Manusia dan Pohon

Rel-rel terlihat memuai di ujung barat dan timur. Suara kereta sekitar 100 meter di depanku, nyaring sekali terdengar, sekejap setelahnya hanya suara manusia bercengkrama yang tak jelas di telinga. Di sampingku, duduk laki-laki berkacamata yang sedang fokus dengan komputer portabel kecil di hadapannya. Aku sendiri menuliskan ini, di buku harian kecil bersampul cokelat milikku, sebelum akhirnya menyalinnya menjadi tulisan yang bisa kalian baca. Lewat ekor mata kuperhatikan laki-laki yang tengah duduk di sampingku. Kami sangat dekat, sampai kulit tangan kami bersentuhan sesekali. Kusandarkan kepalaku pada lengan tangannya. Bahunya terlalu tinggi untukku, lantas dia menurunkan bahu kanannya.
"Mengantuk?" Dia bertanya.
Aku menggeleng. Kulirik apa yang sedang dikerjakannya dengan begitu serius. Angka-angka dan grafik yang tak kumengerti. Lama-lama aku mengantuk juga, tapi kereta kami akan segera datang. Aku kembali duduk dengan posisi tegap sebelum kantuk menyerangku.
Dia membereskan barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas. "Boleh?" tanyanya sembari mengulurkan tangan. Kuulurkan tanganku. Satu yang paling kusuka adalah dia hampir selalu meminta izin untuk segala yang menyangkut kami berdua, bahkan untuk urusan kecil seperti bergandengan tangan. Sedang aku hampir selalu sesuka hati melakukan apapun yang kumau. Tak pernah mau diatur, dia tahu betul sifatku.
Kereta datang dari arah barat, kami masih berpegangan tangan. Satu..dua.. belum sampai pada hitungan tiga, genggaman tangannya lebih erat. Kami berdiri, ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang akan menaiki kereta tersebut. Beberapa orang datang dari arah belakang menabrakku. Suasananya ramai, ini jelas tak membuatku nyaman. Kupegang lengannya dan berjalan sedikit di belakangnya. Beberapa langkah, sampailah kami di kereta, mencari tempat duduk kami.
Duduklah kami di barisan kesekian dari depan, kupilih tempat yang dekat dengan kaca. Aku tersenyum ke arahnya. Kami melepas genggaman tangan sebentar, lantas kembali saling menggenggam tangan selama perjalanan. Sekitar lima jam perjalanan dan kami terus bergandengan tangan, seperti tak ingin kehilangan satu sama lain. Iya, aku tak mau kehilangan dia, bukan saja karena takut dia meninggalkanku di tempat yang seramai ini, tapi lebih dari itu, takut kehilangan dia.
"Bersiap untuk tidur." Dia menebak, lantas tertawa keci. Gigi gingsulnya manis, tawanya manis, tapi entah selalu tipis. Tak pernah lepas.
Aku menggeleng, padahal memang benar tebakannya, hanya berpura-pura mengamati lautan manusia di luar kaca. Ada yang selalu membangunkanku dari tidur. Awan-awan yang mengapung di langit, dengan berbagai bentukan. "Jika bisa memilih, kau ingin terlahir menjadi apa?"
"Manusia. Tetap pada takdirku. Kau? Jangan katakan alien."
"Mungkin Pohon"
"Kenapa?"
"Karena pohon mengagumkan. Hanya itu."
"Mengagumkan?"
"Perlahan tumbuh, tak ada suara yang berisik dari pertumbuhannya, konstan sampai pada puncak pertumbuhan. Hidup karena dihidupkan, dan menghidupi lainnya. Menghasilkan oksigen agar mahluk lain bisa bernafas."
"Tak takut suatu saat petir akan menyambar?"
"Konsekuensi dari kehidupan adalah kematian. Jika dia mati, maka akan diganti. Pohon-pohon lain akan ditanam, dan dia masih tetap tak bersuara, tak berontak. Ketabahan sang pohon."
"Aku tak pernah mengerti maksudmu, tapi untuk sekarang biarlah kita menjadi manusia." Dia tersenyum lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata