iya, dan entah apa lagi yang kau buat nanti Hei, tidakkah kau merasa? Suatu saat kita harus berhenti Ya, berhenti seperti ini Seperti anak kecil dengan gulali, dan mulailah mengerti Sisi-sisi tak manis dalam diri Bojonegoro, 8 September 2015

Tak Berhenti

Malam ini gelap memekat, seperti hendak merampas cahaya dari sumbernya. Tidak, dia hanya menghalangi mataku agar tidak menangkap cahaya. Dingin. Genap hampir enam bulan lamanya sejak aku mengantarkannya ke Bandara. Sejak itu pula kami terpisah beribu kilometer, untuk waktu yang lebih lama, dan mungkin akan lebih lama lagi. Malam ketika dia menelepon dari jarak sejauh itu, aku mendengar suaranya yang sungguh lelah, seperti melihatnya dipangkuanku terlelap sambil menggenggam tanganku. Dia berbicara secukupnya tentang aktivitasnya, kudengarkan dengan seksama sembari memvisualkannya di pikiranku. Hampir setiap hari dia meneleponku, kami mencari waktu yang tepat, seolah waktu juga tak bersahabat setelah jarak yang memuai, melebar, dan memanjang. Semakin hari semakin sulit, dan komunikasi jarak jauh tersebut kian jarang, kian singkat. Aku hafal laki-laki yang telah bersama selama bertahun-tahun lamanya. Sikapnya yang selalu dingin, tapi entah mengapa menjadi lebih dingin. Lantas, darima

Manusia dan Pohon

Rel-rel terlihat memuai di ujung barat dan timur. Suara kereta sekitar 100 meter di depanku, nyaring sekali terdengar, sekejap setelahnya hanya suara manusia bercengkrama yang tak jelas di telinga. Di sampingku, duduk laki-laki berkacamata yang sedang fokus dengan komputer portabel kecil di hadapannya. Aku sendiri menuliskan ini, di buku harian kecil bersampul cokelat milikku, sebelum akhirnya menyalinnya menjadi tulisan yang bisa kalian baca. Lewat ekor mata kuperhatikan laki-laki yang tengah duduk di sampingku. Kami sangat dekat, sampai kulit tangan kami bersentuhan sesekali. Kusandarkan kepalaku pada lengan tangannya. Bahunya terlalu tinggi untukku, lantas dia menurunkan bahu kanannya. "Mengantuk?" Dia bertanya. Aku menggeleng. Kulirik apa yang sedang dikerjakannya dengan begitu serius. Angka-angka dan grafik yang tak kumengerti. Lama-lama aku mengantuk juga, tapi kereta kami akan segera datang. Aku kembali duduk dengan posisi tegap sebelum kantuk menyerangku. Dia m

Jalan Buntu

Pagi yang sulit untuk mengawali dengan tulisan, dan entah apa yang akan ditulis oleh tangan. Hari-hari ini seperti ingin ditarik kembali pada bayangan lalu. Seperti ada yang masih bersisa dan tak mau untuk dibiarkan begitu saja. Harus ada penyelesaian, entah bagaimana caranya. Tapi sekali lagi, buntu, tak tahu apa yang harus diselesaikan, bagaimana caranya, dan bagaimana memulainya. Mereka bilang, aku penulis yang ambigu, penulis yang absurd. Aku penulis? Bukan hal yang ingin kubahas, pun tak tahu apa yang ingin kubahas Beberapa hal dalam diri menuntut untuk dibebaskan. Terlalu sesak di dalam, terlalu ramai, sudah memuai. Ada reaksi-reaksi yang bahkan aku tak sadari, sejak kapan bereaksi dan apa yang menyebabkannya bereaksi. Pereaksi apa yang kuberikan? Hal yang paling jeas adalah harus ada pembebasan, Hanya aku tak menemukan jalan keluar. Entah, hanya kata entah yang bisa kukatakan. Seperti tidak ada penjelasan untuk apa-apa yang terjadi. Ingin mencari tahu, tapi tak bera

Cerita Pendek : Perempuan Juga Ingin Merdeka

Siang itu kami duduk santai menghabiskan waktu bersama. Hanya tinggal beberapa jam sebelum dia akan kembali ke kota. Aku masih membaca sebuah buku sembari menanggapi candaan-candaan ringannya. Orang mungkin akan melihat ini sebagai aktivitas yang membosankan. Duduk diam, hanya sesekali bercengkrama. Tidakkah menarik mengamati raut muka pasangan yang sedang serius berpikir, atau terlihat menikmati pekerjaannya? Menggambarkan macam-macam ekspresi wajahnya dalam tumpukan kertas sketsa. Bukankah hal yang sangat romantis ketika kami saling menatap dan tersenyum? Kebahagiaan yang tak terkatakan. Seringkali kata mereduksi makna, tapi bukan berarti menjadi tak perlu. "Apa kelak kau akan membenciku?" tanyanya tiba-tiba. Aku menggeleng tak tahu, "Kenapa dengan pertanyaanmu?" "Tidak, hanya saja sering melihatmu membaca tentang feminisme." "Dan?" "Mungkin kau akan mengutuki laki-laki. Aku laki-laki." Aku geli mendengar perkataann

Cerita Pendek : Perjalanan Pulang

Perjalanan pulang sore hari, jalanan macet dipenuhi kendaraan. Kunyalakan radio yang memutarkan lagu-lagu lawas, kami menikmatinya. Tiba-tiba teringat bertahun-tahun lalu, perjalanan pulang sore hari bersamanya. Menyenangkan mengingat memori kami. “Mau menepi sebentar?” tanyaku padanya. Dia mengernyitkan dahi, seolah berkata tidak bisa mengabulkan permintaanku. “Kalau sudah tidak macet.” Aku tersenyum memberikan penjelasan Dia mengangguk, lantas melihat ke arahku. “Ada apa?” Tak kujawab pertanyaannya. Kuturunkan sedikit kaca mobil, lantas kukeluarkan tangan kiriku sampai pergelangan. Angin melewati celah-celah jari, hangat. Suhu di dalam jauh lebih dingin. Kugerak-gerakkan jemariku, kemudian bersandar di pintu yang terkunci rapat. Dulu sekali, perjalanan pulang di sore hari selalu menyenangkan. Romantis tak terkatakan. Dia duduk di depan memboncengku. Kayuhannya pelan, kami selalu menikmati perjalanan pulang. Kesempatan berdua beberapa menit yang berharga, den

Cerita Pendek : Insecure

Sekian lama kami saling diam, tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Malam minggu ini seperti biasa, ketika dia datang untuk bertemu (?). Kuhidangkan secangkir cappucino untuknya ,dan secangkir cokelat panas untukku, lantas dia berkencan sendiri dengan laptop dan urusan bisnisnya, sedang aku menenggelamkan diri dengan buku-buku fiksi, pensil, dan kertas sketsa. Kumisnya tipis, rambutnya sedikit lebih panjang dari biasa, kantung matanya bertambah tebal, aku tahu banyak urusan yang mengganggu pikirannya beberapa hari terakhir. Meski begitu kami masih meluangkan malam minggu bersama. Sadar aku mengamatinya, dia meraih tangan kananku dengan tangan kirinya. Mengusap tanganku dua kali, lantas menggenggamnya. Kulepaskan genggamannya, lantas kudekatkan diriku, dan merapikan rambutnya. Sekarang aku duduk tepat disampingnya, mengambil posisi membelakanginya. Bersandar. “Aku akan keluar kota esok lusa,” ucapnya tiba-tiba. Aku tak pernah terkejut mendengar kalimat semacam itu, bahkan ket

Pulanglah, nak

Malam melelap, jutaan ekor terbebaskan jiwanya di kala malam. Sedang beberapa melebur dosa dengan doa, tidur, dan sakitnya, sementara lainnya menebarkan. Ratusan kilometer jauhnya, ketika manusia melampaui batasan bernama jarak. Ditengah lelap sang anak, seorang Ibu menelepon. Jarum jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Sayup si anak melihap telepon genggamnya, gemetar dengan tanya mengapa sang Ibu menelepon sepagi ini. "Halo, assalamulaikum," telepon diangkat. "Waalaikum salam. Nak, bagaimana kabarmu?" Ibu itu bertanya dengan nada berat. Tertanya dalam batin si anak, ada apa dengan Ibunya. "Baik, bu. Apa Ibu sakit?" "Tidak, hanya rindu padamu," jawabnya singkat. Sudah hampir dua bulan lamanya mereka tak berjumpa. Tiba-tiba terasanya nyeri hati si anak mendengar jawaban sang Ibu. Pekerjaan memakan terlalu banyak waktunya barang untuk sekedar menelepon, mendengar suara sang Ibu. Apalah yang bisa diperbuat pesan singkat, bahkan telepon t

Tanya Manusia (?)

Tiba-tiba cermin memantulkan mata, nanar kupandang sendiri wujudku. Sekelebat tanya, tanya, kemudian tanya. Aku manusia. Apa itu manusia? Tuhan menuhan... dewa mendewa... manusia menghamba, mendewa, menghewankan sesama. Sama? Apa kita sama? Kicau-kicauku tak bermakna. Sendiri, kujawab dengan menduga-duga, meraba kemungkinan terdekat. Katanya, ini pikir yang menjadikanku ada. Tanya-tanya bodoh sampai habis daya. Ah sudahlah, hanya renungan bocah saja. (Diposting pertama kali di akun Facebook 20 Mei 20015, 20:30)

Kacamata Amatiran : Prediksi, Perkenalan dan Perjanjian

Salam, beberapa waktu lalu saya berjanji untuk menulis kembali menenai urusan hati, and this is it. Sebelumnya, saya akan memberitahu terlebih dahulu, yang kalian baca nanti bukan saran maupun tulisan seorang profesional. Tulisan ini hanya tulisan amatiran yang ingin berbagi pemikiran, mungkin juga perasaan (?). Saat ini saya sedang ada di atas kereta api, perjalanan pulang dari Surabaya ke Bojonegoro. Saya teringat beberapa teman pernah menanyakan pendapat saya mengenai hubungan percintaannya. Ada yang bercerita mengenai pasangan yang menuntutnya untuk lebih dewasa ( tidak sering cemburu, marah, dsb), ada yang bercerita mengenai pasangannya yang terkesan posesif, ada yang bercerita mengenai pasangannya terlalu akrab (dekat bahkan genit) dengan perempuan/laki-laki lain, atau mengenai pasangannya yang berselingkuh, dan banyak lainnya. Sebelumnya memutuskan untuk menjalin hubungan, kita semua pasti sudah mengenal pasangan, bukan? dan tentu kalian sedikitnya paham mengenai sifat, k

Tulisan Pagi Menjelang Konsultasi

   Salam, pagi ini saya datang ke Kampus lebih awal dari biasanya. Tepat pukul 08.00 pagi saya sampai di Departemen politik untuk bertemu dosen pembimbing. Saya seharusnya datang pukul 09.00 sesuai janji, namun karena sedikit gugup, saya memilih untuk berangkat lebih awal. Ada yang bilang, menunggu berjam-jam lebih baik daripada terlambat satu detik. Sebenarnya bukan itu poinnya, alasannya adalah kemarin saya datang ke Kampus pukul 09.30 dengan harapan bisa menemui Dosen pembimbing untuk berkonsultasi (belum membuat janji sebelumnya), namun sekitar pukul 09.00 beliau telah meninggalkan Kampus. Begitulah kenapa saya datang lebih awal hari ini.    Saya letakkan beberapa naskah skripsi di atas meja yang panjang, di depan ruang Departemen Politik. Naskah tersebut telah dibubuhi coretan-coretan oleh Dosen pembimbing. Saya menunggu sembari menuliskan ini, hanya untuk mengurangi kegugupan. Saya berharap tak banyak coretan yang akan diberikan kali ini.    Biar saya gambarkan Dos

Kacamata Amatiran : Urusan Hati

Salam, Saya menulis dari lantai satu sebuah perpustakaan di Kampus saya. Ramai, saya dikelilingi oleh mahasiswa yang tengah asik dengan laptop. Entah apa yang ada dihadapan mereka, entah apa yang menyita perhatian mereka, yang saya ketahui dengan pasti adalah curahan hati seorang dari balik telepon genggam yang saya pegang. Saya ingin membahas ini disini. Tentang kisah cinta, meskipun saya bukan siapa-siapa, bukan orang yang berpengalaman, tapi saya ingin membagi sedikit pemikiran saya. Adakah diantara kalian yang sedang berada dalam suatu hubungan dan merasa jika pasangan tak lagi menarik, tak lagi membuat kalian jatuh cinta, atau bahkan kalian merasa jika seorang lain lebih menarik dari pasangan? Saya tidak akan menuliskan mengapa itu terjadi, karena saya bukan orang di dalam hubungan. Tapi jika itu terjadi, tanyakan pada diri kalian, masihkah pantas hubungan dipertahankan? Masih pantaskan dia untuk dipertahankan dan maukah kalian mempertahankan? Jika tidak, maka tidak ada ala

Hujan Di Bulan Tiga

Hujan di bulan tiga, bulir air berserakan di kaca. Sesekali angin mendesis pelan, sesekali kencang tak tertahan. Mata-mata bercermin, diam tak bergeming. Kemudian Hujan dan hujan, banyak kalimat tak tertahan. Terakhir hanya beku. Dingin dan perlahan mencair, seperti awan yang mengelabu, dan air-air yang tergelincir Bulan tiga kala itu, senja menghilang. ( 22 Maret 2015, 00:06)

Kamis Malam Bercerita

Salam, Beberapa hari membingungkan, saya menjadi tidak produktif sama sekali. Seumur-umur, baru kali ini saya merasa menjadi sangat tidak berguna di saat yang tidak tepat. Kewajiban tidak tuntas, aktifitas tidak berubah (tidak produktif) dan banyak hal lainnya yang menjadikan penyesalan. Ya, saya banyak membuang waktu termasuk untuk terus menunggu (?). Saya sendiri bingung apakah saya menunggu, tapi saya tidak mengharapkan kedatangan. Lantas siapa yang saya tunggu bertahun-tahun lamanya? Entahlah. Seringkali orang bertanya siapa yang saya tunggu, pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu saya tak pernah mengalami masalah. Kemudian, seorang teman dekat datang dan menunjukkan ketertinggalan saya. Bahwa semua telah beralih, berpindah dan mambuat perubahan, namun saya masih dalam ruangan yang saya sendiri tidak tahu betul apa gunanya, namun dengan setia berada disitu. Dia kemudian bertanya, apa saja yang telah saya lakukan, apa yang saya mau, dan mengapa saya melakukan semua ini. Saya

Kala Itu, Cinta

Salam, Untuk kedua kalinya di malam ini saya menulis. Kali ini saya ingin membahas topik yang sama namun berbeda. Menyaksikan seorang teman yang gugup hendak bertemu dengan sang pujaan, rasanya teringat ketika jatuh cinta (dulu). Cinta seperti apa? kali ini benar, tulisan ini membahas tentang cinta pada sesama manusia (?). Perasaan peduli kepada orang lain lebih dari diri sendiri, perasaan khawatir saat pujaan tak kunjung datang menemui, perasaan rindu saat tak berjumpa, perasaan sakit melihat deritanya, ya seperti itu kira-kira. Saya ingat, dia adalah orang pertama yang membuat saya jatuh cinta, orang pertama sekaligus penyiksa yang luar biasa. Tak sekalipun saat bersamanya saya katakan bahwa saya cinta. Fase denial karena dia sama sekali bukan tipe ideal yang saya mimpikan. Bukan lelaki dengan kecerdasan diatas rata-rata, bukan pendiam yang menyimpan sejuta misteri, bukan lelaki dewasa yang bisa bersikap manis dan memperlakukan perempuan dengan baik. Dia jauh sekali dari itu.

Tulisan Menjelang Petang

Salam, Selalu membutuhkan waktu yang lama untuk menulis lagi di blog ini, berbagi dengan pembaca (?). Beberapa waktu lalu teman saya berkata bahwa saya adalah tipe orang yang mudah sekali menjadi korban PHP bila menyangkut masalah hal yang dicintai, terlalu munafik. Sedikit menampar saya, tapi ada benarnya. Terlalu senang dan lupa untuk membicarakan hal yang sejujurnya penting. Bukan hanya dalam urusan percintaan yang sebenarnya, tapi juga kesenangan. Saya lengah di bagian itu. Beberapa waktu lalu, saya memutuskan hal yang mungkin menjadi awal perubahan dalam hidup saya. Saya pikir akan seperti itu. Saya menjalani karena 'suka', jatuh cinta dalam hal tersebut. Saya menaruh kepercayaan bahwa semuanya akan berjalan seperti yang saya bayangkan di awal. Excited, super semangat..seperti yang biasa saya lakukan. Kemudian menjadi lelah, sedikit demi sedikit mempertanyakan apa saya melakukan yang saya cintai? saya merasa sedikit kehilangan perasaan senang saat menjalani. Ini sep

Januari Pembuka

Gambar
Salam, Pagi ini, dari sebuah kantor kecil tempat saya akan menginap selama beberapa hari mendatang, saya akan mulai menulis lagi. Hari pertama, pada Jum'at lalu saya dengan beberapa teman sampai di stasiun Lempuyangan, tepatnya pada jam 14.08. Delapan menit molor dari jadwal yang tertera di tiket kereta. Sambil menunggu, kami memutuskan untuk mampir di sebuah warung kopi di seberang pintu keluar stasiun. Saya pribadi bukan penggila ataupun penikmat kopi, saya putuskan untuk memesan satu gelas susu cokelat hangat. Seorang teman bercerita mengenai pengalamannya menikmati kopi. Dia berkata, setiap daerah memiliki kekhasan rasa dan aroma kopi. Kopi hitam dan pekat, bukan kopi rasa-rasa seperti yang berjejeran di Mall-mall. Kopi-kopi palsu yang rasanya sudah tak asli lagi. Sudah banyak dicampuri gengsi Saya sepakat jika mengatakan orang ini adalah pecinta kopi sungguhan. Sesampai di kantor pusat KoPi, kami menemui banyak teman, kami disambut hangat. Khas sekali, Jogja. Ramah

Rumah Tanpa Pintu (?)

Salam, Malam ini ingin menulis tentang sesuatu yang berbau perasaan. Belakang terlalu banyak menulis, tapi tak satupun mengandung nyawa, kupikir aku tak benar-benar menikmati tulisanku belakangan ini. :) Diruangan tanpa jendela ini, alunan musik berpadu dengan suara blower dan kipas angin. Lampu kamarku masih menyala, aku tahu ini hampir tengah malam. Di kamar tak berjendela ini, cahaya bintang tak dapat masuk, tapi pikiran bergelora. Sejujurnya aku tak tahu apa yang sedang kutulis, hanya perasaan ingin menulis, supaya lega. Aku penasaran, apakah rumah masih disebut rumah jika tak ada yang pulang? Lantas bagaimana jika pintu tak lagi mau membuka? atau jendela tak lagi mampu membawa masuk cahaya? Apakah bangunan itu masih bisa disebut rumah? atau hanya bangunan kosong tak berpenghuni? Apakah rumah adalah bangunan atau suasana yang tercipta? Dan apakah ada rumah yang tak dapat membukakan pintu selain pada penghuni pertamanya? Sedang diluar ada penghuni yang mampu merawat d