Pertemuan Ngaostik Dengan Knut Hamsun - Lapar

Sudah sejak lama wacana soal membaca buku bersama muncul di Ngaostik, rumah besar bagi beberapa komunitas di Bojonegoro. Membaca bersama adalah membaca satu buku bersama-sama, di waktu yang sama. Ada aturan yang disepakati dalam pembacaan buku tersebut, salah satu yang paling penting adalah ketentuan jumlah halaman. Dalam satu pertemuan misalnya, kami hanya akan membaca tiga sampai lembar buku saja. Lho, kok begitu?

Iya. Kami mengibaratkan agenda membaca bersama ini adalah puasa. Bagi beberapa orang, membaca adalah candu, sehingga nafsu untuk membaca sangatlah tinggi. Adanya agenda ini adalah untuk mengendalikan nafsu membaca. Pengendalian ini bukan semata untuk mengurangi nafsu baca. Bukan. Tapi membaca buku bersama ini bertujuan untuk memaknai pembacaan sehingga membaca bukan hanya sekedar ritual untuk tahu isi dari buku, dan selesai. Sudah. Bukan begitu.

Dalam agenda membaca buku bersama ini, kami mencoba untuk mengurai satu per satu makna, meski tidak semua bisa diurai. Memaknai tulisan sebagaimana memaknai makanan sebagai rezeki yang harus disyukuri. Bagi saya pribadi, hal ini merupakan apresiasi tertinggi bagi karya sastra. Ketika karya dimaknai secara dalam dan jeli oleh pembaca.

Bertempat di K-noman, sore menjelang magrib tadi kami telah melaksanakan agenda yang sudah kami rencanakan sejak lama. Ada 6 orang partisipan yang tergabung (termasuk saya di dalamnya). Pertemuan pertama (dan untuk beberapa pertemuan selanjutnya) ini kami membahas karya Knut Hamsun, seorang penulis dari Norwegia, yang berjudul ‘Lapar’, atau di dalam bahasa Inggrisnya berjudul ‘Hunger’. Masing-masing dari kami berkewajiban untuk membaca satu paragraph saja, lalu mengulasnya bersama.

“Semua ini terjadi ketika aku sedang menjelajahi jalan ibu kota Christiania{1} kota aneh itu yang tak meluputkan seorang pun tanpa meninggalkan bekas mendalam pada dirinya.”

Di atas adalah bunyi dari paragraph pertama yang diterjemahkan oleh Marianne Katoppo. Dari paragraph pertama kami bersepakat bahwa kami mendapat informasi tentang Kota. Mas Tohir misalnya, dibuat begitu penasaran soal kota tersebut (Christiania). Cerita tentang kota baginya adalah cerita yang menarik, sehingga dia memiliki ekspektasi tinggi bahwa selanjutnya akan menyuguhkan cerita yang bagus. Istri dari Mas Asri, yang baru saya kenal tadi, langsung mencari informasi seputar Christiania, yang oleh Hamsun diceritakan sebagai kota yang aneh itu. Tidak mau kalah, Mas Wisnu dan Mas Risky juga mencari informasi soal Chritiania. Mereka meyakini kota tersebut adalah daerah yang sekarang kita tahu bernama Oslo. Ada apa dengan Christiania? Hingga dituliskan bahwa setiap orang memiliki bekas yang mendalam, yang ditinggalkan oleh kota itu.

Dalam paragraph satu itu juga, penulis seolah telah merangkum segalanya. “Semua ini terjadi ketika aku sedang menjelajahi jalan ibu kota Christiania.” Seolah semua kejadian penting ada di saat itu, di tempat itu, dan penulis sudah menceritakan dari awal tentang itu. Tapi, ada apa dengan ‘ketika’ itu? Apa yang sesungguhnya terjadi saat itu? Kami bersepakat bahwa kami penasaran, dan pembuka itu, tentu saja, membuat kami merasa berkewajiban untuk membaca selanjutnya.

Di paragraph dua, kami mendapatkan deskripsi tentang keadaan tokoh ‘aku’. “Aku sedang terkapar, terjaga, dalam kamarku di loteng rumah. Lonceng berbunyi enam kali nun jauh di bawah sana, fajar sudah menyingsing, dan orang-orang mulai naik-turun tangga. Di dekat pintu, di mana dinding-dindingku ditempeli Koran-koran lama, dapat kubaca suatu pesan dari Kepala Jawatan Mercusuar dan tepat di sebelah kirinya sebuah roti segar, yang menampilkan roti yang besar dan lezat : Fabian Olsen Bakery.” Di paragraph ini, kami mulai mendapatkan sesuatu tentang ‘lapar’. Setidaknya di baris terakhir, tokoh ‘aku’ diceritakan sedang berfokus pada gambar ‘roti’ di dinding kamarnya. Kami menangkap bahwa ‘aku’ sedang menderita lapar, sehingga yang menjadi fokusnya saat itu adalah makanan.

Sayang sekali waktu kami tak banyak, sehingga harus diakhiri dengan rasa penasaran. Kemudian, kami simpan kembali bahan bacaan kami untuk minggu depan di hari yang sama.Dan, tulisan ini saya akhiri dengan mencomot kalimat dari entah siapa, semoga kami bisa membaca setabah batu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata