Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Adil-Adilan Soal Keadilan

"Seorang terdidik, haruslah sudah adil sejak dalam pikirannya." Entah benar atau salah susunan kutipan di atas. Tetapi, kalian sudah tentu tahu siapa yang berkata demikian, bukan? Bukan aku, tentu saja. Pram, dalam kutipan di atas, kuartikan sedang ingin berkata bahwa orang terdidik memiliki kesempatan untuk mengakses banyak hal, yang mendukungnya untuk berpikir adil. Boleh sejenak kita melihat dari sisi lain? Ada kemungkinan besar, mereka yang tidak memperoleh kesempatan untuk belajar, tidak memperoleh kesempatan untuk mengakses "keadilan berpikir". Ketidakadilan informasi, perlakuan, akses akan sumberdaya itu mengarah pada ketidakadilan berpikir. Lalu, pantaskah kemudian kita menyalahkan ketidakadilan berpikir itu tanpa melihat ketidakadilan-ketidakadilan lain yang mereka terima dengan paksa? Kita berdamai dengan pikiran karena kita berkeadilan dalam segala hal. Mereka? Barangkali, kita sengaja memonopoli sumberdaya supaya kita berkuasa untuk menyalahkan

Peragu

Katamu, aku adalah dawai yang tak lagi akan kau petik. Sebab, kau pernah salah memetiknya hingga parau suaraku merusak seluruh lagu. Bagiku, kau adalah kosakata yang sebisa mungkin kuhindari dalam sajakku. Sebab, aku pernah salah menafsirkan makna dari kata. Dan bukankah sajak yang kehilangan makna tak lebih dari kata-kata kosong saja? Kita adalah dua pecundang; yang ketakutan untuk bertaruh hati lagi. yang dirundung ragu untuk meracik kata dan nada. Kita adalah komponis yang sudah kehilangan indera perasa.