Memerankan Carol

Aku selalu bertanya-tanya, mengapa libur panjang, seperti libur tahun baru atau menjelang lebaran, stasiun dan bandara menjadi ramai sesak, serta jalan-jalan menjadi macet? Mengapa orang-orang mengorbankan banyak hal hanya agar bisa pulang ke kampung halaman?

Hari ini aku terpaksa naik kereta menuju Jakarta untuk menghadiri undangan mengisi kuliah, karena tiket pesawat sudah habis sebulan lalu. Pasar Turi memang stasiun paling ramai, karena padatnya jadwal kereta, tapi hari-hari ini ramainya luar biasa sehingga membuatku pusing. Bahkan di ruang tunggu eksekutif tak ada bedanya denggan ruang tunggu ekonomi: orang-orang berlalu-lalang membawa koper besar dan kerdus, anak-anak kecil berlarian dan menangis, sementara yang lain sibuk memainkan gawai dan beberapa lainnya tertidur kelelahan.

Suatu hari aku bertanya kepada salah satu staf pengajar di departemenku, "Kenapa harus menunggu lebaran untuk pulang?" Dia menjelaskan padaku sembari mengejekku sebagai kaum berprivilese dan menyebutku 'tone deaf'. Katanya, banyak pekerja tak bisa leluasa cuti seperti kami dan tak memiliki gaji yang cukup untuk berkali-kali pulang dalam setahun, sehingga mereka memilih hari yang dirasa amat sakral untuk bisa berkumpul bersama keluarga. Aku tak menyela, tak memprotes, walau ada yang bisa kukatakan untuk menjawab. Aku hanya mengangguk, lalu pergi.

Perjalanan yang biasanya hanya kutempuh dalam waktu 1,5 jam kali ini harus menjadi 11 jam. Waktu yang bisa kugunakan untuk beristirahat di rumah terpaksa harus dialihkan untuk beristirahat di kereta. Sepanjang perjalanan itu aku mempelajari tema untuk perkuliahan besok: Pendidikan untuk Kaum Marjinal. Barang kali ini memang terkesan menggelikan, ketika kaum borjuis berbicara tentang marjinalisasi. Tapi beginilah adanya.

Di atas kereta itu aku melihat seorang ibu bersama dua anaknya. Satu anak masih berumur sekitar 1 tahun, yang ia dudukkan di pangkuannya, dan satu lagi mungkin berusia 4 atau 5 tahun. Ibu itu terlihat kewalahan mengurus dua bocah sekaligus dalam kereta, karena anaknya yang besar sering tidak betah duduk dan berlarian di gerbong. Sesekali anak itu berhenti di dekat kursiku dan mengajakku mengobrol.

"Tante ngapain?" tanyanya melihatku sibuk membaca artikel dari laptop.

"Belajar. Namamu siapa?"

"Itu bisa dipakai game, nggak? Aku punya iPad, bisa main game."

"Bisa, tapi sedang nggak main game. Mau jajan?" kutawarkan sepotong cokelat yang sedang kumakan untuk mengusir kantuk.

"Terima kasih, tante."

Dari bangku penumpang 3 baris di depanku, ibunya melihat sembari meminta maaf atas gangguan anaknya. Aku pun memberikan isyarat bahwa itu tidak merepotkan sama sekali. Anak kecil itu lalu berdiri sembari bersandar di tempat dudukku, melihatku membaca power point untuk perkuliahan besok. Ketika kutawarkan anak itu untuk memencet tombol yang menampilkan materi selanjutnya, dia terlihat sangat senang. Jari kecilnya menyentuh keyboard dan menekan tombol itu berkali-kali.

"Kamu mau kemana?" tanyaku iseng.

"Mau ketemu papa sama uti sama akung sama banyak nanti di rumah akung. Tante punya elang nggak? Akungku punya besar di kandang. Makan tikus kecil-kecil, tapi aku takut elangnya nanti gigit aku..." Anak perempuan kecil itu tak berhenti menceritakan rumah akungnya di Jakarta. Potongan-potongan kalimat yang tersusun tak rapi dan tak saling berkaitan itu adalah rekaman memori di otaknya dan intensitas itu adalah buncahan dari ketertarikan atau kebahagiaan. Aku mendengarkannya.

Itu adalah jawaban dari pertanyaan yang kuajukan pada temanku. Ketidakpahamanku akan 'pulang kampung' itu bukan saja perkara uang dan privilese lain yang kumiliki saat ini, tetapi yang tidak pernah kumiliki. Gadis kecil itu baru saja memberi tahu apa yang tidak kumiliki sehingga aku tak pernah mengerti. Disambut.

Pulang bagiku tidak pernah menjadi momen istimewa atau sakral. Kami pulang jika mau pulang. Tidak harus menunggu lebaran atau tahun baru. Kadang-kadang hanya menengok ayah dan membawakan oleh-oleh, beristirahat sebentar, lalu kembali pada kehidupan masing-masing. Lebaran di kota maupun di desa juga tak menjadi masalah besar. Toh kami menghabiskan waktu dengan cara masing-masing. Ayahku lebih suka duduk di loteng sembari memainkan gawainya: memutar youtube atau menonton film. Kakakku lebih sering di dapur memasak atau menonton tv di ruang tengah. Aku sendiri lebih sering menghabiskan waktu di teras belakang sembari menyeduh teh dan membaca buku. Itu juga yang kulakukan di rumahku, di Surabaya.

"Aku nanti dijemput papaku lho. Sama utiku, sama akungku, sama kakak rara. Naik mobil, terus jalan-jalan deh. Tante dijemput siapa?"

"Tante naik grab."

Anak kecil itu membuat posisiku sama seperti Carol dalam cerita Dickens yang paling populer, dan aku mengerti sebabnya.


#sebuahceritapendek #fiksi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata