Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata

Kita berusaha berdamai dengan sepi, setiap hari. Sembari pura-pura merayakan kebebasan.


Dulu, saya yakin sekali bahwa saya tidak akan menikah dan untuk itu tidak berada di dalam suatu hubungan pun tidak menjadi masalah bagi saya. Saya yakin bahwa teman-teman yang bisa diajak ngobrol dan nongkrong saja cukup untuk menemani saya sampai tua, jika itu mungkin. Tetapi toh kala itu saya hanya berencana hidup sampai usia 27 tahun.

Na'asnya hidup saya lebih dari itu. Sekarang di usia yang menginjak 30 tahun, saya sudah kehilangan beberapa teman yang dulunya saya kira akan terus menemani saya ngobrol dan nongkrong. Beberapa dari mereka menikah dan sibuk mengurus anak atau bekerja lebih giat karena ada orang lain yang ditanggungnya. Beberapa lainnya bekerja di tempat yang lebih jauh, tidak terkecuali saya yang pada akhirnya berpindah kota.

Mengobati sepi itu, saya mencoba menjalin hubungan romansa, tetapi entah itu trauma lama yang belum terobati atau memang hanya keputusan bodoh, saya kerap mengambil keputusan gegabah yang saya sesali di kemudian hari. Dua tahun lalu, saya memutuskan mantan pacar karena rasa kecewa. Saya menyesali keputusan itu beberapa saat setelahnya. Lalu, saya mencoba beranjak dengan mencari pasangan melalui dating apps.

Sekali waktu saya menemukan lawan bicara yang saya bisa ngobrol dengannya secara nyaman. Saya kira dia adalah laki-laki yang baik. Karena suatu alasan, saya memutuskan untuk unmatch dia. Setelahnya dia mengirimkan pesan lewat instagram, bertanya kenapa saya unmatch dia. Kami mulai mengobrol lagi setelah dia menjelaskan. Tetapi, di lain kesempatan obrolan kami berhenti dan dia tidak merespon percakapan terakhir saya dengannya. "Mungkin dia sedang bekerja." Esoknya dia tidak merespon, "Mungkin seperti yang lalu, dia ada di tempat yang susah signal." Tetapi beberapa waktu kemudian dia melihat story saya dan saya berasumsi bahwa dia tidak membalas. Baiklah, saya putuskan kembali me-remove dia dari IG dan menghapus percakapan kami. Saya anggap bahwa dia tidak berniat berkenalan lebih jauh.

Selang beberapa bulan, ada hal yang ingin saya tanyakan padanya terkait anime. Dia lebih mengikuti anime daripada saya, sehingga saya kira dia orang yang tepat untuk bertanya. Dengan sopan saya tanya soal anime yang ingin sekali saya tonton ke dia. Hal pertama yang dia katakan bukan menjawab pertanyaan saya, tetapi menanyakan, "kamu kemaren kenapa block aku sih, chus?"

Saya tidak tahu apakah harus menjelaskan atau tidak. Akhirnya saya jawab sekenanya, bukan diblock dan hanya diremove. Lalu, kami lanjut ngobrol dengan intensitas yang jarang, karena belum saling follow kembali. Di lain kesempatan, saya mencoba menjelaskan, lalu kami saling follow akun masing-masing, tetapi itu terjadi baru-baru ini, setelah beberapa bulan tidak lagi berkomunikasi.

Kira-kira, dua hari lalu dia mengunggah foto dengan pasangan barunya, setelah sebelumnya sempat mengunggah foto makanan berdua. Saya tahu bahwa saya belum ada di tahap di mana saya jatuh cinta atau sayang dengan laki-laki itu, tetapi saya menangis kala itu.

Saya berusaha memahami apa yang sedang terjadi pada diri saya. Saya tidak menangis karena dia sudah punya kekasih. Saya tahu itu karena sesekali saya masih mengunjungi akun sosmed mantan saya. Saya menangisi keputusan-keputusan yang saya ambil secara gegabah dan terlalu mudah memutuskan hubungan dengan orang, sebelum saya ditinggalkan. Barang kali ada semacam trauma dari rasa sakit ketika dikhianati atau ditinggalkan yang membuat saya terlalu takut untuk mengalaminya lagi, dan memutuskan untuk meninggalkan mereka lebih dulu.

Tetapi, apakah itu membuat saya lebih baik? rupanya tidak. Saya melihat orang-orang yang sebelumnya mendekati saya perlahan menemukan pasangan baru. Laki-laki di atas bukan yang pertama saya cut off sepihak, baik dari komunikasi di IG, WA, atau dari dating apps lain. Saya sering melakukan hal itu ketika saya merasa tidak cocok, tetapi yang menjadi penyesalan adalah meng-cut-off mereka yang bisa nyaman ngobrol dengan saya, tetapi karena satu-dua alasan saya langsung memutus komunikasi.

Ya, di depan teman SD akhirnya saya menangis. Saya kebingungan dengan apa yang terjadi pada diri saya sendiri. Dan itu adalah akumulasi dari kesepian yang saya rasakan belakangan waktu ini. Pada akhirnya, kebebasan yang amat saya inginkan dan perjuangkan beberapa tahun lalu dikalahkan oleh rasa sepi. Dan saya masih tidak paham apakah kesepian yang saya alami ini akan bertahan sebentar, sekadar mampir, atau menetap dalam waktu yang lama? Apakah saya pada akhirnya lebih ingin privasi dan keluwesan bergerak dan berpikir sesuka hati atau menjaga orang lain untuk ada di samping saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat