Menyingkirkan Rasa Takut, Fear of Missing Out (FOMO)

 Pagi tadi, saya memulis tentang fenomena fear of missing out yang terjadi di kalangan anak muda beberapa tahun terakhir. Fenomena ini nggak lepas dari perkembangan teknologi yang memudahkan manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi dengan mudahnya. Akses informasi yang hampir tanpa batas ini membuat orang dibanjiri dengan informasi, yang dapat dikatakan tak terbendung. Tapi yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah informasi itu dapat diterima dan diolah? Kadang-kadang tidak.

Dampak dari banjir informasi ini bikin orang: pertama, menjadi bingung; kedua, menjadi gusar. Bingung untuk mencerna mana yang benar dan mana yang salah; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang bisa dan harus diikuti dan mana yang harus dibiarkan saja. Kalau kata Aldi Taher, semua orang di dunia ini bingung, nanti nggak bingung pas udah di surga. Ya bener nggak bener sih. Wkwkwk sebetulnya kebingungan itu bisa diminimalisir dengan pola pikir, sistem saringan, untuk melakukan sinkronisasi antara satu informasi dengan informasi lainnya atau dengan pengetahuan yang telah divalidasi. Biar nggak bingung-bingung amat gitu loh. wkwkwk

Lalu yang kedua, bikin gusar. Hayo loh, kenapa bisa bikin gusar? Ini yang jadi fenomena di kalangan anak muda, seperti yang saya tuliskan di awal, fear of missing out (FOMO). Mudahnya mendapat informasi ini itu dan banyaknya ragam media untuk bersosialisasi tanpa batasan bikin orang makin punya banyak teman sekaligus tidak punya. Nah, gimana tuh? Makin banyak teman, karena kita bisa berkenalan dengan orang-orang dari belahan dunia mana saja, tanpa harus bertemu langsung (tatap-muka). Nggak punya teman sekaligus, karena hubungan pertemanan yang terjadi di sosial media sering kali tidak memiliki keterikatan emosional. Orang menjadi hadir dan tidak hadir sekali waktu.

Di sosial media itu juga orang bebas membagikan apa saja dan kebanyakan yang dibagikan adalah capaian-capaian, kesuksesan dalam perspektifnya, kebaikan, dan sebagainya. Dan yang kita lihat di sana itu adalah persona, apa yang memang ingin mereka tampilkan. Topeng yang mereka pasang untuk orang lain sehingga kita melihat dia sebagaimana apa yang dia tampilkan pada sosial media. Begitu kita masuk ke salah stau sosial media, kita menjadi gusar melihat orang-orang sudah mencapai ini dan itu, sedang membandingkan diri sendiri masih begitu jauh dari kata 'sukses'. Orang gusar, karena takut menjadi tertinggal. Baik itu pada urusan sepele soal mengikuti tren, sampai pada urusan yang personal dan juga fundamental soal mempertanyakan eksistensi, makna dari keberadaannya dan seberapa jauh ia dari tujuan hidupnya. Nah, yang seperti ini disebut sebagai fear of missing out, wedi nek keri.

Gusar ini sebetulnya merupakan reaksi ketika tubuh kita tidak siap. Semacam respon yang diberikan tubuh ketika suatu hal berada di luar kendalinya. Mereka tidak tenang. Pikirannya menjadi sumber siksaan. Marcus Aurelius, filsuf sekaligus kaisar pada era Romawi, pernah berkata untuk memberitahu diri kita sendiri setiap hari ketika bangun di pagi hari bahwa nanti kita akan bertemu dengan berbagai macam orang yang bisa jadi baik dan bisa jadi menyebalkan. Orang-orang itu tidak bisa kita prediksi dan tidak bisa kita kendalikan, maka yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri, mempersiapkan mental kita, untuk menghadapi berbagai macam orang. Mempersiapkan diri itu sekaligus membuat peta dan solusi untuk permasalahan. Misal kamu tahu bahwa hari ini kamu akan ke kantor untuk bertemu dengan si A yang baik hati sekaligus menjengkelkan, si B yang kasar tapi perhatian, si C yang arogan...dengan mempersiapkan diri menghadapi itu, kamu bisa memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi dan reaksi yang kamu bisa berikan. Tindakan itu bisa mencegah kita dari berharap berlebihan, kecewa berlebihan, sedih berlebihan, dan sebagainya. Mungkin rasa kecewa dan sedih itu tidak bisa dihindarkan, tapi porsi yang sedikit atau banyak itu tentu bisa diatur.

Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Ada hal yang bisa dikendalikan dan ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Hal-hal yang tidak bisa dikendalikan adalah sikap orang lain, tindakannya pada kita, perkataannya pada kita. Maka, biarkan saja itu menjadi pengetahuan bahwa kita tidak bisa mengendalikan itu. Tapi kita harus paham bahwa kita memiliki kendali atas diri kita sendiri: sikap kita; emosi kita; respon yang kita berikan. "i can neither be injured by any of them, for no one can fix on me what is ugly, nor can i be angry with my kinsman, nor hate him." Jadi, Marcus Aurelius ini bilang kalau diri kita sendiri inilah yang bertanggung jawab atas kita, bukan orang lain. Mereka bisa mengatakan sesuatu yang menyakitkan, tetapi diri kita yang bisa mengontrol apakah perkataan itu layak dipertimbangkan untuk masuk dan merusak, atau sekedar dibiarkan untuk didengar tanpa harus mendapat perhatian.

Sama halnya ketika kita mempertimbangkan untuk membuka sosial media. Kita tahu bahwa akan ada si A yang suka membagikan tumbuh kembang anaknya, si B yang suka membagikan prestasi-prestasinya, si C yang suka membagikan material yang dimiliki. Jika kita memutuskan langsung terjun tanpa memberikan peringatan untuk diri sendiri mengenai itu, yang terjadi adalah keterkejutan. Shock. Selanjutnya yang terjadi adalah gusar, sedih karena merasa tertinggal, kecewa karena harapan yang kita ingginkan ternyata tidak terwujud, dan lain sebagainya.

Kita bisa bangun pagi dan memulai untuk berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan kita hadapi di hari itu. Kita bisa bangun dan memetakan apa yang bisa dikendalikan dan yang tidak bisa dikendalikan, beserta sikap dan tindakan yang bisa diambil untuk merespon. Maka sebelum terjun tanyakan pada diri sendiri, "siapkah diriku ketika aku akan membuka IG dengan mutual beserta kontennya yang seperti itu?" Jika siap, maka lanjutkan. Jika tidak, maka kita bisa mengambil jeda dan menjaga jarak sementara.

Apa yang mereka bagikan itu tidak bisa kita kendalikan. Seperti ketika kita sedang berpuasa, sedang kita tahu bahwa beberapa mutual di IG kita tidak berpuasa. Maka kita harus siap jika nanti kita akan melihat mereka membagikan makanan atau minuman. Apakah iman kita cukup kuat untuk menjaga puasa kita? jika cukup, maka silahkan kita buka. Jika kita sudah merasa bahwa diri kita tidak cukup siap melihat itu semua, maka baiknya kita juga berpuasa membuka IG dan segala sosmed hari itu. Kita tentu tidak bisa memarahi mereka karena mengunggah makanan. Itu adalah akun sosial media mereka dan mereka punya hak atas akun mereka. Diri kita sendirilah yang berkuasa atas kita. Kita yang membiarkan apakah hal buruk itu kita biarkan masuk atau biarkan berdiri di luar pintu. Kita pemegang kuncinya. Kita sendiri yang mengendalikan pintu.

Saya harap bahwa kita tidak terlalu banyak memberikan kekuatan bagi orang-orang untuk mengambil kendali atas diri kita. Master your own thought and no one can control your body. Saya tidak tahu bagaimana untuk merasa 'joy', tetapi setidaknya kita tidak dihantui pikiran-pikiran buruk dan merasa gusar menjelang tidur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat