Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

"Genk Cacad" : 6. Mutan Terselubung

Liburan semester setelah UAS. Hal yang paling dinanti-nanti oleh mahasiswa. Taufan yang beberapa hari terhitung semenjak awal liburan mulai susah dihubungi. Entah sedang diculik Hansel dan Gretel atau penyihirnya. Ketika muncul kembali ke permukaan bumi, dia datang dengan ide liburan bersama. Dia menyudahi pertapaannya dan menemui Sono untuk membicarakan ide tersebut. “Jakarta?” Taufan berpikir. “Ojo ah, banjir. Kon onok ide tah Son?” Sono diam terlihat berpikir, kemudian mencomot sebuah krupuk di depannya. "Mmm,” dia bergumam, “Mmmm,” begitu seterusnya. Taufan tahu dia telah salah bertanya. “Jogja yaopo?” “Mmm … mmm,” hanya itu yang keluar dari mulut Sono. “Am em am em, tak antem kon! Sing jelas ngono loh, Son!” Taufan jengkel. “Ane ngikut,” Sono manggut-manggut sambil tertawa cekikikan. Di sisi lain, aku sendiri juga telah memikirkan ‘pensucian otak’. Tak muluk-muluk, cukup pergi ke rumah nenekku di desa. Aku sungguh merindukan suasana desa, kampung halaman

"Genk Cacad" : 5. Si Gendut dan Yang Lebih Gendut

Kupikir-pikir, ada 2 tempat sakral yang rajin sekali kami kunjungi. Perpustakaan kampus B dan kantin FIB. Urusan perut dan hiburan, baru kusadar hidup kami tak punya manfaat sama sekali. Kami hanya datang ke kampus, makan, dan mencari hiburan. Kemudian pulang ke peradaban masing-masing saat malam. Tidur. Hari ini, selesai kelas mata kuliah Ekonomi Politik, kami langsung menuju kantin FIB, tempat segala makanan murah nan lezat. Kantin sejuta umat dengan bau rokok dan berbagai macam keringat manusia. Tempat makan, diskusi, rapat, dan gathering bagi beberapa komplotan kampus. Urusan kami di sini hanya makan. Tidak lebih, tidak kurang. Kami bukan bagian penting dari suatu himpunan prodi, fakultas, maupun kampus. Hanya anak-anak yang sibuk memenuhi perut dengan makanan, lalu bertugas kembali menghadiri kuliah. Itu saja. Di sampingku, Sono, seperti biasa bingung memilih makanan. Raut mukanya yang sedang berpikir sungguh menjengkelkan. Itu karena pada akhirnya dia hampir selalu memilih

"Genk Cacad" : 4. Genk Perpus

Kelas Gerakan Sosial dan Politik adalah kelas gabungan antara mahasiswa Ilmu politik dan Hubungan Internasional, mungkin juga Administrasi Negara. Seperti biasa Taufan selalu datang terlambat. Rumahnya memang jauh dari peradaban manusia. Dia duduk di bangku belakang, sama seperti Sono. Meski begitu mereka masih memperhatikan Dosen yang mengajar. Aku sendiri duduk di bangku kedua dari depan. Kutinggalkan kebiasaan duduk   di bangku terdepan karena isunya horor. Dosen akan memakan mahasiswa yang duduk di bangku terdepan, mencabik-cabik jiwanya. Ah, tidak juga sih. Kutinggalkan kebiasaan itu karena tidak ada seorang teman pun yang mau duduk di baris terdepan bersamaku. Aku jadi mudah bosan tanpa teman bicara. Meski sudah duduk di barisan nomor dua, aku masih mengantuk. Aku tidur dengan segala resiko yang akan kutanggung. Pertama, aku bisa saja ketahuan oleh Dosen dan dikeluarkan dari kelas. Kedua dan yang paling kutakuti, aku bisa tertidur pulas dan terbangun dengan bekas merah di waj

"Genk Cacad" : 3. Pengungkapan Identitas

Gerimis di daerah Surabaya dan sekitarnya. Hawa dingin menyeruak, menggelitik tulang dan rusuk. Suatu momen sakral yang seharusnya kulakukan adalah meringkuk di kasur dengan guling yang lengket di badan … tapi tidak untuk sore ini. Aku menghabiskan sore bersama Sono dan Taufan duduk di kantin. Aku merasa jengkel. Akhirnya datang juga. Segelas jus strawberry encer dan nasi sambel udang yang akan menemaniku merelakan ritual sakral. Sebenarnya, aku sungguh ingin bermesraan dengan bantal, guling dan kasur, tapi aku tak berdaya. Mereka mengancam tidak akan mensupply amunisi (baca : anime). Kami membicarakan anime berjudul Chuunibyou lagi. Kali ini yang diberikan Sono adalah edisi istimewa. Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu di mana letak keistimewaannya, dan lagi bukan pembicaraan kami bertiga, hanya aku dan Sono. Lebih tepatnya, Taufan hanya datang menemani kami. Dia lebih seperti pengasuh, mengawasi kalau saja kami tiba-tiba bertindak memalukan. Mungkin saja Taufan tahu kalau Sono a

"Genk Cacad" : 2. Infeksi Chuu Ni Byou

Sedikit musik rock di pagi hari tidak buruk. Anggukan kepala, hentakan kaki, dan pukulan tangan ke meja. Di lantai satu ini aku duduk di samping tangga, menunggu dua teman baruku yang sedang mengikuti kelas konflik. Kebetulan aku pecinta damai, sehingga tidak mengambil kelas konflik. Orang lalu lalang, keluar-masuk toilet sembari menatapku dengan cara yang sama seperti Donovan menatap Sherlock. Aku biasa saja, tidak memelototi mereka kembali. Takut disangka Santi, hantu yang konon bergentayangan di FISIP. Cukuplah dua gelar yang kusandang, Alien dan Tuyul. Itu saja sudah repot. Suara langkah kaki berdatangan dari lantai atas. Kupikir jam kedua sudah berakhir. Taufan dan Sono juga sudah menyelesaikan kuliahnya yang penuh konflik, berdarah-darah … habis minum fanta tumpah di baju. Beberapa anak sejurusanku turun dan menyapa. “Woy, Chus, ngapain?” “Eh, alien? Mana ufonya?” “Nungguin Taufan sama Sono. Lihat nggak?” “Masih di atas deh kayaknya. Ayo FIB.” “Bentar. Nyusul nant

"Genk Cacad" : 1. Bermula dari Sini

Perkenalkan dua orang temanku, Sono dan Taufan. Teman satu jurusan yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan pentingku di kampus tercinta, Universitas Airlangga. Kami, yang entah bagaimana menjadi dekat, menamai perkumpulan kami dengan sebutan ‘Genk Cacad’. Genk Cacad tidak hanya terdiri dari kami bertiga saja, tapi juga beberapa teman lain yang kami ‘paksa’ bergabung … meski tak mau. Ada Wira, Dimas Balarena, dan mungkin saja Dhimas. Orang-orang dengan tingkat dan jenis ke’aneh’an yang berbeda. Kami, mungkin saja, disatukan oleh game dan anime. Tapi bagaimanapun, mereka bertiga tidak terlibat jauh dengan segala macam persekongkolan aneh dan kesintingan kami. Penemuan itu diawali ketika hujan mengguyur sebagian Kota Surabaya. Aku masih di kantin FIB bersama Taufan dan Sono. Kami menikmati semangkuk soto Lamongan seharga 7000 rupiah ala pujasera FIB. Level kami memang bukan soto Cak Har yang super terkenal. Begini saja sudah mewah, ditambah guyonan receh dan es teh. Kami sudah s

Membaca Diri Sendiri

   Salam,    Kurasa, aku selalu mengawali tulisanku dengan kata-kata yang sama, seperti “Aku kembali menulis setelah sekian lama bla bla bla.” Ya, memang begitu keadaannya, ini sudah cukup lama semenjak posting an terakhirku. Aku bahkan lupa apa yang terakhir kali ku posting dalam blog ini.    Hari ini, aku ingin kembali membagi cerita. Aku tertarik dengan banyak hal di dunia ini. Aku menyukai tulisan terlebih tulisan tangan. Aku menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Aku menyukai bacaan dan pertanda yang tersebar di muka bumi ini. Aku menyukai isyarat dan bahasa tubuh, serta banyak hal lain.    Hari ini, aku akan menuliskan tentang peristiwa beberapa waktu lalu. Aku bertemu dengan orang yang kucintai setelah waktu-waktu sibuknya. Kami merencanakan untuk berlibur sebentar, mengucilkan diri untuk berdua saja dan membagi apa yang ingin kami bagi. Tapi sebelumnya kami harus bertemu, membicarakan semua itu dengan matang. Kami menyepakai tanggal pertemuan, jam, serta tempat.

Hukum Ruang dan Waktu

Hari itu akhir pekan, dia akan datang berkunjung setelah sekian lama. Seperti ingin melompat-lompat karena senang. Beberapa jam untuk ratusan kilometer, dan akhirnya dia mengabari lewat pesan singkat. Aku menunggu di tempat yang kami sepakati. Secangkir cokelat panas tidak pernah mengecewakan di sore yang gerimis. Beberapa menit menunggu, kupikirkan apa saja yang ingin kulakukan bersamanya malam minggu ini. Hanya makan dan bercengkrama di tempat ini, atau berbelanja setelahnya, atau juga bermain hockey dan basket di tempat permainan. Lantas menjadi sedikit lebih lama, aku mulai berpikir kenapa selama ini? Apa yang terjadi padanya? Aku memutuskan kembali menunggu. Dalam jeda waktu yang cukup lama tersebut aku berpikir tentang hubungan kami ke depan. Suatu saat nanti, jarak kami mungkin akan memuai lebih panjang, bisa juga menciut, tapi kemungkinannya lebih kecil. Seperti dua galaksi yang jaraknya terus memuai. Dan di ruang hampa itu, tidak ada udara. Saat kami berjalan, bisa saja r