Cerita Pendek : Perjalanan Pulang


Perjalanan pulang sore hari, jalanan macet dipenuhi kendaraan. Kunyalakan radio yang memutarkan lagu-lagu lawas, kami menikmatinya. Tiba-tiba teringat bertahun-tahun lalu, perjalanan pulang sore hari bersamanya. Menyenangkan mengingat memori kami.

“Mau menepi sebentar?” tanyaku padanya.

Dia mengernyitkan dahi, seolah berkata tidak bisa mengabulkan permintaanku.

“Kalau sudah tidak macet.” Aku tersenyum memberikan penjelasan

Dia mengangguk, lantas melihat ke arahku. “Ada apa?”

Tak kujawab pertanyaannya. Kuturunkan sedikit kaca mobil, lantas kukeluarkan tangan kiriku sampai pergelangan. Angin melewati celah-celah jari, hangat. Suhu di dalam jauh lebih dingin. Kugerak-gerakkan jemariku, kemudian bersandar di pintu yang terkunci rapat.

Dulu sekali, perjalanan pulang di sore hari selalu menyenangkan. Romantis tak terkatakan. Dia duduk di depan memboncengku. Kayuhannya pelan, kami selalu menikmati perjalanan pulang. Kesempatan berdua beberapa menit yang berharga, dengan sapuan merah di langit barat yang mempesona, angin sejuk yang mengeringkan keringat kami – sisa permainan basket siang tadi, dan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, menerangi. Tak banyak kata yang kami ucap. Aku menjadi hafal punggungnya yang basah, keringat yang menetes dari ujung rambutnya yang lembut, dan aromanya yang asli, tanpa wewangian palsu. Aku tersenyum sendiri mengingatnya.

“Ada apa? Apa aku melewatkan sesuatu?”

Aku kembali menggeleng. Kuamati wajah pria di samping kananku, rapi dengan kemeja dan jasnya. Wangi parfum pagi tadi masih tercium dari tubuhnya. Tiba-tiba terlintas ingin menghitung, berapa lama sudah waktu yang kami habiskan bersama. Seperti baru kemarin dia menyatakan perasaannya padaku, yang sesungguhnya tahunan lalu. Enam tahun yang lalu.

“ Sometimes i wonder, how i'd ever make it through. Though this world without having you. I just wouldn't have a clue...” Dia bernyanyi mengikuti suara dari radio yang kami putar. Suaranya tak pernah semerdu petikan gitar yang biasa dimainkan. Aku tertawa kecil, kemudian ikut bernyanyi bersamanya.

Ketika melihat Masjid di sebelah kiri jalan, kami memutuskan untuk berhenti. Di belakang Masjid itu terdapat hamparan sawah. Matahari belum benar-benar tenggelam, sehingga muka langit masih merah, bersemu malu. Aku menikmati udara sore itu sembari menunggunya sholat.

Kenapa menyenangkan sekali? sampai membuatku takut jika perasaanku akan tenggelam bersama pudarnya senja. Udara mulai dingin, tapi masih bisa kutahan. Suara langkah mendekat. Aku menoleh, dia tersenyum dengan wajah yang masih setengah basah, berjalan ke arahku. Kami lantas duduk menghadap barat, mengantar kepulangan mentari yang seharian menyinari.

Tenang sekali, hanya beberapa suara jangkrik, tapi tak terlalu mengganggu. Kulirik ke arahnya, raut mukanya yang juga tenang, menenangkan. Bermenit-menit kami habiskan diam seperti ini, tak ada pembicaraan. Bahasa alam sepertinya telah cukup menyatukan. Ketika hari telah benar-benar gelap, dia berdiri dan mengulurkan tangannya, ajakkan untuk pulang. Kusambut tangannya, kami berjalan dengan pegangan yang erat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata