Tepat Di Depan Mata, Demokrasi Lahir dan Sekarat

 Apakah pada akhirnya, kita akan bersepakat dengan Plato tentang orang-orang bodoh yang saling berebut menjadi nahkoda?


Aku ingat sekali bagaimana orang-orang salah paham mengenai demokrasi yang tidak mendapatkan restu dari filsuf yang paling sering disebut dalam mata kuliah filsafat, Plato. Ide awal demokrasi memang memuat harapan-harapan banyak orang. Mereka yang sudah muak dengan era diktatorian, aristorian dan juga kerajaan, ketika kekuasaan memusat pada orang-orang tertentu. Banyak orang mengira bahwa demokrasi akan mendatangkan harapan agar orang di luar garis keturunan raja, di luar mereka yang terpelajar, dan di luar garis eksklusifitas mampu menembus ruang kendali dan duduk di kursi nahkoda. Mereka yang merasa tidak terwakili dan tidak dibela oleh siapapun pada akhirnya bisa menitipkan satu-dua harapan pada pentolan kelompoknya untuk membuat perubahan.

Nyatanya, sistem yang diagung-agungkan itu tumbuh menghancurkan mereka yang menaruh harapan pada sistem itu. Perlahan tapi pasti, demokrasi dibajak oleh pemain-pemain lama yang rakus. Apakah pada prakteknya memberikan kesempatan bagi mereka yang dieksklusikan sebelumnya? tidak juga. Para pemain adalah pemain lama yang mukanya kita lihat setiap 5 atau 10 tahun sekali di jalan-jalan. Mereka yang bermain adalah mereka yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik untuk mengamankan posisi-posisi strategis dan mendapat lebih banyak keuntungan. Apakah pada prakteknya memunculkan ide baru atau inovasi yang membawa perubahan besar ke arah perbaikan? tidak juga. Sebagian bermain-main dan mengatur segala hal menjadi lebih komik dari lelucon yang disampaikan komedian di atas panggung. Legitimasi? siapa yang menentukan legitimate atau tidaknya sebuah kebijakan? Ketika legitimasi diwakilkan oleh regulasi dan produknya tak didesain untuk khalayak mampu memberikan masukan dan bahkan penolakan.

Kian hari, kita menyaksikan demokrasi, sedikit demi sedikit, dihancurkan dengan cara yang paling demokratis. Difasilitasi dengan produk hukum yang cacat, yang dibuat bukan atas dasar kebijaksanaan, melainkan kepentingan sebuah kelompok. Pada akhirnya, harapan kita akan masa depan yang cerah, yang dibawa oleh demokrasi, mati satu per satu. Dan kita menyaksikan demokrasi runtuh tepat di depan mata sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa, karena segala akses tujuan seperti lubang tikus yang tak bisa dimasuki manusia pada umumnya.

Begitulah kemudian kita dibingungkan oleh penyebutan, apakah itu despotisme model baru atau kemunduran dari sebuah demokrasi, tapi tak menutup kemungkinan bahwa tak ada cara lain selain membakar lumbung padi yang telah digerogoti oleh tikus. Kata Gusdur sih begitu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata