Membagi kesedihan Dengan Hujan

Sudah berapa lama aku tidak menulis di sini? Barangkali cukup lama. Aku tidak menghitung. Aku kembali. Hari ini aku ingin membagi cerita sedih. Rasanya, cuaca mendukung untuk menuliskan kesedihan.

Sore ini, aku mengunci diri di dalam kamar. Menenggelamkan diri bersama Salju milik Orhan Pamuk, sebelum kemudian Ibu mengetuk pintu kamarku tiga kali. Kulirik, jam menunjukkan pukul 15.15, kuduga ibu hendak mengingatkanku untuk menunaikan salat ashar. Tetap kubukakan dengan segera, meski aku sedang berhalangan.

“Anak’e X gak onok. Ya Allah, kawit sak ulan nek sambat wetenge loro.” Ibu berkata dengan raut sedih.

“Innalillahi wa innailaihi raji’un.” Perkataan ibu tentu mengejutkanku.

X adalah saudara sepupuku. Usianya lebih muda. Kami terpaut antara 2 atau 3 tahun. Kami tidak begitu dekat, hanya sesekali bertegursapa saat bertemu dan ngobrol basa-basi. Semasa kecil, dia adalah teman bermainku. Aku turut bersedih untuknya.

Aku bersama ibu pergi melawat. Di sana masih belum banyak orang. Baru beberapa kerabat dekat. Begitu memasuki pintu, mata kami langsung tertuju pada kain jarik. Ada bayi yang sudah dibungkus kain kafan di balik kain jarik itu. Diletakkan di atas meja kecil. Itu bayi yang baru saja dilahirkan saudara sepupuku. Seketika mataku memanas. Ingin menangis. Pikiranku kemana-mana.

Bagaimana perasaan saudara sepupuku itu? Mengandung selama 9 bulan, menahan sakit setiap harinya, terbatas dalam bergerak … semua dia tahan agar bisa melahirkan bayi kecil dalam kandungannya. Sejak sebulan lalu, ibu bercerita kepadaku ihwal keluhan saudara sepupuku. Di kehamilannya yang kedua itu, menjelang jadwal kelahiran si bayi, saudaraku kerap mengeluh sakit perut. Bolak-balik ke Bidan untuk memeriksakan kandungan. Aku tidak tahu jelas apa kata Bidan, tapi sudah lebih dari yang dijadwalkan, taka da tanda-tanda pembukaan. Aku tak bisa membayangkan derita dari sang ibu, saudara sepupuku.

Kami masuk dan bersalaman dengan orang-orang di dalam rumah. Aku mengekor saja di balik ibu, tidak tahu harus melakukan apa. Sambil duduk, kupandangi jenazah bayi mungil di depanku. Bayi itu berjenis kelamin laki-laki. Keponakanku. Aku bahkan belum sempat melihat wajahnya. Kuputuskan mengakhiri pikiran-pikiran anehku. Aku datang ke belakang dan membantu sebisaku. Mengiris kacang dan mengupas bawang.

Orang-orang di belakang sibuk menyiapkan makanan. Lalu, sembari menyiapkan ini-itu sebagai lauk, mereka berbicara mengenai bayi itu. Bayi itu, keponakanku, sudah matang di dalam kandungan. Kata orang-orang, lemah jantung yang menjadi sebab awal kematiannya.

“Bayine apik. Wes gede. Ganteng. Bobote (beratnya) luwih tekan 2,5,” terang Budeku (saudara jauh ibu) sembari menangis.

“Wes takdire soko Sing Kuoso. Diiklasno.”

“Ibu’e nek sambat loro gak kaprah. Diperiksakno rono-rene ben bayine selamat, tapi kok yo … Ya Allah. Gusti pangeran.”

“Istighfar. Urip mati ngono wes tadire Gusti Allah.”

Setelah isak tangis mereda, orang-orang beralih membicarakan pengalamannya seputar kehamilan dan melahirkan. Aku satu-satunya ayang belum menikah di dapur lantas menjadi pendengar. Ada yang melahirkan dengan operasi karena memiliki riwayat sesak nafas, ada yang semasa hamil mengalami pendarahan, ada yang melahirkan lebih cepat dari jadwal seharusnya, ada yang justru lebih lambat, dan begitu banyak cerita.

Ibu bercerita, semasa aku lahir, beratku hanya 2,2 kilogram. Kecil sekali. Aku tidak boleh dibawa pulang terlebih dahulu, harus diinapkan (entah di rumah sakit, entah di rumah bidan). Begitu aku boleh dibawa pulang, ayah menggendongku dengan alas berupa bantal kecil. Aku pernah mendengar cerita itu dari budeku, saudara kandung ibu.

Cerita tentang bayi kehamilan, dan kelahiran selalu membuatku merasa bersalah. Ibu pernah bercerita, sewaktu mengandung diriku, ibu terjatuh. Rasa nyeri akibat terjatuh itu membuatnya kesulitan tidur berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Ingin minum obat penghilang nyeri, tapi sedang hamil. Akhirnya berhari-hari menahan nyeri dan susah tidur. Miring ke kanan terasa nyeri, miring ke kiri terasa nyeri, terlentang juga nyeri. Aku membayangkan penderitaan itu.

Dan, rasa nyeri itu sesekali masih terasa hingga saat ini. Bayangkan, sebelum lahir pun aku sudah menyusahkan orangtuaku. Cerita itu membuatku sedih, tentu saja. Jika ibu sedang tiduran sambil menonton TV, aku iseng memijat kakinya. Aku tidak bisa memijat sejujurnya, tapi kulakukan saja. Siapa tahu bisa sedikit mengganti waktu-waktu nyaman yang pernah kucuri dari ibu.

Mungkin kalian semua sudah beribu kali mendengar perjuangan perempuan dalam melahirkan seorang bayi, dan juga nasihat agar jangan pernah berani kepada ibu. Aku juga sudah beribu kali mendengar itu,, dan harus diakui bahwa kadang kala nasihat itu diabaikan. Tapi sungguh, membayangkan saja aku merinding. Kulit di tubuhku ini, daging yang ada di tubuhku ini, semua berasal dari ibuku setelah 9 bulan lamanya kuganggu dia dengan berbagai hal. Mual-mual, nafsu makan berkurang tapi tetap setiap yang masuk di mulut, nutrisi yang dimakannya, harus dibagi denganku. Sungguh, merincinya satu per satu, aku tetap tidak bisa.

Sekarang, ketika aku sudah sebesar ini, aku membayangkan apa-apa saja yang pernah kulakukan dan menyakiti hati ibuku. Semua itu membuatku ingin menangis. Aku selalu kesulitan mengungkapkan rasa sayang padanya, tapi semoga setiap hal baik yang kulakukan akan menjadi pahala baginya karena telah membesarkanku dengan baik. Mendidikku dengan baik.


Hari ini, hujan turun dengan lebatnya. Alam seolah turut merasakan kehilangan. Perasaan sedih itu menyeruak masuk bersama dingin angin dan air yang jatuh. Sedingin tubuh bayi mungil itu.

Maaf, ceritaku jadi tidak terarah dan berantakan, tapi tidak masalah. Ini toh blog pribadi, bukan jurnal ilmiah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Kebebasan Semu dan Kesepian yang Nyata