Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Mengendalikan Lapar

Eka Kurniawan pernah menuliskan bahwa Lapar yang ditulis oleh Knut Hamsun adalah karya yang mendorongnya untuk menjadi penulis. Bukan hanya Eka Kurniawan, tapi penulis besar seperti Ernest Hemingway juga dikatakan terinspirasi dari buku tersebut. Dari situ, kami kemudian bertanya, “sebagus itukah Lapar yang ditulis oleh Hamsun?” Ini yang menjadi awal mula bagaimana kami memutuskan untuk membaca dan mengkaji Lapar. Kemarin adalah pertemuan ke-empat kami. Hanya ada sedikit partisipan di pertemuan minggu ini, karena sebagian lainnya sedang memiliki urusan lain. Ada Mas Risky yang sedang bertugas untuk meliput pertandingan Persibo di luar kota, Mas Jano yang sedang berkepentingan di Semarang, Mas Wisnu sedang sibuk mengerjakan sesuatu, dan beberapa yang lain memiliki urusannya sendiri. Tidak masalah, pembacaan buku tetap berlangsung dengan 5 orang yang hadir. Mas Tohir, Faizal, Aku, Mas Ikal, dan Mbak Vera. Mas Tohir, orang yang bertugas untuk membuka pembacaan buku di pertemu

Taman - Malam - dan Bacaan

Taman Rajekwesi malam kemarin lebih ramai dari biasanya. Banyak muda-mudi berkencan, dan pasangan suami-istri beserta anak menghabiskan malam minggu bersama. Dan di tengah suasana yang sedemikian rupa, kami memilih duduk bersama dan membaca. Orang-orang lalu-lalang memandangi kami dengan sangsi. Tapi, siapa juga yang peduli?  Di bawah cahaya lampu taman yang temaram, disaksikan bulan sabit yang tertutup gumpalan awan, kami duduk membentuk lingkaran. Ada sepuluh orang yang hadir dalam pembacaan buku malam itu. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang baru pertama kali bergabung dalam proses pembacaan buku Lapar karya Knut Hamsun. Kami mengulang kembali pembacaan pada halaman 19 atau lembar ketiga dalam kertas kopian. Sampai pada halaman itu, kami belum mendapati kesulitan apa-apa dalam pembacaan. Tidak ada kata aneh yang membutuhkan pembahasan mendalam. Paragraf pembuka di lembar ketiga itu masih berisi deskripsi tentang tokoh ‘Aku’ yang merasa lapar (meskipun tidak di

Pertemuan Ngaostik Dengan Knut Hamsun - Lapar

Sudah sejak lama wacana soal membaca buku bersama muncul di Ngaostik, rumah besar bagi beberapa komunitas di Bojonegoro. Membaca bersama adalah membaca satu buku bersama-sama, di waktu yang sama. Ada aturan yang disepakati dalam pembacaan buku tersebut, salah satu yang paling penting adalah ketentuan jumlah halaman. Dalam satu pertemuan misalnya, kami hanya akan membaca tiga sampai lembar buku saja. Lho, kok begitu? Iya. Kami mengibaratkan agenda membaca bersama ini adalah puasa. Bagi beberapa orang, membaca adalah candu, sehingga nafsu untuk membaca sangatlah tinggi. Adanya agenda ini adalah untuk mengendalikan nafsu membaca. Pengendalian ini bukan semata untuk mengurangi nafsu baca. Bukan. Tapi membaca buku bersama ini bertujuan untuk memaknai pembacaan sehingga membaca bukan hanya sekedar ritual untuk tahu isi dari buku, dan selesai. Sudah. Bukan begitu. Dalam agenda membaca buku bersama ini, kami mencoba untuk mengurai satu per satu makna, meski tidak semua bisa diurai. Memakna