Cerita Pendek : Perempuan Juga Ingin Merdeka

Siang itu kami duduk santai menghabiskan waktu bersama. Hanya tinggal beberapa jam sebelum dia akan kembali ke kota. Aku masih membaca sebuah buku sembari menanggapi candaan-candaan ringannya. Orang mungkin akan melihat ini sebagai aktivitas yang membosankan. Duduk diam, hanya sesekali bercengkrama. Tidakkah menarik mengamati raut muka pasangan yang sedang serius berpikir, atau terlihat menikmati pekerjaannya? Menggambarkan macam-macam ekspresi wajahnya dalam tumpukan kertas sketsa. Bukankah hal yang sangat romantis ketika kami saling menatap dan tersenyum? Kebahagiaan yang tak terkatakan. Seringkali kata mereduksi makna, tapi bukan berarti menjadi tak perlu.

"Apa kelak kau akan membenciku?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menggeleng tak tahu, "Kenapa dengan pertanyaanmu?"

"Tidak, hanya saja sering melihatmu membaca tentang feminisme."

"Dan?"

"Mungkin kau akan mengutuki laki-laki. Aku laki-laki."

Aku geli mendengar perkataannya. Tertawa ringan tanpa maksud untuk menghina pendapatnya. "Bacalah!" Kuambilkan sebuah buku untuknya.

"Aku sudah banyak mendengar, tapi akan kuluangkan waktu untuk membaca ini."

Kulihat pria di hadapanku dengan seksama. Aku mengangkat bahu, tak tahu harus mulai perkataan dari mana. Sejenak mengambil waktu dan menata apa yang akan kukatakan. Dia menunggu, matanya mengatakan padaku. "Aku suka membacanya mungkin karena ingin bebas. Mungkin menemukan jawaban dari pertanyaanku selama ini."

Dia mengangkat bahunya sedikit, aku bisa membaca dia menanti penjelasan. kulanjutkan kembali, "Sebutan wanita terlalu membebaniku. Kenapa harus menjadi wanita? Tidakkah menurutmu berat menjadi wanita?"

"Aku tidak terlalu paham."

"Aku juga," entah sebuah jawaban atau apa.

Kurenungkan kembali sebutan 'wanita', dan entah mengapa tak terlalu suka. Segala sifat yang dilabelkan pada gender perempuan. Lemah lembut, penuh cinta dan kasih sayang, tidak rasional, emosional, perasa, lemah dan kemudian membangun persepsi dalam masyarakat bahwa perempuan kurang atau bahkan tidak cocok menjadi pemimpin, tidak seharusnya bekerja di luar (rumah), harus begini dan begitu. Seperti robot yang disetting sama, bergerak dan tindak sama dalam bentuk yang sama. Kemudian menjadi lebih jengkel jika mereka mencampur adukkan antara kodrat (pemberian yang tak dapat dirubah) dan konstruksi sosial.

"Kenapa berat menjadi wanita?"

"Jika pada akhirnya aku memutuskan untuk menikah dan menjadi istrimu, apa aku harus memasak? Membersihan rumah? Tinggal di rumah sepanjang hari untuk menunggumu pulang? Apa aku harus menuruti segala perintahmu, meninggalkan semua teman-temanku dan hanya berdandan untukmu?"

"Itu pilihanmu."

"Bagaimana orang-orang menganggapku jika aku tak bisa memasak, sepanjang hari bekerja, tidak membersihkan rumah, tidak memperhatikan penampilan? Apa yang akan kau lakukan?"

"Memanggil pembantu rumah tangga."

Kulihat ke arahnya, pandangan penuh tanya. Tidak sepenuhnya setuju dengan jawabannya.

"Aku tak tahu, tapi mungkin tidak terlalu biasa dalam budaya di masyarakat."

"Kau bisa memasak?"

"Ya. Hanya beberapa masakan sederhana."

"Kau bisa membersihkan rumah?"

"Ya, meskipun tak terlalu bersih."

"Apa aku bisa berpikir dengan jernih tanpa terpengaruh emosi?"

"Kupikir begitu."

"Kau bisa menangis?"

"Tidak di depanmu ataupun orang-orang."

"Kenapa?"

"Tidak saja."

"Malu? Karena aneh? tidak biasa dalam masyarakat jika laki-laki menangis?"

"Mungkin begitu," dia terlihat berpikir. "Aku tahu arah ini. Tapi beberapa feminis menolak pernikahan, membenci kaum laki-laki. Apa kau akan seperti itu?"

"Aku percaya kau adalah laki-laki yang cerdas, untuk itu kupinjamkan bukuku. Kau mengenalku, bukan?" Aku tersenyum.

"Kau tidak akan seperti itu kan?"

Aku menggeleng, tidak tahu. Pandanganku masuk ke dalam matanya, jauh masuk ke dalam. "Di daerah yang aku bahkan tak tahu, masih banyak perempuan yang terpenjara dalam sebutan 'wanita'. Budaya dikonstruksikan untuk memenjarakan mereka, merampas kebebasan fisik dan pikir mereka. Hanyak agar diterima di masyarakat, mereka kemudian menjadi robot-robot, dieksploitasi, dijadikan budak seks, dan banyak lainnya. Kau tahu berapa banyak anak perempuan yang tak diperbolehkan sekolah? Atau perempuan golongan bawah yang harus mengalah hanya agar adik laki-lakinya dapat bersekolah?"
Kami saling bertatapan, seolah perkataanku telah masuk dipikirannya, tapi tak tahu jelas apakah diterima dengan baik.

"Berapa banyak perempuan yang tak punyak hak pilih, tak punya hak untuk dipilih, atau diragukan kemampuan karena gendernya, bahkan oleh sesamanya?" Aku tak tahu apa yang kukatakan.Seolah tak mau berhenti, aku terus berbicara. Rasa sakit hatiku selama ini melihat sesamaku yang dipenjarakan pikirannya.

"Di sini, aku percaya kau tidak begitu melihatku. Di luar sana, masih banyak yang melihatku dengan tatapan aneh karena melenceng dari apa yang mereka katakan sebagai 'kodrat'. Di luar sana, banyak perempuan yang jauh lebih tersiksa dariku. Bersyukur bukan hanya semata mengucap alhamdulillah, tapi dengan tidak membiarkan sesamaku terus mengalami ketidakadilan." Aku berhenti sejenak, segelintir air mata tergelincir. "Aku membaca, sesamaku terdahulu yang dipandang sebagai budak seks semata. Tunduk dalam kekuatan budaya patriarki. Beruntung kaum atas dan menengah, pembantu bisa dibayar. Sedang kaum bawah? melakukan 2 pekerjaan, di dalam dan di luar. Pagi bangun untuk menanak nasi, menyiapkan sarapan suami, membersihkan rumah, dan berangkat bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk mendapatkan gaji. Dibentak dan dimaki majikan, dipersalahkan jika anaknya berbuat nakal karena tak memberi perhatian. Pun ketika pulang harus menyempatkan diri ke pasar, berkumpul dengan senasibnya dan mencari kayu di hutan. Bahkan malam tak lepas dari urusan dapur dan memikirkan apa yang akan dimasak esok. Jika pekerjaan luar bisa dilakukan berdua, kenapa tidak dengan pekerjaan dalam rumah?"

Dia masih melihatku, aku tak tahu apa yang dipikirkannya setelah mendengar perkataan-perkataanku.

"Aku tidak membenci laki-laki, tidak juga kau. Aku hanya ingin bebas... membebaskan sesamaku."
Dia membenarkan poniku. Tersenyum, entah apa artinya, tapi tetap saja...menenangkan seperti biasa. Aku sendiri tidak yakin, apa aku ingin bebas. Kadangkala cinta membuat orang rela untuk dipenjara. Kebebasan bukan segalanya, pun begitu cinta. Aku hanya tak suka melihat diriku disiksa, sesamaku disiksa. Tersiksa. Apa manusia suka menyiksa dirinya dengan 'seharusnya'? Bahkan Tuhan tak melarang perempuan untuk berpendidikan tinggi, tak menyuruh hambanya mengedepankan laki-laki dalam segala hal, termasuk pendidikan dan bahkan urusan makan semata. Kita saja terlalu...entah terlalu apa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Sesekali Dalam Sehari