Serigala Yang Melolong Saat Bulan Purnama

Itu adalah malam bulan purnama, ketika aku pertama kali bertemu dengan manusia serigala itu. Dia nampak seperti laki-laki pada umumnya, hanya berambut panjang, sebahu, dan bermata tajam. Tapi mata tajam itu nampak seperti mata orang-orang kesepian, yang membuatnya melolong tiap kali bulan mencapai kenampakan yang sempurna. Aku terus memperhatikan keanehan demi keanehan itu.

Kami, aku dan laki-laki berkaus merah itu, berkenalan. Dia menawariku dua buah buku bagus, dan meminta nomorku sebagai gantinya. Ya Tuhan, rupanya dia bisa tersenyum. Di dalam hati, aku merasa geli sendiri memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu.

"Ada nomor yang bisa kuhubungi? Akan kukirimkan buku-buku ini," ucapnya menawarkan.

Aku? Kenapa pula harus kuberikan nomorku pada laki-laki yang baru kutemui sekali itu? Aku hanya melihatnya. Seperti teguh tak akan memberikan nomorku padanya, tapi sepersekian detik kemudian, aku seperti tersihir. Teguh itu berubah menjadi ragu, yang kemudian membuatku, dengan kerelaan, menyebutkan 12 digit nomor ponselku.

"Oke, akan kukirimkan."

Hari-hari selepas dia menyimpan nomorku, dan begitu sebaliknya, adalah awal yang membuka gerbang dari segala pintu. Kami bertukar pesan, beberapa obrolan mendalam, beberapa cerita, dan aku suka cerita.

"Apa pertanyaanmu hari ini?" Dia bertanya padaku.

"Pertanyaan apa?" Aku kaget mendapat pertanyaan seperti itu.

"Pertanyaanmu ketika bangun tidur, dan yang mendorongmu bangun untuk mencari jawabannya. Aku selalu membuat pertanyaan ketika bangun tidur."

"Entahlah. Apa pertanyaanmu?"

"Padu-padanan kata yang tepat untuk menggantikan blablabla ..." dia mulai bercerita panjang. Aku suka mendengarkannya.

"Ketemu jawabannya?"

"Belum. Makanya, aku bangun pagi ini."

Di sela-sela pembicaraan, dia selalu lihai menyelipkan pertanyaan tentang diriku. Seperti apakah aku sudah lama sendiri? Di mana rumahku? Di mana tempatku tinggal? Usiaku dan banyak hal. Kadang kujawab, kadang juga aku menolak menjawabnya.

"Apa kau bisa masak?" Aku bertanya saat kami membahas aktivitas sehari-hari di rumah.
"Kalau cuma bikin nasi goreng, sayur sop, dan masakan-masakan sederhana lainnya, aku bisa," jawabnya.
 Aku ganti menanyainya beberapa hal. Dsn setelahnya, kudapati gambaran kecil tentang laki-laki itu.
"Kamu tahu, aku sudah senang ketika kamu ganti menanyaiku," ucapnya tiba-tiba.
Aku tertawa mendengar kalimat itu. Ini adalah gombalan kecil, aku tak akan tkluk oleh gombalan macam ini, batinku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat