Tak Berhenti

Malam ini gelap memekat, seperti hendak merampas cahaya dari sumbernya. Tidak, dia hanya menghalangi mataku agar tidak menangkap cahaya. Dingin. Genap hampir enam bulan lamanya sejak aku mengantarkannya ke Bandara. Sejak itu pula kami terpisah beribu kilometer, untuk waktu yang lebih lama, dan mungkin akan lebih lama lagi. Malam ketika dia menelepon dari jarak sejauh itu, aku mendengar suaranya yang sungguh lelah, seperti melihatnya dipangkuanku terlelap sambil menggenggam tanganku. Dia berbicara secukupnya tentang aktivitasnya, kudengarkan dengan seksama sembari memvisualkannya di pikiranku. Hampir setiap hari dia meneleponku, kami mencari waktu yang tepat, seolah waktu juga tak bersahabat setelah jarak yang memuai, melebar, dan memanjang. Semakin hari semakin sulit, dan komunikasi jarak jauh tersebut kian jarang, kian singkat.

Aku hafal laki-laki yang telah bersama selama bertahun-tahun lamanya. Sikapnya yang selalu dingin, tapi entah mengapa menjadi lebih dingin. Lantas, darimana datangnya pikiranku, untuk membebaskannya sejenak. Setelah komunikasi yang tak baik berbulan-bulan lamanya. Aku tahu ada yang mengganggunya, mengikat sebagian pikirannya di sini, bersamaku. Entah aku atau dia yang tak lagi sama, barangkali ini titik jenuh yang dimaksudkan orang-orang. Tapi aku tak pernah merasa jenuh, sama sekali tidak pernah merasa bosan. Kemudian menjadi takut, apa dia telah bosan?

Apakah dia masih sama, selalu sibuk dengan komputer portable kecil miliknya, dan sesekali meraih secangkir cappucino dengan tangan kirinya? Apakah dia masih sama, meletakkan tangkai cangkir pada sisi terluar? sambil sesekali mengerutkan dahi dan membenarkan letak kacamatanya? Apakah dia masih sama, terbuai hingga larut lantas memanggilku lewat telepon hanya untuk mendengar suaraku? Masih samakah dia seperti waktu kulepas dia di bandara? Seperti ketika dia berjalan terbalik untuk melambaikan tangan sebelum lepas bersama pesawat terbang? Lepas.

Sampai pada kata, "Sepertinya memang harus jalan terpisah, jika begitu kita tahu rasanya sendiri." Kutunggu kalimat balasan darinya, sambil menerka-nerka jika dia akan mengiyakan atau menyanggah pendapatku. dua detik baru saja berlalu, tapi terasa lama. Apa dia mendengarku?

"Istirahatlah, kutelefon lagi nanti." Dia menolak untuk menanggapi. Telepon malam ini berakhir. Sejujurnya, sedikit dari diri ini lega.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata

Suara Angin Lewat