Perempuan Dan (Pertanyaan Seputar) Pernikahan

Salam,
Semenjak beberapa hari kemarin, banyak tulisan mengenai perempuan dan pernikahan. Baiklah, saya akan ikut memberikan pendapat saya mengenai perempuan dan pernikahan.

Di Negara ini, atau lebih spesifik lagi di daerahku tinggal, Bojonegoro, usia 25 adalah usia di mana banyak perempuan lajang akan diberondong pertanyaan “Kapan menikah?” oleh  keluarga, tetangga, atau teman-teman sekolah. Jangankan usia 25, menginjak usia 20 saja, perempuan di tempatku tinggal sudah mulai ditanya soal rencana pernikahan. Pertanyaan ini juga mungkin diajukan untuk laki-laki, tapi saya tidak terlalu tahu apakah seintens yang diberikan kepada perempuan. Saya? Ya, saya juga mendapatkan itu.

Ketahuilah, Saudaraku. Perkara menikah adalah pilihan. Pilihan untuk menikah di usia 20an, 30an, 40an atau lebih. Pilihan untuk menikah dengan si A, B, C, D atau yang lain. Pilihan untuk melakukannya di hadapan banyak orang atau sebatas kolega terdekat. Pilihan untuk menikah dengan sederhana atau meriah.  Dan yang lebih penting adalah pilihan untuk memutuskan menikah atau tidak.
Saudaraku, teman-temanku yang baik, atau jika bukan, maka pembaca yang baik. Jangan sekali-sekali menghakimi perempuan lajang di usia 25 tahun adalah perawan tua yang tidak laku. Jangan. Mengapa? Kembali lagi soal menikah adalah pilihan. Mari kita hargai bahwa, mungkin saja, mereka sedang sibuk mengejar karirnya, menopang kebutuhan keluarganya, sibuk belajar dan mengabdikan ilmunya, atau sedang menikmati hidup dengan caranya sendiri. Perkara kamu melakukannya di usia 20 dan dia melakukannya di usia 30 bagi saya tidak jadi masalah. Atau jikapun tidak menginginkannya, bagi saya tetap tidak masalah karena itu pilihan. Segala konsekuensi dari pilihan telah dia pahami.

Setiap manusia punya prioritas dalam hidupnya. Siapa tahu pernikahan bukan prioritas utama. Kita tidak tahu bahwa di antara mereka yang memutuskan untuk tidak menikah terlebih dahulu, lebih dibutuhkan tenaganya, pikirannya, dan atau keahlian apapun yang dimiliki untuk menjadi manfaat bagi orang lain, sehingga tidak sempat memikirkan pernikahan. Atau, ada di antara mereka yang merasa belum bisa membahagiakan orangtuanya, sehingga memilih untuk berfokus membahagiakan orangtuanya. Lalu banyak hal yang mungkin dirasa lebih penting untuk dilakukan terlebih dahulu daripada menikah. Jadi jangan menghakimi.

Lalu, sering saya mendengar banyak perempuan di usia 25 yang belum menikah digunjing di belakang, disebut sebagai perawan tua. Seolah mereka adalah gadis-gadis yang tidak laku di pasaran. Apa kamu dijual? Tidak, kan? Jadi berhenti berkata ‘tidak laku’. Apa juga yang kalian banggakan dari pernikahan? Lebih lengkap? Coba jelaskan pada saya dari sisi mana kamu merasa lebih lengkap? Apa karena ada yang menyiapkan pakaian dan makananmu? Ada yang memberi nafkah untukmu? Lalu apa arti pernikahan bagimu jika tanpa menikah kalian bisa menggaji pembantu untuk memasak dan mencuci pakaianmu? Apa arti pernikahan jika kau sendiri sudah bekerja dan memiliki gaji? Apa kamu merasa lebih bahagia? Bagi saya konsep bahagia masing-masing orang berbeda, sehingga bahagia menurutmu bukan berarti bahagia menurutku.

Saya juga sering mendengar nyinyiran semacam, “Nggak punya pasangan karena ketinggian sih sekolahnya, makanya laki-laki tidak ada yang berani mendekat.” Orang yang berpikiran seperti ini punya 2 kemungkinan. Pertama, dia adalah laki-laki pengecut yang tidak berani bersaing dengan perempuan merdeka. Laki-laki berpemikiran sempit yang menganggap pernikahan adalah dominasi laki-laki atas perempuan sehingga dia tidak boleh kalah, tapi sayangnya dia tidak punya kompetensi untuk bersaing dan memilih untuk mundur dari arena yang dia buat sendiri. Dia memilih lawan yang lebih lemah. Kabur seperti pecundang dan mencari alasan untuk menyalahkan. Kedua, dia adalah perempuan yang berada di bawah cengkraman budaya patriarki yang kuat, yang masih kurang percaya diri terhadap dirinya sendiri. Bahwa dia akan mampu berada sejajar dengan laki-laki atau bahkan lebih. Perempuan seperti ini masih sangat banyak. Duhai, saudaraku. Bangkitlah!

Yang paling utama dari apa yang ingin saya tulis. “Ada apa sih dengan pernikahan?” itu yang ada di benak saya ketika saya mulai jengah menghadapi serangkaian pertanyaan soal “Kapan menikah?” atau “Mana calonnya?”. Seorang teman berkata, sebelum menanyakan perihal ‘kapan’, baiknya kita menanyakan sesuatu yang lebih penting terlebih dahulu. Yakni perihal apa itu pernikahan dan apa yang dipahami orang tersebut soal pernikahan. Dengan begitu, kita akan mendengar pendapatnya soal pernikahan itu sendiri. Saya setuju, kenapa? Karena kalian harus tahuterlebih dahulu mengenai bagaimana orang tersebut memandang pernikahan, sebelum akhirnya menyeragamkan segalanya dan meruncing menuju satu pertanyaan “Kapan?”

“Menurutmu, apa itu pernikahan?”

“Pernikahan adalah kesepakatan yang dibuat oleh dua orang yang saling mencintai, untuk kemudian menjaga satu sama lain dan membagi kehidupan satu sama lain blablabla …”

“Penikahan adalah janji irasional yang telah dibuat umat manusia.” Mungkin saja ada di antara kita yang berpikiran seperti Sherlock, dan itu tidak salah.

Atau ada yang menjawab seadanya, seperti, “Pernikahan ya pernikahan. Dilakukan supaya tidak berdosa. Kita hidup bersama pasangan, melanjutkan hidup, dan punya anak.” Jawaban ini juga tidak salah.

Lantas apa yang salah? Memulai pertanyaan dan mengatur arahnya. Untuk menuju ‘kapan’, orang harus sepakat bahwa pernikahan adalah hal yang baik. Pernikahan adalah hal yang penting untuk dilakukan. Pernikahan adalah hal yang diinginkan orang tersebut. Dia memiliki calon untuk itu, dan siap membawa hubungan mereka kepada pernikahan (siap mental, materi, dan banyak hal lainnya) untuk samai pada “Kapan akan dilaksanakan?”

Jika di tengah perbincangan dia tidak sepakat dengan ide baik soal pernikahan, kira-kira, apa dia akan setuju soal ide melakukan pernikahan? Atau, katakanlah dia setuju tentang ide baik mengenai pernikahan, namun tidak memiliki pasangan. Apakah kamu akan tetap menanyakan kapan? Atau, bisa jadi, dia sudah punya pasangan, tapi merasa belum siap. Dalam situasi seperti ini “Kapan?” bukan hanya menjelma sebagai pertanyaan, tapi dia hadir sebagai tekanan. Jadi saran saya, ketika kamu tidak cukup waktu untuk mendengarkan penjelasannya, atau tidak punya solusi mengenai masalah yang dihadapinya, maka jangan berani-berani bertanya “Kapan?”

Seperti mereka tidak pernah menanyakan padamu kenapa kamu memutuskan menikah di usia yang begitu muda menurutnya. Seperti mereka tidak pernah menanyakan padamu soal mengapa kalian setuju untuk menikah dengan alasan yang tidak masuk akal bagi mereka, dan seperti dia tidak menghakimi ketidakberuntungan pernikahanmu. Saya rasa tulisan ini cukup mewakili apa yang ingin saya sampaikan. Selebihnya kita bisa berdiskusi jika bertemu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Sesekali Dalam Sehari