Mengendalikan Lapar



Eka Kurniawan pernah menuliskan bahwa Lapar yang ditulis oleh Knut Hamsun adalah karya yang mendorongnya untuk menjadi penulis. Bukan hanya Eka Kurniawan, tapi penulis besar seperti Ernest Hemingway juga dikatakan terinspirasi dari buku tersebut. Dari situ, kami kemudian bertanya, “sebagus itukah Lapar yang ditulis oleh Hamsun?” Ini yang menjadi awal mula bagaimana kami memutuskan untuk membaca dan mengkaji Lapar.

Kemarin adalah pertemuan ke-empat kami. Hanya ada sedikit partisipan di pertemuan minggu ini, karena sebagian lainnya sedang memiliki urusan lain. Ada Mas Risky yang sedang bertugas untuk meliput pertandingan Persibo di luar kota, Mas Jano yang sedang berkepentingan di Semarang, Mas Wisnu sedang sibuk mengerjakan sesuatu, dan beberapa yang lain memiliki urusannya sendiri. Tidak masalah, pembacaan buku tetap berlangsung dengan 5 orang yang hadir. Mas Tohir, Faizal, Aku, Mas Ikal, dan Mbak Vera.

Mas Tohir, orang yang bertugas untuk membuka pembacaan buku di pertemuan kemarin, mengawali dengan membaca bab pertama di halaman 23.
“Aku harus mencari suatu tempat yang baik di taman kota, dan tabah menulis hingga selesai. Namun, orang pincang itu masih tetap berjalan terhuyung-huyung di depanku. Akhirnya, aku mulai kesal melihat mahluk tak berdaya ini di depanku terus. Perjalanannya seakan-akan tak ada ujungnya; barangkali ia berniat pergi ke tempat yang sama dengan tujuanku, dan aku akan terhambat pemandangan sosok tubuhnya sepanjang jalan.”
Lepas membaca satu paragraph itu, Mas Tohir tidak berkomentar sama sekali. Matanya terus memperhatikan layar telepon genggamnya – di mana ia membaca Lapar. Kami menanti apa yang akan keluar dari mulut Mas Tohir, hingga akhirnya ia berkata, “aku sebenarnya tidak suka dengan novel ini. Aku tidak suka dengan tulisan yang menggunakan sudut pandang orang pertama dan tahu segalanya.” Sejak mengatakan itu, ia jarang berkomentar tentang apa yang ada di dalam teks Lapar.

Pembacaan dilanjutkan oleh Mas Ikal, seorang penyair dari Bangilan – Tuban yang rela datang jauh-jauh untuk mengikuti agenda ini. Mas Ikal membaca paragraph selanjutnya. Kemudian dia dengan semangat bercerita, “tokoh aku ini sudah memiliki ide yang luar biasa di dalam kepalanya. Ia sudah yakin akan menghasilkan suatu karya yang sudah ia pikirkan judulnya dan ia susun isinya, tapi menyebalkan sekali ketika momen kebahagiaan seperti itu dihambat oleh orang tua pincang yang berjalan secara lambat di depannya.”
Kami tertawa. Sepertinya kami pernah merasakan hal serupa. Betapa menyebalkannya ketika ide muncul di dalam kepala, kami sudah sangat siap untuk menuliskan itu semua menjadi suatu karya, tapi kemudian hal kecil datang menganggu. Betapa menyebalkannya itu. Kami tertawa lagi.

Faizal membaca paragraph sesudahnya. Paragraph yang cukup panjang. Ada hal menarik pada paragraph yang dibaca oleh Faizal. “Sudah jelas ia sedang merusak semangat gembiraku, mencabik-cabik pagi yang cerah dan semarak ini menjadi cacat serta jorok seperti dirinya.” Paragraf ini masih menjelaskan kekesalan tokoh aku terhadap laki-laki tua itu. Tapi, saya sendiri suka bagaimana tokoh aku menggambarkan paginya yang telah dirusak, “mencabik-cabik pagi yang cerah dan semarak ini menjadi cacat seperti dirinya.” Ada kekesalan yang luar biasa dalam kalimat tersebut. Terlebih di kalimat selanjutnya, tokoh aku menggambarkan laki-laki tua itu seperti seekor serangga tua yang pincang.

Aku membaca paragraf selanjutnya. Hanya ada beberapa kalimat dalam paragraph itu. Hal yang menarik dari paragraf yang kubaca adalah reaksi dari tokoh aku, ketika laki-laki tua pincang, yang tadinya begitu ia benci karena merusak paginya yang cerah, meminta uang padanya (bukan menodong atau memaksa, tapi memelas). Dia merogoh kantongnya seolah masih akan mencari sesuatu di dalam. Padahal, sejak pertama kali kami membaca Lapar, setiap kalimatnya menjelaskan bahwa tak ada apapun lagi yang tersisa. Uang maupun makanan.

Mbak Vera membaca paragraph setelahku.
“Aku tak makan sama sekali sejak kemarin di Drammen,” sahut orang tua itu. “Aku tak punya sepeser pun, dan aku juga tak berhasil mencari pekerjaan.”
Drammen adalah salah satu nama kota di Norwegia, aku tahu karena kemarin aku mencarinya informasi itu di Google. Letaknya tidak begitu jauh dengan Oslo, yang pada jaman dahulu bernama Christiania. Masih tentang reaksi yang diberikan tokoh aku ketika lak-laki tua pincang itu meminta uang padanya. Ia menyuruh laki-laki tua itu untuk menunggu, sedang ia sendiri berlari ke rumah gadai. Ia lantas menggadaikan jas yang ia kenakan, dan memberi uang pada laki-laki tua pincang itu.

Ada semacam sindiran yang rupanya diselipkan penulis di dalam cerita ini. Ketika tokoh aku memberikan 1 keping uang untuk laki-laki tua itu, ia berkata bahwa ia senang sekali karena ia yang diminta bantuan oleh laki-laki tua. Padahal semua orang yang membaca Lapar akan tahu bahwa tokoh aku adalah orang yang tidak memiliki apa-apa. Di samping itu, kami membaca perubahan mood pada tokoh aku. Dari yang awalnya begitu senang, memandang dunia dengan optimis, pagi cerah dan dia akan menulis artikel, lalu mendapatkan uang untuk membeli makanan. Lalu, laki-laki tua hadir mengacaukan suasana hatinya, menghambat jalannya menuju taman kota, dan kemudian karena laki-laki tua itu juga, dia merasa menjadi orang yang berguna. Bagaimana mungkin mood seseorang bisa berubah dengan begitu cepat. Oh ya, satu lagi, jika diperhatikan, di paragraph yang kami baca hari ini, tidak ada lagi deskripsi mengenai keadaan tokoh aku yang kelaparan. Artinya dia telah melupakan rasa lapar yang dia alami … sekedar karena kebahagian dan kekesalan yang dialaminya pagi hari itu.
Akhirnya, kami juga harus mengendalikan rasa lapar. Kami harus menutup pembacaan untuk malam kemarin. Tapi, kami masih di tempat membuka pembicaraan baru. Pembicaraan menarik tentang macam-macam ideology di dunia, sistem politik, sejarah bangsa Indonesia, hingga organisasi ekstra mahasiswa yang kami ketahui. Pembicaraan itu sengaja tidak kami fokuskan kepada satu hal atau beberapa hal saja. Kami biarkan topik kami melebar kemana-mana … seluas-luasnya, karena hidup ini tidak ada intinya, semua adalah tentang segalanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata