Genk Cacad : Four Brothers dan Rekrutmen Partai Anime



 
Lama sekali sejak pertama kali kami mulai berkumpul secara rutin di Perpustakaan. Genk perpus, kami menamainya. Genk ini terdiri dari orang-orang dengan jenis dan tingkat kecacatan otak yang berbeda. Satu hal yang sama adalah kami semua merupakan mahasiswa Ilmu Politik. Di sisi lain, ketika menuliskan ini aku baru sadar, apa yang salah dengan Prodiku?
Di sisi kananku ada Taufan yang sedang kami racuni anime Arakawa. Dia penasaran sekali setelah kami menamai ‘Manusia tiba-tiba’sebagai Arakawa. Di sisi kanan Taufan ada Sono, master dari segala master kehidupan cacat ini. Lalu di kanan Sono, yang juga di depanku, ada Dhimas dengan dunianya sendiri. Manusia yang tergila-gila dengan kekuatan beladiri. Konferensi meja kotak ini berlangsung dengan khidmat.
Di sini juga, kami mengerjakan tugas Negara. Tugas yang membuat kami merasa sedikit penting bagi kehidupan berwarganegara. Kami membicarakan konspirasi politik, fenomena sosial, transaksi jabatan, korupsi, dan banyak hal yang membuat kami terlihat penting. Hanya agar ‘Terlihat’ penting. Sekali Lagi kutekankan ‘TERLIHAT’.
“Rek, kita punya massa. Ada anggota tetap. Yaapa lek kita buat organisasi atau perkumpulan pecinta anime gitu?”
“Moh!” Seketika Taufan menjawab. Singkat, padat, dan jelas. Penolakan. Hatiku hancur. “Daripada kon gawe ngono iku, mending gae partai cekne iso melu pemira FISIP.”
Ucapan Taufan ini benar-benar menginspirasi. Entah apa yang dia makan pagi ini. Dia menjelma sebagai Muhammad Taufan Golden ways. Semoga suatu hari ada stasiun TV yang memperbolehkan mukanya muncul di layar kaca.
Kulihat Sono menaruh perhatian lebih terhadap ucapan Taufan. Dia melihat ke arah Taufan dengan tetapan mesra, penuh perhatian. Halah. Bukan, dia terlihat memikirkan perkataan Taufan.
“Yaopo? Bener gak omonganku?”
Aku sendiri manggut-manggut. Idenya bagus juga. Tapi mencoba berpikir layaknya manusia normal, siapa yang akan bergabung dengan kami? Ada minimal 20 KTM yang harus kami kumpulkan di tiap jurusan. Sedang perkumpulan ini terdiri dari tumpukan daging tak berguna. Kusedih dan kecewa.
Mata Sono melirik ke sebuah meja di seberang. Meja yang diisi oleh 4 mahasiswa laki-laki. Lalu, dia manggut-manggut sendiri. Aku khawatir Sono terlalu tinggi bermimpi, jika jatuh mungkin daging-dagingnya berserakan seperti daging kurban. Tapi tunggu, kupikir lemaknya yang akan berserakan, atau bagaimana? Barangkali, ketika jatuh tak akan jadi masalah. Kenapa? Karena mungkin di tubuh Sono hanya berisi kekosongan. Seperti hatinya yang selalu kosong. Eaa.
“Hmmm,” Sono kembali manggut-manggut. “Ide Tauco bagus juga.”
“Mbok kiro Kon, mek iso ham hem ham hem.” Saut Taufan Sinis.
“Kok Tauco?”
“Kan mirip tauco.”
“Lambemu! Kon iku sundal sundul. Sondol!”
“Wooos ….” Tak kulanjutkan kalimatku. Semakin bertambah usiaku, aku harus lebih bijaksana. Mengambil pelajaran dari pengalaman. Aku tak ingin dibully lagi. Mulut Taufan terlalu berbahaya.
Sono masih manggut-manggut tidak jelas. Aku penasaran setengah mati apa yang dia rencanakan. “Kon lapo se, Son?”
“Four brothers.”
“Apa itu? Anime baru?”
“Nooo … Four brothers.”
“Opo se?” Aku dan Taufan menjadi penasaran.
Kulihat ke meja seberang yang baru saja dilihat Sono. Kuperhatikan dengan seksama. Kucurahkan segenap hati dan pikiranku untuk mengamatan ini. Jeng jeng jeng … seketika aku berdiri. Pura-pura berjalan ke arah barat sambil mengamati aktivitas ke empat pria di meja seberang. Aku harus memastikannya dengan kedua mataku.
“Lapo he? Kon ojok aneh sisan, Chus!”
“Rupanya dia sudah paham. Bagus. Bagus.” Baginda Sono bertutur.
Empat orang itu duduk saling berhadapan, mengisi setiap sisi meja, tapi mereka tidak saling berkomunikasi. Ke-empat orang itu sibuk masing-masing dengan laptop terbuka. Kuperhatikan wajah-wajah ini tidak asing. Mereka sama seperti kami, penghuni tetap ruang publik. Tapi kupikir wajah mereka jauh tidak asing lagi. Salah satu dari mereka kos di gang yang sama denganku.
Lhar … ternyata benar, itu adalah anime. Aku tidak pasti apa yang sedang ditonton. Dari keempat orang itu, satu menonton anime yang tidak kutahu. Satu lagi juga sedang menonton anime, namun berbeda. Satu lagi mendengarkan musik sembari browsing, kupikir situs-situs berbau Jepang, dan satu lagi memasang earphone dan mengerjakan paper. Kurasa tugas mata kuliah etika sosial dan politik … tunggu, etika sosial politik? Jadi, mereka mahasiswa politik sama seperti kami?
Aku menoleh ke arah Sono. Sono mengangguk mantap. Di jidatnya tertulis susunan rencana rapi. Wajahnya seperti sok tahu segala hal. Baiklah, dia memang lebih banyak tahu dariku. Aku langsung duduk di samping Sono dengan wajah meminta penjelasan.
“Hmm, mereka adalah four brothers!” Muka Sono ketika mengatakan itu, aku seperti ingin meninjunya. Dia berlagak seperti Master shifu di Kungfu Panda, padahal menurutku dia adalah pandanya.
“Kon nemu nang ndi?”
“Ane sama Wira mengamati mereka diam-diam.”
“Stalker, Cik!” Taufan menyahut.
“Mereka spesies yang hampir sama seperti kita. Muahaha.” Tawa Sono menggelegar.
“Wes ta ngandel aku. Nggaweo partai anime! Gak pinter arek-arek iki!”
“Oke. Sekarang kita tentukan pengurusnya!” Konferensi meja kotak dibuka. Tok! Tok! Tok! Meja diketuk sebanyak 3 kali.
Wira datang di tengah rapat super penting tingkat internasional. Dia menyumbangkan ide demi kemaslahatan umat pecinta anime FISIP. Kami menerimanya dengan terbuka.
“Usul, Gan. Si Dimas ajalah ketuanya, dia kan ganteng. Biar banyak cewek-cewek yang dukung. Tsah, pinter bats gue,” Dengan lagak sok-nya, Wira memukulkan tangannya ke meja. Dia benar-benar yakin dengan idenya.
“Sek ta, Dimas iku wes gabung ORMEK. Lek aku sih usul Sono, meski wajahe gak meyakinkan.” Taufan juga ikut rembug. Entah kenapa dia ikut bersemangat. Aku bingung, apakah usulnya adalah pujian untuk Sono atau cemo’ohan. Abaikan.
“Etto kenapa ane? Nooo.”
“Gini aja ta, Sono jadi dewan pembina. Dia memang supplier anime, perannya penting, tapi dia ndak iso mimpin sawangane.” Aku turut menyumbangkan ide.
“Nah itu maksud ane, Gan! Udah si Dimas aja.” Wira mendukungku. Baru kali ini aku merasa mengikuti kegiatan penting semenjak kehidupanku sebagai mahasiswa.
“Terus kon dadi opo?”
“Ane wakil ketuanya, Bos!” Wira mantap menjawab. Sekali lagi dia memukulkan tangannya ke meja. Seolah yakin sekali.
“Lha Chusnul dadi opo?”
“Situ anggota emangnya? Daftar dulu lah!”
Bruk! Baru saja aku merasa memiliki peran penting dalam pertemuan gila ini, sekarang Wira menjatuhkanku. Kalimatnya penuh penekanan. Seketika aku merasakan kegelapan di wajah teman-temanku.
 “Hah?”
“Yupi. Sepaket, Gan! Daftar dulu, baru nanti dikasih anime.”
Dan, terjadi juga …
“Lah kok aku daftar? Aku ikut bikin partainya, Coy!”
Tak kusangka mereka semua sekongkol membully-ku. Hatiku terluka karena ini. Aku memasang muka marah, tapi tak satupun menanggapiku dengan serius. Aku kesal setengah mati. Jika aku bicara, maka mereka akan membully-ku lebih parah lagi. Hal yang paling membuatku sedih adalah fasilitas yang akan kudapat sebagai anggota partai. Supply anime gratis secara rutin. Sebagai anak kos, aku harus menghemat kuota sebaik mungkin, dan ini salah satu penghematan terbaik.
“Oke, fix ya ini ada pembina, ada ketua dan wakil ketua, ada anggota. Tinggal daftar doang. Ayo Son, lu daftar!” Wira dengan santai memerintahkan.
“Anjay. Kenapa selalu ane? Chus, daftarkan kita!”
“Enak aja. Kenapa aku? Aku kan bukan anggota.” Aku mengambil sikap. Sudah saatnya mereka menanggapi kemarahku.
“Lu mau anime nggak? Ahelah!”
Akhirnya semua ini hanyalah wacana. Kami memang tidak bersungguh-sungguh. Nyatanya kekuasaan, jabatan, dan segala permainan politik bukanlah wilayah kami. Mahasiswa culun seperti kami hanya akan kencing gemetar di hadapan panggung politik, meski hanya level fakultas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata