Anak-Anak Kehidupan dan Orang Dewasa yang Terperangkap di Dalamnya

Apa ketakutan dalam hidup yang selalu membekas?

Rasa takut dalam diri orang terkadang menyelinap diam-diam dalam tindakan pengecut yang memilih untuk kabur dan menghindar, atau yang secara sadar mengambil alih kontrol diri dengan marah atau menangis. Rasa takut itu adalah musuh bagi akal sehat, fear is the most powerful enemy to reason, setidaknya itu yang bisa kudapat ketika membaca The Assault of Reason karangan Al Gore.

Apa yang paling kamu takuti dalam hidupmu?

Aku sering mengelak ketika teman mengatakan bahwa ketidakinginanku menikah adalah karena rasa takut berlebihan di dalam kepalaku sendiri, tapi lama-lama memang harus kuakui itu benar. Menyaksikan banyak kekerasan yang terjadi pada perempuan di dalam rumah tangga membuatku amat sulit untuk mengubah pikiran dari tidak ingin menikah ke 'kupikirkan nanti'. Aku sempat tidak ingin menikah, menolak institusi pernikahan, dan sampai sekarang masih mempertimbangkan itu. Sebetulnya bukan saja karena ketakutan mendapatkan pasangan yang tidak baik, tapi juga takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik.

Tidak ada orang tua yang sempurna, itu betul. Tapi, ketidaksempuraan itu bukan menjadi alasan orang bersikap buruk pada anaknya. Aku banyak belajar menghadapi anak bayi dan juga anak remaja. Ibuku meninggal saat adikku ada di kelas 6 SD. Aku lebih banyak mengurusnya karena kakak dan bapakku bekerja di luar kota saat itu. Bagiku, aku berusaha memberikan yang terbaik untuk adikku, sebisaku. Tapi, sering tanpa sadar aku terlampau emosi menghadapi kenakalannya, lalu memukulnya. Tentu ada rasa penyesalan setelahnya. Biasanya kupeluk dia dan kubelikan apa yang dimau. Aku pun tahu itu bukan cara berdamai yang baik, tapi aku masih 24 tahun saat itu, dan adikku berusia 12 tahun. Aku bersyukur, semakin dewasa komunikasi kami menjadi lebih baik. Emosiku menjadi lebih stabil menghadapi kenakalan-kenakalan anak remaja. Kami bertumbuh. Adikku berproses menemukan jati dirinya, dan aku berproses menjadi lebih dewasa dalam mengontrol emosi.

Aku juga belajar menghadapi anak bayi ketika kakakku melahirkan anaknya 2 tahun lalu. Aku turut merawat keponakanku, dan sejujurnya itu tidak mudah. Proses yang dihadapi kakakku sulit dan aku mengerti betapa dia telah berusaha keras menjaga kewarasannya di tengah pekerjaan dan hubungan jarak jauh dengan suami. Kami sudah ditinggal ibu kami. Tidak ada yang mengajari dan membantu kami berproses menjadi ibu. Aku sering melihatnya kelelahan jika keponakanku sedang rewel tengah malam, entah karena sakit atau sedang tumbuh gigi. Kami begadang bergantian. Kadang aku melihatnya marah untuk hal yang mungkin seharusnya ia tak marah, tapi yang dihadapinya bukan satu hal, barangkali beruntun dan berurutan.

Menjadi orang tua juga pekerjaan yang sulit, dan bagiku, jika memang aku ingin memutuskan untuk memiliki anak kelak, aku ingin telah matang dalam mengendalikan emosiku. Membesarkan anak bukan saja perkara merawat, tetapi juga mendidik. Sering, hingga dewasa kita memikul luka masa kecil, yang membuat diri kecil kita terpenjara di dalam tubuh dewasa. Ada anak kecil patah hati di dalam diri dewasa kita. Anak kecil yang butuh perhatian orang tua, anak kecil yang ingin dukungan orang tua, anak kecil yang ingin sekali mengulang waktu agar ia diberi jalan cerita yang lebih baik...ia mungkin tumbuh terlalu mandiri karena tidak ada yang bisa ia andalkan untuk menolongnya. Ia mungkin tumbuh terlalu sinis karena ia tak cukup mendapatkan cinta. Ia mungkin tumbuh penuh ketidakpercayaan karena pernah dikhianati. Ia mungkin tumbuh menjadi sosok yang kurang empathi, karena sering perasaannya terlukai, sehingga satu-satunya yang bisa diandalkan adalah logika. Kita semua barang kali mengalami momen masa kecil di mana kita pernah membenci orang tua.

Sekali lagi, memang, orang tua bukan malaikat yang selalu menjadi baik. Orang tua juga kadang-kadang bisa menyakiti. Tetapi, pada batas mana rasa sakit itu boleh ditoleransi? agar anak-anaknya tidak tumbuh dengan luka-luka menganga yang harus dibawa sampai dewasa. Yang amat kutakuti adalah ketika aku menjadi orang tua, aku tidak melihat batas itu, dan membuat anakku terluka.

Beban menjadi orang tua toh tidak mudah, di samping harus membesarkan anak (merawat dan mendidik), juga beberapa memiliki beban pekerjaan lain. Belum lagi jika seorang suami membebankan itu semua kepada istri. Kadang kala, aku takut bahwa suamiku kelak tidak membantuku mengurus anak kami. Aku takut menjadi kesal, dan kekesalan itu akan mempengaruhiku saat mengasuh anak, meski sejauh ini aku telah belajar mengontrol emosi, berdamai dengan berbagai hal.

Hari ini aku melihat sekilas film berjudul 'Arie Hanggara', seorang anak yang dibunuh orang tuanya. Tentu kita semua mengutuk orang tua itu, mengapa sampai tega berbuat kejam menyiksa anak-anak. Barangkali bukan aku, tapi bagaimana jika pasanganku kelak berlaku kasar kepada anak kami? Aku bisa memilih suami, tapi anak tidak bisa memilih orang tuanya. Persetan, jangan bilang kita sendiri yang memilih orang tua sebelum dilahirkan di dunia. Bagi orang atheis, itu tidak terjadi, dan bagiku, meski muslim, aku juga tidak ingat telah memilih.

Aku tidak tahu, menjadi amat hati-hati dalam memilih pasangan ini apakah baik atau buruk. Apakah dimaknai sebagai ketakutan pikiran yang tidak atau belum mammpu kuhadapi, atau dimaknai sebagai persiapan yang lebih matang, tetapi yang kuyakini memang prosesku dan orang lain berbeda. Mereka mungkin bertumbuh dewasa sebelum aku, atau memutuskan menghadapi tantangan itu, tetapi pilihanku mungkin juga lebih baik bagi diriku.

Saat ini, ketika aku memutuskan untuk mengenal lawan jenis yang mendekat, pertama yang aku selami adalah kecocokan kami dalam berkomunikasi, setelahnya aku akan mengenali pribadinya. Membaca pengalaman masa lalunya, caranya menangani masalah, orientasinya pada keluarga, dan yang terpenting adalah bagaimana ia mengendalikan diri ketika sedang emosi. Aku tidak tahu apakah itu akan bekerja di masa depan ataukah tidak, mengingat segala hal bisa berubah. Tapi berjaga-jaga toh tidak salah.

Dalam diri kecilku, ada luka yang belum sembuh. Kadang-kadang luka itu muncul sebagai keinginan untuk memberikan semua yang tidak kudapatkan ketika kanak-kanak kepada orang-orang yang kucintai, entah itu keponakan atau adikku... dan kadang muncul dalam wujud anak kecil manja yang ingin atensi dari pasangan. Menutup tulisan ini, semoga ketika kita melihat ke belakang, tidak ada lagi yang membebani kita di belakang, sebelum memutuskan untuk melangkah ke depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat