Pengukuhan Bajuri



Entah angin apa tiba-tiba Taufan dan Sono bisa berkomunikasi dengan baik. Mereka terlihat senang sekali, dan sejak kapan Rendy datang? Oh no, kurasa ini hari sialku. Entah mengapa, aku selalu merasa nasib buruk akan menimpaku jika ada Rendy.
Rendy ini sejenis Taufan yang suka sekali berdebat, tapi bedanya logika Rendy ini tepat. Dia memancing emosi setiap lawan debatnya sehingga argumen lawan menjadi tidak lagi rasional karena dipengaruhi emosi. Aku? Ya, aku sering sekali kalah berdebat dengan Rendy. Tapi tidak juga, bukan kalah karena aku tak mengikuti alurnya. Kami hanya berpikir dengan pedoman yang berbeda. Tapi aku tetap tak suka dengannya. Meski begitu aku tetap memanggilnya ‘Bang’. Dalam beberapa hal, dia adalah teman diskusi yang baik.
“Kon sik urip ta?” tanyaku sinis.
“Kenal?” Jawab Rendy dengan tak kalah menjengkelkan.
“Kon ngaliho po’o, Bang. Bosen aku ndelok wajahmu terus!”
“Sek ta. Kenal ta?” Dia menjawab dengan santai, dan itu juga yang membuatku semakin kesal.
Taufan dan Sono menertawakanku. Sesungguhnya mereka ini sahabatku atau sahabat Rendy? Dasar para penghianat! Kulihat senyum penuh kejahatan dari wajah pria-pria itu. Aku benci situasi seperti ini.
“Bandingno se ambek koncomu iku!” Rendy menunjukku ketika berbicara dengan Sono. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi aku terseret ke dalam pembicaraan setan itu.
“Nooo, jauuuh!”
“Apa sih?”
“Jangan dibandingkan. Memang tidak sebanding.” Rendy berbicara kembali. Kali ini dengan nadanya yang sok bijak.
Sono manggut-manggut dengan muka mengesalkan seperti biasanya. Dia menoleh ke arahku lalu menggeleng-geleng, kemudian memandang ke arah lain dan mengacungkan kedua jempolnya. Aku penasaran.
“Iko lho kerudung pink!” Rendy menunjukkan sesuatu pada Sono. Seketika aku ikut menoleh. Rupanya mereka membicarakan perempuan-perempuan cantik.
Entah sejauh apa pembicaraan mereka, aku tidak terlalu peduli. Tapi menjadi satu-satunya orang yang tidak paham, aku seperti teralienasi.
“Kalian ngomongin apa sih?” Aku bertanya untuk kesekian kalinya.
“Opa opo klopo. Mesti gak paham arek iki. Oneng!”
Kesekian kali aku mendapatkan omelan Taufan, dan kesekian kali pula aku dipanggil Oneng. Lama-lama aku menjadi jengkel.
Kali ini pembicaraan mereka seputar menurunkan berat badan. Mereka berniat lari pagi di sekitar KONI, Sono dan Taufan. Aku menyumbangkan ide, “Kampus C aja, nanti bareng-bareng!”
“Sanggup a tangi isuk?” Taufan menekankan pertanyaan pada Sono.
Sono berpikir, lebih ke mengulur waktu. Kebiasaan lama Sono.
“Sanggup ngono lho, Gan!” Aku menepuk bahu Sono. “Kalian lho lemu. Semangat diet ngono lho!” Aku bicara tanpa sadar, tanpa memikirkan konsekuensi dari perkataanku.
SRING!!! Mata tajam Taufan tertuju padaku. Aku menelan ludah, menyesali segala kelancanganku. Mampus!
“Nyadaro ngono lho. Kon lho rodok lemu, cilik sisan. Dadine gundek! Oneng sisan!” Serangan balasan bertubi-tubi. Aku penasaran, lidah Taufan terbuat dari pisau swiss atau pemotong daging? Ketajamannya melukai hati orang yang mendengarkan.
“Lho, aku lho gak selemu kalian, Cak!” Kali ini aku akan bertahan. Aku tidak boleh kalah. “Onang oneng, kon iku Bajuri! Lemu tapi gak ngaku.”
“Lho aku lemu tapi dukur, dadine gak ketok. Kon iku cilik, lemu. Gundek! Ngerti bal? Yowes iku.”
“Sing penting kon lho Bajuri. Jur jur.” Argumen ‘pokoknya’ semacam ini kuakui pertanda kekalahan yang kusangkal. Padahal aku tak merasa segemuk itu.
“Lho kon ngeroso tambah lemu gak tekan biyen?”
“Yo tapi gak selemu iku, Cak!”
“Tambah lemu to tapi? Tambah dukur gak?”
“Opo se gowo-gowo dukur. Kita lho bahasnya lemu-lemuan.”
“Yo iso. Kon bahas badan lho. Sekalian ya, Gan?”
“Mmm.” Sono membenarkan Taufan. Aku benci sekali dengan Sono. Padahal aku beberapa kali membelanya jika sedang diserang Taufan.
“Yo gak se, Jur!” Aku menekankan panggilan Bajuri padanya, dan sejak itu beberapa teman kami memanggil Taufan dengan sebutan ‘Jur’. Aku merasa menang. Tauco ataupun Bajuri, dia harus tahu kekuatanku sesungguhnya. Muahahaha.
“Cilik, lemu, ngeyelan sisan.”
Taufan sendiri tidak mau kalah, sejak resmi dipanggil “Bajuri” oleh ‘sayap kanan politik 2011’[1], dia menegaskan ke’oneng’anku. Anehnya, yang benar-benar tidak kami sadari, teman-teman mengira ada ‘sesuatu’ di antara kami.
“Cie panggilan mesra.”
Setiap kami makan atau pergi ke Perpustakaan tanpa Sono, mereka akan ‘mensuitin’ kami. Menjengkelkan! Padahal maksud kami tak begitu. Tapi belakangan kusadari, memang kebodohan kami lupa bahwa Oneng dan Bajuri adalah pasangan di sinema elektronik ‘Bajai Bajuri’. Disadari atau tidak, kami menjadi tak nyaman satu sama lain. Kami merasa tidak ada hubungan yang semacam itu, lalu kupikir-pikir lagi. Masa bodoh apa kata orang. Taufan sahabatku, begitupun sebaliknya. Lama-lama kami terbiasa, menjadi lebih santai dengan ‘gojlokan’ teman-teman sejurusan. Kami bahkan sering membuatnya lawakan.
Lama-lama gosip ‘Oneng dan Bajuri’ berakhir. Julukan oneng tak lagi disebut dalam perkumpulan setan. Malangnya nasib Taufan, panggilan Bajuri melekat selamanya. Mike misalnya, jika kami sedang di kantin. “Kau mau makan apa, Jur?”, atau “Titip macaroni, Jur!”, “Juriii!” Ha-ha-ha. Selain Tauco, nama resmi lainnya telah dikukuhkan seiring berat badannya yang bertambah. Bajuri!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata