Senja - Airmata - Kita

Waktu itu sore, matahari berada tepat diujung barat. Kukira akan hujan, ternyata tidak. Dia datang dan duduk disampingku. Aku menyadari kedatangannya dan kami saling tersenyum. Ada jarak yang diisi oleh kesunyian yang dalam. Entah apa yang kami pikirkan, entah apa yang kami ingin luapkan. Hanya keheningan. Ada banyak hal yang berada dipikiranku, entah bagaimana dengan dia. Kuputuskan untuk mengakhiri keheningan, “Kenapa kamu datang?” aku menoleh padanya.
“Ada yang memintaku datang,” dia menoleh dan tersenyum. Kurasa senyumnya masih menenangkan seperti dulu.
“who?”
“I don’t know. Do you know?”
“No, I don’t.”
“Then I must be wrong.”
Keheningan kembali mengisi ruang diantara aku dan dia. Hanya suara kendaraan yang lalu lalang, serta kicauan manusia-manusia yang tak tertangkap daun telinga secara jelas.
“Langit semakin memerah, apa dia menyimpan amarah?” tanyanya memecah keheningan.
“Mungkin saja.” Aku tertunduk, kutahu pasti apa yang dia maksud.
“Bagaimana membebaskannya?”
“Entahlah.”
“Dia menahan hujan, aku takut dia tidak dapat menahan petir, kemudian badai datang.”
“Hey, apa kita sedang bersastra?” kucoba memaksakan tawa.
“I guess ya.” Dia tersenyum kecil. “What can I do?”
Kuangkat pundakku, aku menggeleng. Sejenak hening, “What I’m supposed to do?”
“What is the answer I should give?”
“I’m goin' to be crazy as hell. Am I alive? Is this the life? What I’m supposed to do? I don’t even know what I have to do.”
“You can cry on my back, if you don’t want me to see.”
Hujan datang. Mendung menjadi. Gemuruh terlalu berisik. “Can I hold your hand?”
“Sure.”dia memberikan tangannya. Aku menggenggamnya dengan kuat.
“Don’t leave me. Never let me go down. Can you promise me?”
Dia mengangguk. Aku masih memegang tangannya. Dia masih hangat seperti dulu. Dia masih menjadi kakak impianku. Aku merasa beruntung bertemu dengannya.
“Sometimes I think it would be good if I just die.”
“You’re the one that let go off your self. I won’t let you.”
“How to heal? I’m goin to be crazy. It kills me daily. It’s hurt so bad, worse than a blade on the vein. I can’t almost breathe, I lost the air.”
“We never lost the air, you just can’t take a breathe. That is.” Dia menggenggam tanganku lebih erat. “You’re the one that pleaded for me.”
“Can you stay little bit a longer?”
“As you wish.”
“I can’t do anything for person I love the most. i wanna do something, at least make a smile. What do you feel of watching the tears fall free? Is that the hell?”
“Yes it is. I feel it. But it’s better this way. Hide the tears with smiling is the worst.”
Masing-masing dari kami diam. Biarkan hujan reda. Biarkan malam memudarkan semburat merah diujung barat. Biarkan angin mengeringkan luka, siapa tahu menyembuhkan. Dan masing-masing belahan bumi berbagi matahari. Aku senang bertemu dengannya waktu itu. Setidaknya ada sedikit beban yang hilang, tidak ringan, tapi tidak seberat yang lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Sesekali Dalam Sehari

Suara Angin Lewat