Melbi

 Hello! Again. hehe

Biasanya aku mulai menulis jika sedang merasa melankolis dan jarang-jarang menulis jika sedang senang. Kadang-kadang hanya karena terlalu bersemangat akan satu-dua hal saja. Sebetulnya sama, hari ini juga begitu. hehe

Semalam saya datang ke konser band indie favorit yang baru saya tahu tahun lalu. Majelis Lidah Berduri atau yang dulu dikenal sebagai Melancholic Bitch. Sebetulnya di tahun 2019, saya telah tahu satu lagunya yang berjudul Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa ketika Frau (kolaborasi) tampil di Kota Lama berdekatan dengan Venue Patjar Merah Semarang 2019. Lagu itu langsung menarik perhatian saya, karena diksi 'luar angkasa' yang digunakan.

Tahun lalu, ketika dikenalkan dengan Melancholic Bitch, saya membaca surat Ugoran Prasad kepada para pendengar Melancholic Bitch tentang pergantian nama dari Melancholic Bitch menjadi Majelis Lidah Berduri. Sebuah surat yang cukup panjang, akrab, hangat, dan sedikit genit. Saya seperti tidak asing dengan nama Ugoran Prasad, dan ternyata saya telah mengenal nama itu lama sebagai seorang 'penulis' di kumcer Kumpulan Budan Setan dan sebagai 'pasangan Intan Paramaditha', penulis favorit saya. Untuk itu, ketika membaca tulisannya, saya merasa familiar.

Barang kali kita mengenal istilah kebetulan, tetapi dalam kamus saya, kebetulan itu tidak ada. Sebagai seorang yang beragama, saya percaya yang namanya takdir, sehingga yang disebut kebetulan tersebut adalah apa yang sudah menjadi bagian dari dan termaktub dalam buku takdir. Sebagai seorang yang punya tendensi pada rasio, saya percaya bahwa semesta raya ini bekerja dengan deterministik, artinya segala yang terjadi itu tentu memiliki sebab atau alasan yang mendasarinya. Kalau dalam fisika, kita mengenal hukum kausalitas, artinya ada sebab dan ada akibat. Ada gaya berupa aksi yang diberikan, sehingga menimbulkan re-aksi atau respon dari hal di sekitarnya yang terdampak. Kebetulan, menurut hemat saya, hanya sebuah

Pertemuan saya dengan Majelis Lidah Berduri barang tentu adalah akumulasi dari ketertarikan akan musik indie yang memang tak ditujukan untuk diproduksi massal, kritik sosial, dan juga kedekatan dengan dunia sastra. Begitulah kemudian semesta mempertemukan saya dengan Majelis Lidah Berduri dengan cara kerjanya yang determinan.

Menyaksikan melbi kala tampil di panggung membuat saya merasa senang. Tidak ada sekat antara penonton dan penampil. Kami bernyanyi bersama, berteriak bersama, dan saya merasa ada semacam perasaan yang terbebas dari belenggu, meski sedikit. Sejujurnya, itu melegakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Tepat Di Depan Mata, Demokrasi Lahir dan Sekarat

Sesekali Dalam Sehari