Seperti Palomar melihat Gelombang Kapiler dan Tsunami

 Melarung rindu ke laut sebagaimana raga disucikan dalam bentuk abu yang akan larut. Tapi, barangkali rindu tak sama.Rindu serupa jiwa, bukan raga, yang tak tersentuh panasnya api atau dinginnya musim. Ia serupa jiwa yang bersemayam pada tubuh-tubuh manusia, sesekali bangkit dalam wujud melankolia. Barangkali dalam bentuk gelombang, seperti ombak. Kadang-kadang capillary, kadang-kadang tsunami.

Kita, sebagaimana yang sudah-sudah, banyak belajar dari kesalahan. Kita belajar mencintai, setelah kehilangan. Kita belajar makna hadir, justru ketika rindu. Kita belajar banyak dari semua hal yang absen di hidup, sehingga ketika hadir dapat dimaknai lebih baik.

Apakah manusia benar-benar memiliki jatah 3 kali untuk jatuh cinta seumur hidupnya? Jika betul demikian, apakah proses selanjutnya yang terjadi hanyalah proses melanjutkan hidup? Apa makna mencintai sebetulnya? Dan apa guna hidup yang hanya dilanjutkan karena belum waktunya mati?

Kita matian-matian belajar menafsirkan segala yang terjadi dalam hidup. Barangkali agar hidup terasa lebih bermakna, tetapi kemudian ketika makna itu telah hilang, kita tetap dipaksa mati-matian bertahan hidup, hanya karena kematian belum tiba di depan pintu kamar. Barangkali memelihara rindu adalah salah satu cara untuk bertahan hidup. Meromantisasi rasa sakit, hanya agar mati tak memenuhi pikiran kita.

Sejujurnya, aku tak tahu apa yang ada di pikiranku saat ini. Hanya ingin menuliskan semua yang ada di kepala.

Memelihara rindu berarti memelihara harapan untuk terjadinya 'temu', tetapi sebetulnya kita paham bahwa 'temu' yang diharapkan itu tak akan pernah terjadi. Entah dalam maksud yang senyatanya atau dalam maksud kiasan (circumstances).

Barangkali kita akan menolak mengakui rindu itu. Barangkali kita akan marah bahwa kita harus merindukan orang/objek yang salah. Barangkali kita akan berandai-andai tentang satu peristiwa yang mestinya tak terjadi atau mestinya dapat terjadi. Barangkali kita akan berduka atau bersedih. Barangkali, mungkin saja, suatu saat kita akan menerima bahwa itu adalah perasaan rindu dan terjadi pada diri kita. Kita akan mengelola perasaan itu menjadi lilin kecil saja yang kadang redup dan kadang membesar. Dan proses itulah yang mungkin disebut sebagai, salah satu dari, proses bertahan hidup. Kita berdamai bahwa keadaan tak selalu terang dan ada kalanya sedikit temaram atau gelap, tapi itu tak selamanya. Kita berdamai bahwa ada hari-hari yang terang dan itu pun tak selamanya. Kita berdamai bahwa rindu itu kadang lirih seperti capilarry waves yang perlahan menyentuh kaki telanjang kita di pantai, tapi kadang juga seperti tsunami yang meluluh-lantakkan seluruh kota. Kadang-kadang kita akan selamat, tetapi kadang-kadang kita akan tenggelam. Tapi kita belajar berenang seiring waktu. Dan lagi-lagi, itulah adalah bagian dari bertahan untuk hidup. Melanjutkan hidup.


Ditulis 31 Januari 2025, ditulis lagi kemudian 17 April 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kala Itu, Cinta

Perjalanan Menuju Stasiun: Pintu Kedatangan

One More Time One More Chance