Postingan

Hukum Ruang dan Waktu

Hari itu akhir pekan, dia akan datang berkunjung setelah sekian lama. Seperti ingin melompat-lompat karena senang. Beberapa jam untuk ratusan kilometer, dan akhirnya dia mengabari lewat pesan singkat. Aku menunggu di tempat yang kami sepakati. Secangkir cokelat panas tidak pernah mengecewakan di sore yang gerimis. Beberapa menit menunggu, kupikirkan apa saja yang ingin kulakukan bersamanya malam minggu ini. Hanya makan dan bercengkrama di tempat ini, atau berbelanja setelahnya, atau juga bermain hockey dan basket di tempat permainan. Lantas menjadi sedikit lebih lama, aku mulai berpikir kenapa selama ini? Apa yang terjadi padanya? Aku memutuskan kembali menunggu. Dalam jeda waktu yang cukup lama tersebut aku berpikir tentang hubungan kami ke depan. Suatu saat nanti, jarak kami mungkin akan memuai lebih panjang, bisa juga menciut, tapi kemungkinannya lebih kecil. Seperti dua galaksi yang jaraknya terus memuai. Dan di ruang hampa itu, tidak ada udara. Saat kami berjalan, bisa saja r...

Adik Saya Bernama Tatub

Salam, Saya menulis setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah, ditemani susu coklat hangat dan puding labu yang saya buat kemarin. Bersantai sejenak. Kali ini saya akan menulis tentang kehidupan sebagai kakak perempuan dari adik laki-laki. Saya memiliki adik laki-laki yang akan berusia 10 tahun pada awal Desember mendatang. Namanya Maschub, saya biasa memanggilnya Tatub atau Atub. Selama di rumah, saya kadang mempersiapkan segala keperluan sekolahnya. Mulai dari membangunkannya tidur, membuatkan sarapan, menata buku pelajaran, hingga memastikan alat-alat tulisnya layak digunakan. Setiap kali, saya bangunkan Tatub jam 05.30, atau mungkin sebelumnya. Tatub harus ke kamar mandi lama untuk buang air besar sekaligus main air, jadi ketika membangunkannya, saya katakan, "Udah jam setengah tujuh, ayo bangun," hanya agar dia tidak telat. Kadang harus digendong sampai kamar mandi, kadang juga harus dicubit agar mau bangun. Saya jadi ingat saat ibu membangunkan saya sewaktu mas...

Lewat Tulisan

Pram bilang, menulis adalah pekerjaan untuk keabadian. Jika umur hanya bertahan 60-70 tahun, atau bisa saja lebih, bahkan kurang, maka menulis membuat orang hidup lebih lama. Hidup dipikiran orang-orang selama puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun lebih lama. Itu mengapa pekerjaan menulis menarik antusias saya. Membaca karya tulis juga membuat saya mengenal orang-orang dari berbagai zaman yang berbeda. Seperti mendengar penulis bercerita tentang pikirannya, bahkan saya bisa memilih orang mana yang ingin saya dengarkan dan yang sama sekali tidak saya inginkan. Beberapa waktu lalu, seseorang bertanya di akun sosial media. Dia, yang tidak saya ketahui, bertanya tentang kerennya penulis. Saya katakan, salah satunya adalah tentang penulis yang hebat akan lebih hebat dari eksekutor, atau siapapun yang memegang senjata. Senjata adalah salah satu sumber kekuatan dan kekuasaan. Dia bisa digunakan untuk memaksa orang lain melakukan apa saja yang diinginkan pemegang senjata. Jika tidak, ma...

Menjadi Tepat

Salam, Akhirnya saya kembali menulis lagi. Kali ini saya menulis dalam perjalanan menuju Surabaya. Saya baru saja membaca sebuah buku yang inspiratif, tapi bukan itu yang ingin saya tulis. Saya ingin menulis tentang perasaan saya. Sejauh empat bulan kami, saya dan kekasih, bersama. Beberapa hal datang, beberapa hal terjadi, syukurlah kami masih bersama. Saya akan menuliskannya beberapa di sini. Kami tidak berlatar belakang studi yang sama. Saya tidak banyak tahu tentang apa yang dia pelajari, begitupun dia tak banyak tahu tentang apa yang saya pelajari. Meski begitu kami berusaha mengenal masing-masing. Saya selalu mendengarkan ketika dia mulai bercerita mengenai hal yang sedang dikerjakannya, begitupun dia banyak mendengar tentang ketertarikan saya. Saya kadang tak mengerti apa yang dibicarakannya, meski sudah bertanya. Meski begitu saya dengarkan saja, dia tahu saya tak paham. Beruntungnya, ilmu politik adalah ilmu yang mungkin banyak sekali dibicarakan orang, banyak diberita...

Teruntuk Kamu, Satu Lebih Tujuh

Teruntuk kamu, tepat satu tahun dan tujun bulan, aku mulai mengenalmu. Baju merah bergaris, raut mukamu serius. Aku duduk di anak tangga yang hanya berjumlah tiga, mendengar kamu dan teman-temanmu saling bicara. Aku tak mengerti bahasan itu, aku bukan bagian. Kamu datang berkenalan, sebatas basa-basi untuk menjadi teman. Tak satupun dari kita tahu, dari sanalah semua bermula … mungkin.    Candaan teman-temanmu, sikap anehmu … dan kutahu saat itu kamu mencoba. Pesan pertama darimu, ucapan terima kasih karena telah datang dan membantu. Baiklah, mari kita coba. Perjanjian yang tertunda, waktu yang terbuang untuk menunggu, sikap acuh dan egoisku … apa aku mengecewakanmu? Saat itu kita tahu, percobaan kita tak bisa berlanjut … dan kamu hilang, aku hilang. Labolatorium itu kosong, tak menyisakan siapapun.    Tujuh bulan lalu, tak kutahu apa yang membawamu kembali pada percobaan ini. Aku tahu betul, masih ada yang menahan kita di belakang. Tidakkah ini terlalu...

Ruang Dengan Ventilasi

Kubiarkan ventilasi terbuka Membiarkan udara menyelinap masuk Agar ruang tak jadi hampa Terlampau dingin hingga menusuk Mengapa tak kunyalakan lilin saja? Api bisa menyala dengan sedikit udara Lantas gelap menyingkir, menepi Teranglah ruang meski sepi Tak terpikir angin membututi semena-mena masuk dengan gaduh Apa begini rasanya hidup kembali Setelah sekian lama berjarak dan menjauh Kau datang dengan berisik Memenjarakan sepi pada tempatnya Kau yang buat api menyala meski sepercik Kau pikir aku suka? Nyatanya iya, dan entah apa lagi yang kau buat nanti Hei, tidakkah kau merasa? Suatu saat kita harus berhenti Ya, berhenti seperti ini Seperti anak kecil dengan gulali, dan mulailah mengerti Sisi-sisi tak manis dalam diri Bojonegoro, 8 September 2015

Tak Berhenti

Malam ini gelap memekat, seperti hendak merampas cahaya dari sumbernya. Tidak, dia hanya menghalangi mataku agar tidak menangkap cahaya. Dingin. Genap hampir enam bulan lamanya sejak aku mengantarkannya ke Bandara. Sejak itu pula kami terpisah beribu kilometer, untuk waktu yang lebih lama, dan mungkin akan lebih lama lagi. Malam ketika dia menelepon dari jarak sejauh itu, aku mendengar suaranya yang sungguh lelah, seperti melihatnya dipangkuanku terlelap sambil menggenggam tanganku. Dia berbicara secukupnya tentang aktivitasnya, kudengarkan dengan seksama sembari memvisualkannya di pikiranku. Hampir setiap hari dia meneleponku, kami mencari waktu yang tepat, seolah waktu juga tak bersahabat setelah jarak yang memuai, melebar, dan memanjang. Semakin hari semakin sulit, dan komunikasi jarak jauh tersebut kian jarang, kian singkat. Aku hafal laki-laki yang telah bersama selama bertahun-tahun lamanya. Sikapnya yang selalu dingin, tapi entah mengapa menjadi lebih dingin. Lantas, darima...