Pulanglah, nak

Malam melelap, jutaan ekor terbebaskan jiwanya di kala malam. Sedang beberapa melebur dosa dengan doa, tidur, dan sakitnya, sementara lainnya menebarkan. Ratusan kilometer jauhnya, ketika manusia melampaui batasan bernama jarak. Ditengah lelap sang anak, seorang Ibu menelepon. Jarum jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Sayup si anak melihap telepon genggamnya, gemetar dengan tanya mengapa sang Ibu menelepon sepagi ini.
"Halo, assalamulaikum," telepon diangkat.
"Waalaikum salam. Nak, bagaimana kabarmu?" Ibu itu bertanya dengan nada berat.
Tertanya dalam batin si anak, ada apa dengan Ibunya. "Baik, bu. Apa Ibu sakit?"
"Tidak, hanya rindu padamu," jawabnya singkat. Sudah hampir dua bulan lamanya mereka tak berjumpa.
Tiba-tiba terasanya nyeri hati si anak mendengar jawaban sang Ibu. Pekerjaan memakan terlalu banyak waktunya barang untuk sekedar menelepon, mendengar suara sang Ibu. Apalah yang bisa diperbuat pesan singkat, bahkan telepon tak juga meredam rindu sang Ibu. "Alhamdulillah Ibu sehat. Minggu depan insyaAllah saya pulang, bu. Tadi masak apa?" ucapnya menahan airmata.
"Sayur sop sama perkedel dan tempeh. Bagaimana kamu di sana? Bagaimana makanmu?" tak ada yang lebih ditakutkan Ibu dari kesehatan anak-anaknya. Si anak perempuan suka lupa makan, suka pilih makanan, Ibu mana yang tak khawatir.
"Baik, bu. Saya baik-baik di sini. Orang di sini ramah, Ibu jangan khawatir." Kemudian hening, telepon masih tersambung. Airmata menetes, satu demi satu, membentuk lintasannya. Basah sudah pipi si anak.
Diantara lelap anak perempuannya, si Ibu terjaga menahan rindu. Sebuah telepon yang dinanti tak kunjung datang, hanya sesekali pesan singkat memunculkan kabar. "Ya sudah, kembalilah tidur. Ibu tutup teleponnya. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Diam si anak merenung. Malam seolah tak ada habisnya, adzan subuh tak juga terdengar. Hatinya sakit hingga membuatnya terjaga. Dosa besar dia telah lupa, bahwa jauh di sana Ibunya menanti telepon dan kepulangannya ke rumah. Rumah mereka. Mucullah bayangan tentang rumah, tentang Ibu dan orang-orang lain di dalamnya. Tak pernah serindu itu. Kuat pikirannya terbang melampaui ratusan kilometer, sekuat inginnya untuk pulang.
Doa-doa diucap dengan harap, tangis-tangis yang dilepas bebas, dan apapun yang bisa meleburkan rasa sakitnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata