Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Sebuah Cerita Pendek dan Puisi

*sebuah fiksi pendek Siang dengan suhu mencapai 37° C sungguh sangat menyenangkan jika bisa dihabiskan dengan tidur di bawah pohon mangga, dan menikmati mangga yang masak. Tapi sayangnya aku tak punya pohon mangga. Tidurlah aku di kamar dengan kipas angin yang menyala penuh. Aku mulai bosan dan pergi ke dapur, mengupas dan mengiris melon menjadi potongan-potongan kecil. Lalu kembali ke kamar dan memakannya. Ada suara motor mendekat, seperti berada di depan rumahku. Aku keluar sebelum mendengar letukan pintu. Memuaskan rasa penasaranku. Ternyata temanku, Rio. “Ada paket titipan,” ucap Rio begitu melihatku keluar dari rumah. Dia melepaskan helm tanpa turun dari motor. “Ha? Dari siapa?” “Aufar. Dia titipin ke aku.” “Oh.” Aku mengambil paket itu. “Dari Ausie, nih?” “Bukan. Ketemu dj Bandara. Dia titip. Aku langsung, ya?” Temanku berpamit, lalu mengendarai motornya kembali. “Makasih. Ati-ati, ya!” ucapku sedikit berteriak supaya didengar oleh Rio. Dia melambaikan tangan

Bekal

Salam, Sejak pagi tadi  saya berpikir bahwa nanti selepas kerja, saya hanya ingin sendirian di dalam kamar, mengunci diri, dan rebah. Lelah? Iya, tapi bukan karena itu. Feeling blue. Saya sendiri tidak tahu sebabnya. Sore tadi, PhututEA memposting di akun instagramnya soal makanan yang dibawa oleh Ibunya ketika berkunjung ke kediaman Phutut. Tanpa sadar, otak saya memanggil kembali segala kenangan semasa kuliah, semasa Ibu masih ada dan sehat. Hampir selalu ketika saya akan kembali ke kos, Ibu sengaja tidak berjualan. Beliau memasak lauk untuk saya bawa ke kos dsn dibagi dengan teman-teman. Dan yang tidak pernah lupa adalah sambel dan snack. Ibu tahu saya doyan makanan pedas, tidak doyan makan nasi tapi suka sekali jajan. Maka dari itu, segala jajan yang saya sukai, dibeli di pasar, dibungkus, dan ditaruh di tas saya. Kadang juga, kalau ibu sedang sibuk, says dibawakan bekal sosis dan ayam goreng beserta sambal. Sama seperti Phutut, saya dulu selalu mikir bahwa kenapa tidak

Mawar Hitam dan Tiga Pedang Menghujam Hati

Aku duduk di teras sebuah Musala, menunggu Ari datang. Pesanku di WhatsApp baru centang dua, belum berwarna biru. Baru sesaat kemudian dia menjawab jika dirinya baru saja bangun. Butuh setengah jam untuknya sampai ke tempatku. “Mau ke mana?” tanyanya. Kami belum merencanakan mau pergi ke mana, bahkan sejujurnya kedatanganku ke kota ini, Kota di perbatasan antara Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah, juga tidak terencana. Aku hanya ingin dan kemudian berangkat ke sini. “Entah. Ke mana saja.” Sembari naik ke motornya aku sebetulnya tengah memikirkan ke mana kami harus pergi. “Nol kilo meter jauh?” tempat yang pernah dia sebut dalam ceritanya. “Nggak juga. Mau ke sana?” “Yup!” Kubetulkan posisi dudukku. Ada yang kusadari ketika itu, mood nya tidak dalam kondisi yang baik. Entah karena baru saja bangun dari tidur, entah karena aku datang tiba-tiba, entah karena dia harus membatalkan janjinya, entah sedang malas bertemu denganku, atau hal lain yang tidak bisa kuterka. Aku ri

Serigala Yang Melolong Saat Bulan Purnama

Itu adalah malam bulan purnama, ketika aku pertama kali bertemu dengan manusia serigala itu. Dia nampak seperti laki-laki pada umumnya, hanya berambut panjang, sebahu, dan bermata tajam. Tapi mata tajam itu nampak seperti mata orang-orang kesepian, yang membuatnya melolong tiap kali bulan mencapai kenampakan yang sempurna. Aku terus memperhatikan keanehan demi keanehan itu. Kami, aku dan laki-laki berkaus merah itu, berkenalan. Dia menawariku dua buah buku bagus, dan meminta nomorku sebagai gantinya. Ya Tuhan, rupanya dia bisa tersenyum. Di dalam hati, aku merasa geli sendiri memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu. "Ada nomor yang bisa kuhubungi? Akan kukirimkan buku-buku ini," ucapnya menawarkan. Aku? Kenapa pula harus kuberikan nomorku pada laki-laki yang baru kutemui sekali itu? Aku hanya melihatnya. Seperti teguh tak akan memberikan nomorku padanya, tapi sepersekian detik kemudian, aku seperti tersihir. Teguh itu berubah menjadi ragu, yang kemudian membuatku, denga

Di Perjalanan Pulang

Bentangan aspal dan sekepal ingatan tentang hujan di suatu siang Lalu, laju sepeda dan putaran roda. Sawah dan sebuah wajah Sore menitipkan sendu pada beberapa potong awan kelabu Mereka telah siap Jatuh membumi Meraung di kedalaman Gemuruh di ketinggian Dua serupa membawa hampa Kabur Hanya air yang berlarian, Entah di luaran Entah dari dalam Kacamata Lekas seka duka Segala menguap dan lalu tidur dalam ketiadaan

Kenampakan

Kurekatkan satu per satu tali sepatu, dengan begitu dapat kulempar taliku saat sabit, saat matanya menyipit seperti mengemu senyum di ujungnya yang lancip. Ya, di senyum matanya. Simpul tali, simpul senyum, aku tertawa geli. Hari-hari menali adalah hari-hari merekatkan diri. Waktu-waktu mengikat adalah waktu-waktu penuh berkat. Tapi, tetap kutunggu purnama. Saat ia begitu dekat. Lekat. Dan, di bola matanya yang bulat, aku menenggelamkan diri sampai dasar. Ia gelap, dingin, dan tak bercahaya. Aku lupa untuk apa tali ini kubuat. Bojonegoro, Mei 2018.

Gadis Kecil di Jendela

Kupandang langit mendung, hujan turun dan gadis kecil melamun di jendela. Hilang di antara garis bebas bekas air yang menetes Kupandang langit mendung, hujan rimis dan gadis kecil masih bertahan di jendela. Merayap bersama air hujan yang lesap di tanah-tanah gersang. Kupandangi langit, hujan mereda dan gadis kecil menutup kaca jendela, berpamit pada langit.