Postingan

Adil-Adilan Soal Keadilan

"Seorang terdidik, haruslah sudah adil sejak dalam pikirannya." Entah benar atau salah susunan kutipan di atas. Tetapi, kalian sudah tentu tahu siapa yang berkata demikian, bukan? Bukan aku, tentu saja. Pram, dalam kutipan di atas, kuartikan sedang ingin berkata bahwa orang terdidik memiliki kesempatan untuk mengakses banyak hal, yang mendukungnya untuk berpikir adil. Boleh sejenak kita melihat dari sisi lain? Ada kemungkinan besar, mereka yang tidak memperoleh kesempatan untuk belajar, tidak memperoleh kesempatan untuk mengakses "keadilan berpikir". Ketidakadilan informasi, perlakuan, akses akan sumberdaya itu mengarah pada ketidakadilan berpikir. Lalu, pantaskah kemudian kita menyalahkan ketidakadilan berpikir itu tanpa melihat ketidakadilan-ketidakadilan lain yang mereka terima dengan paksa? Kita berdamai dengan pikiran karena kita berkeadilan dalam segala hal. Mereka? Barangkali, kita sengaja memonopoli sumberdaya supaya kita berkuasa untuk menyalahkan ...

Peragu

Katamu, aku adalah dawai yang tak lagi akan kau petik. Sebab, kau pernah salah memetiknya hingga parau suaraku merusak seluruh lagu. Bagiku, kau adalah kosakata yang sebisa mungkin kuhindari dalam sajakku. Sebab, aku pernah salah menafsirkan makna dari kata. Dan bukankah sajak yang kehilangan makna tak lebih dari kata-kata kosong saja? Kita adalah dua pecundang; yang ketakutan untuk bertaruh hati lagi. yang dirundung ragu untuk meracik kata dan nada. Kita adalah komponis yang sudah kehilangan indera perasa.

"Genk Cacad" : 6. Mutan Terselubung

Liburan semester setelah UAS. Hal yang paling dinanti-nanti oleh mahasiswa. Taufan yang beberapa hari terhitung semenjak awal liburan mulai susah dihubungi. Entah sedang diculik Hansel dan Gretel atau penyihirnya. Ketika muncul kembali ke permukaan bumi, dia datang dengan ide liburan bersama. Dia menyudahi pertapaannya dan menemui Sono untuk membicarakan ide tersebut. “Jakarta?” Taufan berpikir. “Ojo ah, banjir. Kon onok ide tah Son?” Sono diam terlihat berpikir, kemudian mencomot sebuah krupuk di depannya. "Mmm,” dia bergumam, “Mmmm,” begitu seterusnya. Taufan tahu dia telah salah bertanya. “Jogja yaopo?” “Mmm … mmm,” hanya itu yang keluar dari mulut Sono. “Am em am em, tak antem kon! Sing jelas ngono loh, Son!” Taufan jengkel. “Ane ngikut,” Sono manggut-manggut sambil tertawa cekikikan. Di sisi lain, aku sendiri juga telah memikirkan ‘pensucian otak’. Tak muluk-muluk, cukup pergi ke rumah nenekku di desa. Aku sungguh merindukan suasana desa, kampung halaman...

"Genk Cacad" : 5. Si Gendut dan Yang Lebih Gendut

Kupikir-pikir, ada 2 tempat sakral yang rajin sekali kami kunjungi. Perpustakaan kampus B dan kantin FIB. Urusan perut dan hiburan, baru kusadar hidup kami tak punya manfaat sama sekali. Kami hanya datang ke kampus, makan, dan mencari hiburan. Kemudian pulang ke peradaban masing-masing saat malam. Tidur. Hari ini, selesai kelas mata kuliah Ekonomi Politik, kami langsung menuju kantin FIB, tempat segala makanan murah nan lezat. Kantin sejuta umat dengan bau rokok dan berbagai macam keringat manusia. Tempat makan, diskusi, rapat, dan gathering bagi beberapa komplotan kampus. Urusan kami di sini hanya makan. Tidak lebih, tidak kurang. Kami bukan bagian penting dari suatu himpunan prodi, fakultas, maupun kampus. Hanya anak-anak yang sibuk memenuhi perut dengan makanan, lalu bertugas kembali menghadiri kuliah. Itu saja. Di sampingku, Sono, seperti biasa bingung memilih makanan. Raut mukanya yang sedang berpikir sungguh menjengkelkan. Itu karena pada akhirnya dia hampir selalu memilih...

"Genk Cacad" : 4. Genk Perpus

Kelas Gerakan Sosial dan Politik adalah kelas gabungan antara mahasiswa Ilmu politik dan Hubungan Internasional, mungkin juga Administrasi Negara. Seperti biasa Taufan selalu datang terlambat. Rumahnya memang jauh dari peradaban manusia. Dia duduk di bangku belakang, sama seperti Sono. Meski begitu mereka masih memperhatikan Dosen yang mengajar. Aku sendiri duduk di bangku kedua dari depan. Kutinggalkan kebiasaan duduk   di bangku terdepan karena isunya horor. Dosen akan memakan mahasiswa yang duduk di bangku terdepan, mencabik-cabik jiwanya. Ah, tidak juga sih. Kutinggalkan kebiasaan itu karena tidak ada seorang teman pun yang mau duduk di baris terdepan bersamaku. Aku jadi mudah bosan tanpa teman bicara. Meski sudah duduk di barisan nomor dua, aku masih mengantuk. Aku tidur dengan segala resiko yang akan kutanggung. Pertama, aku bisa saja ketahuan oleh Dosen dan dikeluarkan dari kelas. Kedua dan yang paling kutakuti, aku bisa tertidur pulas dan terbangun dengan bekas merah di...

"Genk Cacad" : 3. Pengungkapan Identitas

Gerimis di daerah Surabaya dan sekitarnya. Hawa dingin menyeruak, menggelitik tulang dan rusuk. Suatu momen sakral yang seharusnya kulakukan adalah meringkuk di kasur dengan guling yang lengket di badan … tapi tidak untuk sore ini. Aku menghabiskan sore bersama Sono dan Taufan duduk di kantin. Aku merasa jengkel. Akhirnya datang juga. Segelas jus strawberry encer dan nasi sambel udang yang akan menemaniku merelakan ritual sakral. Sebenarnya, aku sungguh ingin bermesraan dengan bantal, guling dan kasur, tapi aku tak berdaya. Mereka mengancam tidak akan mensupply amunisi (baca : anime). Kami membicarakan anime berjudul Chuunibyou lagi. Kali ini yang diberikan Sono adalah edisi istimewa. Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu di mana letak keistimewaannya, dan lagi bukan pembicaraan kami bertiga, hanya aku dan Sono. Lebih tepatnya, Taufan hanya datang menemani kami. Dia lebih seperti pengasuh, mengawasi kalau saja kami tiba-tiba bertindak memalukan. Mungkin saja Taufan tahu kalau Sono a...

"Genk Cacad" : 2. Infeksi Chuu Ni Byou

Sedikit musik rock di pagi hari tidak buruk. Anggukan kepala, hentakan kaki, dan pukulan tangan ke meja. Di lantai satu ini aku duduk di samping tangga, menunggu dua teman baruku yang sedang mengikuti kelas konflik. Kebetulan aku pecinta damai, sehingga tidak mengambil kelas konflik. Orang lalu lalang, keluar-masuk toilet sembari menatapku dengan cara yang sama seperti Donovan menatap Sherlock. Aku biasa saja, tidak memelototi mereka kembali. Takut disangka Santi, hantu yang konon bergentayangan di FISIP. Cukuplah dua gelar yang kusandang, Alien dan Tuyul. Itu saja sudah repot. Suara langkah kaki berdatangan dari lantai atas. Kupikir jam kedua sudah berakhir. Taufan dan Sono juga sudah menyelesaikan kuliahnya yang penuh konflik, berdarah-darah … habis minum fanta tumpah di baju. Beberapa anak sejurusanku turun dan menyapa. “Woy, Chus, ngapain?” “Eh, alien? Mana ufonya?” “Nungguin Taufan sama Sono. Lihat nggak?” “Masih di atas deh kayaknya. Ayo FIB.” “Bentar. Nyusul nant...