"Genk Cacad" : 2. Infeksi Chuu Ni Byou


Sedikit musik rock di pagi hari tidak buruk. Anggukan kepala, hentakan kaki, dan pukulan tangan ke meja. Di lantai satu ini aku duduk di samping tangga, menunggu dua teman baruku yang sedang mengikuti kelas konflik. Kebetulan aku pecinta damai, sehingga tidak mengambil kelas konflik.
Orang lalu lalang, keluar-masuk toilet sembari menatapku dengan cara yang sama seperti Donovan menatap Sherlock. Aku biasa saja, tidak memelototi mereka kembali. Takut disangka Santi, hantu yang konon bergentayangan di FISIP. Cukuplah dua gelar yang kusandang, Alien dan Tuyul. Itu saja sudah repot.
Suara langkah kaki berdatangan dari lantai atas. Kupikir jam kedua sudah berakhir. Taufan dan Sono juga sudah menyelesaikan kuliahnya yang penuh konflik, berdarah-darah … habis minum fanta tumpah di baju. Beberapa anak sejurusanku turun dan menyapa.
“Woy, Chus, ngapain?”
“Eh, alien? Mana ufonya?”
“Nungguin Taufan sama Sono. Lihat nggak?”
“Masih di atas deh kayaknya. Ayo FIB.”
“Bentar. Nyusul nanti.”
Duo sumo tak kunjung turun. Aku lelah menunggu. Tidak sabar untuk meng-copy anime yang dijanjikan Sono. Semoga mereka tidak pingsan di atas, kutakut lantai 3 ambruk.
“Ngapain kau?” terdengar seperti suara Taufan. Nada sinisnya khas.
“Ha? Sono mana?” aku bertanya tanpa dosa. Raut muka Taufan berubah lebih sinis, sudah tahu juntrutannya.
Taufan melirik ke belakang. Sono sedang berjalan santai, kemudian mengangkat tangan kanannya lurus 45o ke atas, dan menempelkan dua jari tangan kirinya di atas bibir dan dibawah hidung. Serupa dengan Hitler  yang sedang memberi hormat. “Yoo, rakyatku!”
Aku tertawa, tindakannya barusan membukakan inspirasi lawakan baru. Taufan melihat ke arah Sono dengan tatapan penuh kecurigaan, lalu beralih ke arahku. Semakin aneh. “Ya Allah, salah opo aku?” keluhnya. Lalu kami bertiga berjalan menuju kantin. Apalagi urusan rakyat jelata seperti kami, kalau bukan persoalan perut.
Sono memberikan satu anime yang lumayan baru kepadaku. Hap hap, kusiapkan flashdisk 4 giga berbentuk Gara dengan gentong pasirnya. Sono menerimanya, tertawa geli. Tak menyangka, seserius itu penyakit yang menjangkiti kejiwaanku.
Taufan sendiri tidak peduli. Jika ada hal yang menjadi prioritasnya saat ini, maka itu adalah sepiring nasi kriwul dengan es teh manis berukuran jumbo. Hari-hari buruknya sudah dimulai. Dia hanya berharap tidak tertular virus aneh ini. Virus yang harusnya sudah ditinggalkan ketika orang beranjak dewasa.
Sekarang, giliranku cekikikan memandangi laptop. Aku tahu, Taufan melirikku dengan sinis, tapi anime yang diberikan Sono jauh lebih menarik. So, I don’t care anyway.
“Please Chus, kon ojo dadi aneh koyok Sono. Wes cukup Sono, cukup!” Taufan akhirnya mengungkapkan perasaannya.
“Ha?” Aku mendengarnya, tapi malas saja meresponnya. “Hahaaa … hahaaa.”
“Yooo, ayo nonton!” Sono mencoba mempengaruhi Taufan.
“GAK! Suwun.” Tegas, padat. Taufan menolak.
Anime ‘Chuunibyou Demo Koi Ga Shitai’ ini sangat menghibur. Anime ini mengingatkanku kembali pada masa-masa kehinaanku. Masa di mana aku dengan bangga mengenakan jubah akatsuki … yang jika kupakai antara kebesaran dan kepanjangan. Setiap kukenakan, semua orang tertawa melihatku, beberapa melihat dengan heran. Suatu hari aku juga membeli ikat kepala dengan lambang Konoha seharga 3000 rupiah, yang bahannya adalah kain perca sisa buangan penjahit, dan diolah kembali oleh penjual mainan. Koleksiku lengkap dengan gantungan kunci Sasuke seharga 15.000 rupiah, juga komik seri Naruto. Aku membelinya dengan uang saku yang kusisihkan barang seribu-dua ribu tiap hari. Sereceh itu saja untuk tampilan keren yang kemudian kusesali seumur hidupku.
Anime ini juga membuatku ingat masa di mana aku meninggalkan Naruto. Sejak mengikuti anime Death Note, aku merasa ingin menjadi detektive. Saban hari menyelipkan isi pensil di engsel pintu. Tidak lupa juga potongan kecil kertas. Hasilnya, setiap kali pulang sekolah … isi pensil patah dan potongan kecil kertas hilang entah ke mana. Aku marah, lari mencari Ibu dan bertanya siapa yang masuk. Dengan santai Ibu hanya menjawab, “Ibuk. Kenapa? Kamar kayak kapal pecah gitu nggak mau dibersihin?” Aku diam. Tidak jadi marah tapi malah mendapatkan omelan.
Satu minggu berlalu, aku bosan. Tidak ada yang bisa diselidiki. Aku gagal menjadi detektive. Isi pensil menjadi cepat habis. Ibu marah lagi karena aku memboroskan uang untuk membeli isi pensil. Kuputuskan untuk meninggalkan dunia ‘Kira’. Bye!
Kembali ke pertemuan kami bertiga. Setelah menonton aku merasa dibangkitkan kembali. Aku berinisiatif untuk mempengaruhi Taufan, hanya agar tiga orang dalam kelompok ini bisa membentuk sekomplotan manusia aneh. “Delok ta lah, Fan. Bagus. Rugi gak ndelok!” ucapku mempersuasi. Sono mengacungkan kedua jempolnya.
“Apa sih? Tentang apa memangnya?” Taufan penasaran. Dia memperhatikan sejenak, lalu kembali menghabiskan makanannya. Setelah itu dia tertarik untuk melihat bersamaku. Aku dan Sono tersenyum setan.
Setelah beberapa saat mengikuti alur, Taufan meng-copy ‘chuuni byou’ dan memilih menamatkannya di rumah. Esoknya kutanyai pendapat Taufan soal anime tersebut. “Kau banget itu, Chus!” ucapnya mengejekku.
“Hahaha,” aku tertawa. “Iya se. Jaman SMP gitu kan masih sering niru jurus-jurus di Naruto, dan berasa keren gitu. Apalagi jaman SD, aku malah percaya lho kalau Ultraman itu beneran. Hahaha,” aku kembali tertawa. “Dulu temen sebangkuku SD, namanya Deni. Dia bilang  kalau dia itu Ultraman, dan sok-sok’an, cak.”
“Lho, Chus. Aku tadi itu ngejek kamu, lho.” Taufan menjelaskan maksud ucapannya.
“Lho, iya ta? Hahaha.”
Sono tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku, sekaligus tak habis pikir akan menemui spesies yang cukup unik di dunia ini. Taufan sendiri … pasrah. Mukanya melas, minta ditolong sama siapa saja yang lewat.
“Ente memang chuuni byou!” Sono kembali mengacungkan jempolnya dan tertawa, “huehuehue.”
“Siap, The dark flame master!” Aku mengangkat tanganku, hormat kepada Sono.
“Oik! Ente The evil eye master. Huehuehue.”
Taufan menggeleng-geleng. “Gila! Sumpah aku salah panggon iki rek. Salah!” ucapnya kesal. Kon iku, Chus, sumpah, freak banget!”
“Kamu orang kesekian yang bilang aku freak. I have so many nick name, by the way. Buanyak wes julukanku : tuyul, alien, nerd, freak, singa, ucil. Wes akeh pokoknya.” Kukibaskan tanganku.
“Yaudah, namamu sekarang Freaky Chuuni byou!” ucap Taufan mengejek.
“Boleh boleh. Keren tuh!” Aku manggut-manggut, kesenangan. Taufan merasa menyesal mengatai. Kok ada orang kayak gitu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata