Membaca Diri Sendiri


   Salam,
   Kurasa, aku selalu mengawali tulisanku dengan kata-kata yang sama, seperti “Aku kembali menulis setelah sekian lama bla bla bla.” Ya, memang begitu keadaannya, ini sudah cukup lama semenjak postingan terakhirku. Aku bahkan lupa apa yang terakhir kali kuposting dalam blog ini.

   Hari ini, aku ingin kembali membagi cerita. Aku tertarik dengan banyak hal di dunia ini. Aku menyukai tulisan terlebih tulisan tangan. Aku menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Aku menyukai bacaan dan pertanda yang tersebar di muka bumi ini. Aku menyukai isyarat dan bahasa tubuh, serta banyak hal lain.

   Hari ini, aku akan menuliskan tentang peristiwa beberapa waktu lalu. Aku bertemu dengan orang yang kucintai setelah waktu-waktu sibuknya. Kami merencanakan untuk berlibur sebentar, mengucilkan diri untuk berdua saja dan membagi apa yang ingin kami bagi. Tapi sebelumnya kami harus bertemu, membicarakan semua itu dengan matang. Kami menyepakai tanggal pertemuan, jam, serta tempat. Aku menunggunya seperti biasa, sedang dia melewati beberapa jam untuk sampai di tempatku.

   Dalam jeda waktu penantian, aku baru sadar apa yang terjadi padaku. Ketika aku datang, aku tahu akan menunggu karena jarak yang kutempuh jauh lebih pendek. Aku tersenyum sederhana, membuka telepon genggamku dan melihat kembali riwayat obrolanku dengan orang yang kucintai itu. Aku duduk sedikit membungkuk dengan kedua tangan memegangi telepon genggam. Sikuku menopang tangan, bersandar di meja. Jarak mataku dengan layar hanya sekitar 7 sentimeter. Kakiku sedikit tertekuk ke depan. Aku suka membaca ekspresi orang dan sering melakukannya, tapi ini pertama kalinya aku membaca ekspresiku sendiri. Rupanya, aku sedang sendiri dan merasakan diriku dalam keadaan bahagia. Aku bersemangat dan merasa antusias akan suatu hal. Di dalam hati, aku menertawakan diriku sendiri.

   Ketika kulihat dia datang, aku kembali tersenyum. Senyuman kali ini sedikit berbeda, bukan lagi sebatas senyuman sederhana yang tidak memperlihatkan gigi. Ada penekanan, sehingga bibir lebih tertarik ke belakang. Aku bahkan melambaikan tangan. Antusias. Kulihat hal yang sama ketika dia berjalan ke arahku.

   Ketika makan dan ngobrol, aku merasa nyaman. Ini bukan hanya soal obrolan kami saja, tapi cara kami lebih banyak bertatap mata menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Entah kami sedang memuji satu sama lain dari dalam hati, atau mungkin karena kami rindu. Aku ak bisa secara gamblang mengatakannya, tapi bahasa tubuh tidak bohong, bukan? Meski begitu, tetap ada malu-malu ketia dia melihatku. Secara tidak sadar, aku membuat ekspresi aneh, atau bersikap ofensif untuk melindungi harga diri dengan mengejeknya. Mungkin ada banyak lagi bahasa yang belum kutangkap dengan baik, tapi itu saja cukup menerangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata

Suara Angin Lewat