Sebuah Cerita Pendek dan Puisi

*sebuah fiksi pendek

Siang dengan suhu mencapai 37° C sungguh sangat menyenangkan jika bisa dihabiskan dengan tidur di bawah pohon mangga, dan menikmati mangga yang masak. Tapi sayangnya aku tak punya pohon mangga. Tidurlah aku di kamar dengan kipas angin yang menyala penuh. Aku mulai bosan dan pergi ke dapur, mengupas dan mengiris melon menjadi potongan-potongan kecil. Lalu kembali ke kamar dan memakannya.
Ada suara motor mendekat, seperti berada di depan rumahku. Aku keluar sebelum mendengar letukan pintu. Memuaskan rasa penasaranku. Ternyata temanku, Rio.
“Ada paket titipan,” ucap Rio begitu melihatku keluar dari rumah. Dia melepaskan helm tanpa turun dari motor.
“Ha? Dari siapa?”
“Aufar. Dia titipin ke aku.”
“Oh.” Aku mengambil paket itu. “Dari Ausie, nih?”
“Bukan. Ketemu dj Bandara. Dia titip. Aku langsung, ya?” Temanku berpamit, lalu mengendarai motornya kembali.
“Makasih. Ati-ati, ya!” ucapku sedikit berteriak supaya didengar oleh Rio.
Dia melambaikan tangan kirinya sembari terus berkendara.
Kubawa masuk paket itu dengan perasaan yang tidak enak. Aufar adalah mantan kekasihku. Kami sudah lebih dari satu tahun putus, tapi dia kerap mengirimiku oleh-oleh selepas pergi, ini dan itu. Segera aku menyapanya lewat aplikasi WA dan dia merespon selang beberapa waktu. Aku protes dengan sikpnya selama ini. Sungguh, aku merasa tidak enak. Kami tidak bisa kembali dan itu sudah menjadi keputusanku. Tapi aku tetap membuka selebar-lebarnya pertemanan, tidak terkecuali dengan dirinya.
Sembari menunggu balasan Aufar, aku memutuskan membuka bungkusan itu. Aku sudah menduga apa isinya dan benar saja... Snack. Ada berbagai macam snack yang tidak bisa kutemui di Indonesia. Tidak bisa kubeli di sini. Meski merasa tidak enak, tapi snack itu tetap enak di mulutku.
Aku membuka salah satu snack coklat berbentuk bola. Warnanya putih dengan bintik-bintik hitam. Itu adalah lelehan cokelat yang dibalut krim vanilla dan remahan oreo. Sungguh lumer di mulut. Akan lenih baik jika dimakan dalam leadaan beku, tapi aku terlalu malas menaruhnya di lemari es terlebih dahulu. Kumakan sembari menghadap kioas angin yang terus berputar.
Cling! Hpku berbunyi. Balasan dari Aufar. Kubiarkan sebentar. Menunggu mulutku selesai mengunyah cokelat. Balasan itu berbunyi seperti ini:
“Ce, snack itu ndak ada kaitannya dengan hubungan kita. Itu bukan sogokan meski benar aku ingin kita balikan. Snack itu kukirimkan semata-mata untuk memaafkan diriku sendiri. Aku ndak pernah jadi pacar yang baik. Aku ndak berbuat baik waktu jadi pacarmu dulu, dan untuk itu aku meminta maaf. Bukan untukmu, tapi untuk mengobati perasaan bersalahku sendiri. Kalau toh tidak dimaafkan, tidak apa-apa. Jika pun tidak duterima, itu juga tidak apa-apa. Aku sedang berusaha memaafkan diriku sendiri atas ketidakmampuanku waktu itu. Aku semata-mata berbuat untuk diriku.”
Aku diam beberapa menit. Status Online di chatboxnya juga sudah berubah menjadi jam. Aku sungguh tidak tahu harus menjawab apa, tapi tetap kulahap cokelat terakhir di dalam bungkus. Rasanya sudah bukan manis cokelat bercampur krimer dan gula, tapi kepahitan. Aku seperti telah ditampar olehnya. Bahwa tidak penting soal apa yang akan kuberikan atau kulakukan padanya. Ini adalah soal personal, urusan di dalam dirinya sendiri yang butuh untuk dia selesaikan, tidak peduli reaksiku selanjutnya akan seperti apa.
“Itu cinta, Ce. Yang dia berikan padamu itu cinta, bukan hanya snack,” Ucap Andin ketika kuceritakan padanya bunyi pesan Aufar.
“Itu cokelat dengan krim vanilla dan remahan oreo. Kumakan. Rasanya manis, tapi aku tidak tahu nama cokelat itu. Rasanya manis, tapi aku juga tidak tahu cara membuatnya. Aku tidak bisa membelikan cokelat lain sebagai ganti.” Kutatap kosong kipas angin di depanku sembari terus berbicara dengan Andin lewat telepon.
“Ce?”
“Ha?”
“Nggak perlu dibalas. Bukan tugasmu.”
“Lalu tugasku apa?”
“Tugasmu belajar dari Aufar. Belajar menghadapi dirimu sendiri. Belajar menaklukkan makhluk yang kamu pelihara di dalam dirimu. Jangan meminta orang lain melakukannya untukmu. Kamu paham maksudku, Kan?”
Ada keheningan yang panjang sebelum aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri panggilanku pada Andin. Beberapa baris kata muncul begitu saja di kepalaku. Seolah menuntut untuk diucapkan atau dituliskan.

"Satu tetes hujan
Tiada datang
Tetes kedua
Masih kutunggu
Sebelum rimis
Tiga dan seribu serbuan hujan
Ditampung
Jalanan berlubang

Kemana baris kata
Dan juga cerita
Berteduh?

Jangan turun
Dulu
Tunggu sebentar
Saja

Biar ia menyebrang
Perlahan
Sebelum sore
Menjelang

Biar ia menyala
Terang
Meski nanti dikepung
Malam

C."

Kumasukkan pulpen ke dalam sakuku kembali. Kututup bukuku, lalu beranjak menyambar jaket kumal berwarna biru. Sampai jumpa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat