Meluaskan Makna Inklusi

Biasanya saya menuliskan kesedihan-kesedihan yang saya alami atau saya tangkap dari sekitar, kegundahan, kegelisahan...tapi kali ini saya ingin menuliskan hal baik.

Saya masuk kuliah S1 pada tahun 2011. Saya pergi merantau ke Surabaya di salah satu kampus paling terkenal di Jawa Timur. Ibu-Bapak saya bangga karena anaknya masuk ke Unair, meski kalau ditanya jurusannya ternyata tidak keren-keren amat. Ilmu Politik. Wkkwk

Saya ingat waktu itu, saya adalah mahasiswa dengan uang saku pas-pasan sehingga ngirit sekali untuk beli pulsa atau kuota. Suatu hari, saya diberitahu bahwa perpustakaan kami buka sampai malam. Ruang yang dibuka hanya layanan publik, tapi itu sangat membantu kami. Mereka buka layanan sampai jam 3 pagi, kami bisa membawa makanan dan minuman di sana, dan desain ruangannya sederhana, konsep lesehan di mana mahasiswa bebas untuk berbincang di sana.

Saban hari setelahnya saya sering datang ke perpustakaan kampus sampai malam: baik untuk belajar atau untuk menyegarkan pikiran, seperti download film atau nonton saja. Mungkin perpustakaan kami bukan yang terbaik atau terlengkap, tapi saya bisa jamin bahwa perpustakaan kami kala itu adalah perpustakaan ternyaman yang mengakomodasi kebutuhan mahasiswa. Waktu itu saya dan teman-teman sering nongkrong saja di perpustakaan sampai malam. Itu saya tuliskan di blog ini juga lewat cerita-cerita "Genk Cacad" yang latarnya banyak terjadi di Perpustakaan. Perpustakaan Kampus B sudah seperti base camp kami, karena kami tak perlu beli makan untuk bisa nongkrong atau pergi jauh karena saya tak diberi motor saat itu. Jeda dari kuliah pagi ke kuliah siang/sore saat malas pulang atau terlalu jauh untuk pulang, kami pergi ke perpus. Tidak punya uang untuk makan di kantin, kami bawa bekal dan makan di perpus. Tidak punya kuota internet, kami pergi ke perpus. Punya tugas kelompok, kami pergi ke perpus. Kala itu perpustakaan benar-benar membantu hidup mahasiswa. Bukan saja tentang buku-bukunya, tapi tempat singgah di tengah gempuran cafe-cafe dengan harga yang tak terjangkau oleh mahasiswa menengah mepet bawah seperti saya kala itu.

Beberapa tahun kemudian, paska saya lulus, saya diterima kerja di kampus saya. Menariknya, atasan saya dulunya adalah orang di balik desain layanan perpustakaan yang amat membantu mahasiswa.Suatu hari beliau bercerita pada seorang tamu, bukan pada saya. Beliau bilang bahwa semasa menjadi kepala perpustakaan, layanan yang dibuka sampai jam 3 pagi itu salah satunya ditujukan untuk mengakomodasi mahasiswa yang tidak memiliki kos untuk bisa tidur/beristirahat di sana, sehingga ketika subuh, saat masjid sudah dibuka, mereka bisa berpindah tidur di masjid.

Hal yang terlintas di pikiran saya ketika mendengar alasan itu cuma satu...belakangan ini orang sering ngomong soal inovasi, tapi lupa untuk 'mengakomodasi'. Ruang publik itu sebetulnya konsep yang amat sederhana. Ruang bebas yang terbuka untuk umum dengan desain lesehan di mana siapa saja bisa masuk dan mengakses ruangan itu, bebas melakukan apa saja di sana, bebas duduk dan berdiskusi, bahkan sampai pagi.

I saw humanity which lately rare in our society.

Bukankah konsep itu adalah konsep yang amat sederhana? betul. Sudah banyak kebijakan ndakik-ndakik yang pada akhirnya hanya bisa diakses oleh sebagian kecil kelompok orang. Banyak omong besar menamai ini-itu yang sebetulnya toh tak banyak impact yang ditimbulkan. Banyak sekali.

Belakangan sering digaungkan konsep inklusi, sebuah konsep yang merangkul orang-orang yang dipinggirkan oleh kemajuan zaman. Apakah untuk menjadi inklusi harus terusir dan tidak punya rumah dulu? Apakah untuk menjadi inklusi harus seorang penyandang disabilitas? apakah untuk menjadi inklusi harus menua terlebih dahulu? Tidak juga.

Banyak dari kita sebetulnya tidak diuntungkan oleh kemajuan zaman, tidak diuntungkan oleh kebijakan pemerintah, dan dipukul mundur oleh kapitalisasi. Kupikir, itu termasuk juga bagian yang diekslusikan dari perkembangan zaman.

Mahasiswa miskin sekali boleh dijangkau oleh Bidik Misi atau KIP yang saban bulan diberi uang saku pemerintah dan dibayarin SPP per semesternya, tapi mahasiswa menengah kepepet seperti saya ya tetap harus bayar uang kuliah dan mengirit biaya hidup sehari-hari. Apakah kami cukup kaya untuk mengerjakan tugas kelompok di Coffee Toff*, Exels*, atau bahkan cafe yg jauh lebih murah seperti Suokl*t? atau sambil makan di Mc* atau KF*? Enggak juga. Uang makan sehari yg hanya cukup dipakai makan 2 kali itu setara dengan harga 1 menu di cafe paling murah. Jadi, kalau saya memutuskan untuk makan di Mc* hari itu, besoknya saya harus makan 1 kali sehari. Ada kalanya, setelah kegiatan syalala, uang saya benar-benar merepet untuk makan di kantin, sehingga harus mengirit dengan memasak nasi sendiri dan beli lauk saja di Molas. Cukup 6-10 ribu bisa kami makan sampai malam.

Untuk itu, ruang publik yang memperbolehkan membawa makanan (bekal) dan bisa diakses siapa saja untuk berdiskusi/mengerjakan tugas kelompok/beristirahat/bermain sambil menunggu kuliah selanjutnya tentu mengakomodasi kami, anak-anak dengan uang saku pas-pasan yang tak bisa membeli sekadar minuman di kafe, apalagi makanan.

Sejujurnya, ketika mendengar kembali atasan saya mengatakan bahwa jam buka perpustakaan sampai jam 3 pagi ditujukan untuk mahasiswa yang tidak bisa membayar kos sesungguhnya membuat saya hormat pada beliau. Bukan soal ide-ide besar yang luar biasa, but a little detail, sesederhana menggunakan empati untuk memahami 'user'nya yang paling dekat, mahasiswa.

Jaman dahulu, di kampung saya, berkuliah di Unair itu lekat akan 2 hal: pintar dan kaya. Nyatanya memang tak semua mahasiswa Unair kaya. Jika mereka yang tergolong mahasiswa ekonomi bawah bisa ditolong oleh bidik misi, kami kaum mepet-terdempet bawah ini hanya bisa menolong diri dari 'meminimalisir pengeluaran sebanyak mungkin'. Orang-orang seperti saya kala itu sebetulnya butuh kebijakan semacam itu, pelebaran makna inklusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat