"Genk Cacad" : 6. Mutan Terselubung


Liburan semester setelah UAS. Hal yang paling dinanti-nanti oleh mahasiswa. Taufan yang beberapa hari terhitung semenjak awal liburan mulai susah dihubungi. Entah sedang diculik Hansel dan Gretel atau penyihirnya. Ketika muncul kembali ke permukaan bumi, dia datang dengan ide liburan bersama. Dia menyudahi pertapaannya dan menemui Sono untuk membicarakan ide tersebut.

“Jakarta?” Taufan berpikir. “Ojo ah, banjir. Kon onok ide tah Son?”
Sono diam terlihat berpikir, kemudian mencomot sebuah krupuk di depannya. "Mmm,” dia bergumam, “Mmmm,” begitu seterusnya. Taufan tahu dia telah salah bertanya.
“Jogja yaopo?”
“Mmm … mmm,” hanya itu yang keluar dari mulut Sono.
“Am em am em, tak antem kon! Sing jelas ngono loh, Son!” Taufan jengkel.
“Ane ngikut,” Sono manggut-manggut sambil tertawa cekikikan.
Di sisi lain, aku sendiri juga telah memikirkan ‘pensucian otak’. Tak muluk-muluk, cukup pergi ke rumah nenekku di desa. Aku sungguh merindukan suasana desa, kampung halaman Ayah berasal.
Biasanya, penilaianku akan estetika naik dengan begitu saja. Aku akan dengan ‘sok’ puitis menggambarkan ketenangan pegunungan dengan kata-kata. Hamparan sawah, matahari pagi, suara hewan ternak, dan angin malam yang dinginnya menusuk. Keputusanku bulat, aku ingin pergi ke rumah nenek. Kuutarakan maksudku kepada Ayah … dan ditolak! Hancurlah hatiku.
Beberapa hal memaksaku kembali ke Surabaya. Terlalu buruk karena aku sebatang kara di Kos 11 (sebutan untuk kos bernomor 11 yang kutempati). Satu-satunya yang terpikir olehku adalah mengajak kedua temanku berkumpul. Marathon anime bisa jadi menyenangkan.
Pagi itu seperti biasa, aku datang lebih awal. Sono datang setelahku, dan Taufan menyusul di akhir. Ada anime menarik yang belum sempat kutamatkan, yaitu Arakawa Under The Bridge, anime yang cukup konyol. Aku dan Sono sengaja datang untuk menonton bersama … dan Taufan datang sebagai pengasuh kami. Siapa tahu kami, aku dan Sono, akan membuat hal-hal konyol di lingkungan kampus. Pada waktu itulah Taufan berguna, melaksanakan fungsinya untuk mencegah segala macam bentuk kehinaan. Dia punya hak untuk menjewer dan memarahi kami ketika kami sedang tak waras. Di samping itu, dia juga datang untuk berburu WiFi. Kami jadi lebih kere ketika musim liburan.
Baik di awal, tengah sampai akhir, aku cekikikan bersama Sono. Tingkah kami tidak begitu mengganggu Taufan, dia sangat sibuk mengupgrade Internet Download Manager di laptopnya. Meski terkadang Taufan memelototkan mata ketika kami tertawa begitu lepas.
Seorang anak laki-laki gemuk memakai hem putih bergaris abu-abu dan hitam datang ke meja kami. Awalnya dia duduk di sampingku, ikut tertawa menyaksikan ketololan anime yang kami tonton. Kemudian dia berbicara pada Sono. Aku sendiri tak begitu paham, tapi dia langsung mengotak-atik laptop milik Sono tanpa permisi.
“Arakawa? Kamu punya anime apa aja?” pertanyaan yang sama seperti yang kuberikan dulu, kini terucap dari manusia ‘tiba-tiba’ itu.
“Ya…ya banyak,” Jawab Sono santai.
Tanpa banyak basa-basi, Cowok itu kemudian membuka folder demi folder yang ada di laptop Sono. Aku mengawasinya dengan gelisah, tidak nyaman dengan kehadiran manusia tiba-tiba tersebut. Kucoba mengingat-ingat, di mana pernah melihat manusia ‘tiba-tiba’ itu.
Aku berusaha memberi kode percakapan rahasia kepada Sono. “Temenmu?” tanyaku bergumam, hampir tak terdengar. Sono tak menangkap kode itu. Kucoba kode rahasia kedua, kali ini ditambah dengan cubitan. Sono memberikan respon. “Temenmu?”
“Ha? Hahaa,” hanya itu yang terdengar dari mulut Sono. Aku mulai tak nyaman dengan kehadiran manusia ‘tiba-tiba’ tersebut. Aku melirik ke arah Taufan untuk meminta pertolongan. Taufan melirik si manusia ‘tiba-tiba’ dengan sinis. Lebih sinis dibanding yang selalu diberikan padaku maupun Sono.
Tiba-tiba aku ingat kejadian pada semester awal. Di lokasi yang sama – perpus, dengan keanehan yang sama, manusia ‘tiba-tiba’. Aku ingat betul manusia tiba-tiba itu datang mendekati kelompokku. Waktu itu aku bersama teman-teman sejurusanku sedang mengerjakan tugas PPKN, dan Renhart, pacarnya Vivi, sedang membetulkan laptop milik Nia. Si manusia tiba-tiba itu datang tak tahu dari mana asalnya, kemudian mengutak-atik laptop milik Nia. Dia bertanya soal game dan entah apalagi. Kupikir dia adalah salah satu teman dari kami tapi ternyata tidak.
“Gamenya apa aja?” tanpa mengucap ijin, si manusia ‘tiba-tiba’ itu langsung menjelajahi folder demi folder. Tak merasa menemukan apa yang dicarinya, dia mulai berhenti. “Nggak ada gamenya yang door door door,” ucapnya dengan gerakan tangan menyerupai bandit memegang pistol. Aku dan kawan-kawanku diam tak berkedip. Sampai si manusia tiba-tiba itu menghilang, kami saling pandang. Pandangan penuh tanya.
Aku dengan segera berpikiran untuk memberitahu Taufan lewat twitter, tapi mention dari Taufan masuk duluan. Pikiran kami sama. “Aku satu2nya yang normal disini @chus26pedrosa @Suharsonospy.”
“Aku anak Fisip. Kamu fakultas apa?” Si manusia ‘tiba-tiba’ itu memperkenalkan diri pada Sono.
“Ha? Ya…Fisip juga. Hehe,” jawab Sono.
“Aku jurusan IIP. Kamu jurusan apa? Kok nggak pernah lihat?”
“Ha? Politik. Hahaa.”
Si manusia tiba-tiba itu kembali mengotak-atik laptop milik Sono. Entah anime apa yang sedang dia cari. Sono membiarkannya saja, seperti sudah mengenal baik si manusia tiba-tiba itu. Mungkin mereka pernah dipertemukan di kehidupan sebelumnya. Barangkali juga mereka spesies sejenis yang dipertemukan setelah sekian lama terpisah.
Setelah si manusia tiba-tiba itu pergi, aku menceritakan kejadian yang kualami di masa lalu. Mulai adegan dia datang mengutak-atik laptop Nia, sampe drama door door door. Kami tertawa terbahak-bahak setelahnya.
“Onok yo sing luwih aneh tekan kalian.” Ucapan Taufan terdengan seperti syukur dan pujian. Syukur untuk tidak disatukan dengan manusia yang lebih aneh dan pujian karena kami jadi terlihat lebih waras sekarang.
“Kayaknya dia spesies mutan deh, Son.”
“What? No no no, dia alien kayak kamu.”
“Agen alien cuman ada 3. Aku, Pedrosa, sama Messi. Udah!”
“No, dia alien.”
“Wes rek. Opo ae, pokok’e arek iku mau aneh! Wes podo kambek kon-kon,” Taufan menengahi.
Setelah kejadian itu, manusia tiba-tiba itu menjadi terkenal di kalangan genk cacad. Kami selalu membicarakannya. Wira yang belum pernah bertemu langsung menjadi penasaran.
Suatu ketika aku, Sono dan Taufan ke Perpustakaan, kami bertemu manusia tiba-tiba itu di ruang publik. Kami segera memberitahu Wira, dan dengan segera Wira merespon, “Oke, gua kesana sekarang juga. Agak lama, Gan. Otw dari Rumah soalnya.”
Kami terus memperhatikan si manusia tiba-tiba itu. Dia lebih usil dari yang kami pikirkan. Dia berkeliling memata-matai satu per satu laptop pengunjung ruang publik. Begitu ada satu yang dirasa menarik, dia akan mampir tanpa mengucapkan salam atau apapun. Langsung menyambar tanpa ijin. Jika bosan dia akan pergi, dan pemilik laptop tentu saja memandangnya dengan terkejut.Tercengang tepatnya.
Entah apa lagi misi yang ada di kepala manusia tiba-tiba. Dia melihat sekitar, lalu berdiri dan mendatangi seorang perempuan. Mungkin temannya sejurusan … atau mungkin korban lain keusilannya. “Minta ya?” sambil langsung mengambil snack bahkan sebelum pemiliknya mengiyakan. Berdasarkan apa yang kuperhatikan, si pemilik snack mungkin saja korban lain kejahilannya. Dia selalu meninggalkan mangsa dengan keadaan terheran-heran. Jika merasa kurang, dia akan kembali dan meminta lagi.
Kami semua duduk lesehan di ruang publik, tapi si manusia tiba-tiba itu tidur tengkurap dengan kaki diangkat ke atas sambil menikmati animenya. Beberapa kali dia tertawa berguling-guling. Aku, Taufan, dan Sono saling pandang. Kami tertawa terbahak-bahak.
Wira datang satu jam setelahnya, dan sial bagi Wira, manusia tiba-tiba itu telah pergi. Wira ngomel, “Hah sumpah lu? Kenapa nggak lu cegat apa gimana gitu. Yah, Son, gua penasaran gila, anjay.”
Di hari lain, aku dan Taufan yang berjumpa dengan manusia tiba-tiba. Aku dengan sigap langsung memberitahu Wira. Ini berita super penting tingkat internasional yang harus diberitahukan. Wira dan Sono datang kurang dari sepuluh menit.
“Anjay, mana orangnya?”
“Iku lo, gawe baju kotak-kotak.”
Wira memperhatikan dengan serius. Perkuliahannya saja tidak pernah dia perhatikan seperti ini. “Bangke! Otaku bener deh.” Keanehan demi keanehan terkuak dari wujud manusia tiba-tiba itu. “Kurang ajar nih orang. Paraahhh!” Wira mengumpat sendiri.
“Saudara ente, Gan.”
“Gila lu! Ogah!”
Karena terlalu usil, kami juga mulai gedeg dengan si manusia tiba-tiba ini. Kami akhirnya menyusun rencana untuk membalas dendam. Sono yang jadi korban. “Ayo, Son. Pura-pura’o ndelok anime ta game ngono lho.” Taufan memaksa.
“Anjay, kenapa ane? Ayo, Chus! Kamu. Iya, kamu~”
“Males a. Kon ae sing sejenis!”
Kami berdebat sampai akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya. Bagaimanapun, tidak ada salah satu dari kami yang seaneh dia. Tapi Sono mulai usil. Dia memasukkan sampah makanan kami ke tasku, menyembunyikan kunci motor Taufan, dan menyembunyikan satu sepatuku.
“Sono iki mesti.” Insting Taufan benar.
“Mmm,” dia menggeleng. “Bukan ane.”
“Ayolah, Gan. Kate mole iki aku.”
“Son, balikno gak?” Aku mengancam. Kusambar charger laptop miliknya. “Siji … loro … sampe telu gak mok jukuk, tak deleh chargermu nak arakawa.”
“Eee, jangan.”
“Lha yo. Jukuk sek.”
Sono mengambil satu per satu barang kami yang disembunyikan. Bayangkan, sepatu yang baru kubeli disembunyikan di tempat sampah. “Asem sepatuku! Awas yo kon.” Begitu kuambil sepatuku, aku dan Taufan pergi. Kutendang satu sepatu Sono sambil berjalan keluar. Kami mendatangi meja manusia tiba-tiba dan menaruh charger laptop Sono di mejanya, lalu pergi.
Si manusia tiba-tiba itu terus melihatku dengan tatapan aneh. Tatapan yang sering diberikan orang saat diusilin olehnya. Kali ini, kubuat tatapan itu. Misi kami terselesaikan, balas dendamku juga terbalaskan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata