Mengekspresikan Emosi


Pernah tidak kita merasa 'sungkan' atau justru 'lebay' ketika menerima pujian?

Sejujurnya, itu yang kurasakan, meski kadang di dalam hati ada rasa senang juga, tapi sering tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika dipuji. Saya sepertinya hampir tidak pernah menerima pujian dari orang tua ketika kecil, meski saya tahu bahwa di belakang saya, bapak atau almarhum ibu memuji anak-anaknya. Jadi, agak aneh bagi saya ketika kemudian saya menerima pujian, doa, atau apa saja.

Di keluarga kami, emosi hampir jarang diekspresikan secara luwes, kecuali amarah yang memuncak, baik itu dengan menangis atau marah-marah. Itu pun hanya orang tua yang punya privilese mengekspresikan rasa marah. Anak-anak hanya mengekspresikan rasa marah jika sedang berantem antar saudara. Jadi, saya juga tidak tahu sesungguhnya bagaimana mengekspresikan rasa senang di dalam rumah, atau membagikan kekecewaan melalui komunikasi yang baik.

Ketika ulang tahun, setelah memberikan nasi kuning kepada teman-teman dan atasan. Ada moment awkward tahun lalu. Atasan saya bertanya, apakah hari itu ulang tahun saya? saya katakan iya. Beliau memberikan doa yang baik-baik, dan saya tahu itu tulus. Hanya saja, saya selalu tidak tahu bagaimana cara merespon.

"Selamat ulang tahun ya, mbak. Semoga apa yang diusahakan mbak chusnul dimudahkan oleh Allah SWT..."

"Amin, terima kasih, bapak." saya segera mengambil langkah mundur, bersiap untuk keluar."

"Semoga didekatkan jodohnya..."

Saya tidak menyangka ada sambungannya, lalu saya aminkan kembali, dan mundur kembali.

"Semoga diberikan kesehatan dan sekolahnya dilancarkan oleh Allah SWT..."

Doa yang saya kira sudah selesai, ternyata masih bersambung. Mungkin karena sudah dua kali melihat saya melangkah, atasan akhirnya menghentikan doanya. "Barakallah. Sekses selalu ya."

"Amin. Terima kasih, bapak." Akhirnya saya keluar ruangan.

Itu bukan pertama kali dan terakhir. Ketika semua orang memberikan doa sebelum atasan saya berangkat umroh, saya yang setiap hari duduk di depan ruangannya bingung juga mau mendoakan bagaimana, akhirnya hanya mengucapkan lewat pesan, semoga lancar ibadah dan selamat sampai tujuan. Begitu pun ketika lepas ibadah umroh. Orang-orang datang ke rumah atau bersilaturahmi ke ruangan. Saya sampai harus bertanya kepada teman saya, apakah perlu mengucapkan selamat ketika berkunjung atau apa yang harus dikatakan?

"Hahahaha. Kalo ketemu langsung, biasanya aku akan basa basi, 'bapak, pripun sehat? lancar, pak, umrohnya?' kalo wa, enggak. Tapi kalo ketemu langsung aja. Kayak small talks santai aja."

Masalahnya adalah saya tidak tahu caranya melakukan small talk. Setiap pagi atasan lewat di depan meja sambil menyapa, "Assalamualaikum. Sehat, mbak?"

"Waalaikum salam. Sehat, bapak." Itu saja yang bisa kukatakan. Bahkan untuk bertanya kembali, saya juga merasa aneh.

Suatu saat, seorang yang saya temui dari dating apps memuji saya sebagai perempuan yang cerdas dan pintar. Saya tidak menanggapi pujiannya. Dia melakukannya beberapa kali sampai akhirnya saya risih mendengar itu. "Compliement is good, but if you do it often, its like sugar coating, and i dont like it."

Kadang-kadang saya merasa pujian itu tidak perlu diberikan kepada saya, karena sejujurnya saya takut jika di kemudian hari pujian itu berubah menjadi kekecewaan. Tidak jarang bahwa pujian itu berubah menjadi amarah. Kadang-kadang, saya takut menerimanya.

saya pun jarang memberikan pujian kepada orang. Paling-paling hanya ucapan terima kasih. Saat itu, orang itu bilang bahwa saya benar-benar cewek yang dingin dan tidak menghargai usaha orang. Saya bingung salah saya di mana, tapi karena beberapa orang bilang seperti itu, saya coba mencari tahu di mana letak kesalahan saya ketika bicara. Ternyata memang, saya tidak memiliki kehangatan seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Otak saya hanya terlatih melakukan hal-hal yang lebih masuk akal dan perlu.

Dulu saya tidak merasa ada yang salah, sampai saya bertemu dengan lebih banyak orang dan menyadari bahwa rupanya ada yang lebih menyenangkan untuk dilakukan dan diterima, yaitu komunikasi yang hangat. Mengekspresikan rasa syukur, bangga, bahagia, dan kekecewaan supaya semua beban tidak menumpuk jadi satu di dalam diri dan meledak sewaktu-waktu seperti bom.

Saya mulai belajar untuk menyampaikan jika saya kecewa, tanpa harus dengan marah-marah. Saya belajar menyampaikan rasa terima kasih, supaya yang mendengar juga merasa senang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat