Perempuan di Balik Tinta

   Hari ini tepatnya tanggal lima belas mei dua ribu dua belas, setidaknya dari tulisan inilah aku akan memulai bercerita tentang hal yang menjadi cita-cita selama belasan tahun, mungkin ini juga termasuk upayaku dalam mengejar mimpi tersebut.
   Ketika masih berada di bangku taman kanak-kanak, untuk pertama kalinya aku menulis sebuah surat. Surat itu kutujukan kepada ibu yang sangat kukagumi. Dengan gaya tulisan dan tata bahasa yang antah berantah ala anak TK, aku menyelipkan surat tersebut di saku pakaian ibu. Bukannya terbaca, surat tersebut malah masuk dalam bak bersama tumpukan pakaian kotor yang hendak dicuci oleh ibu. Kuambil kembali surat yang kutulis. Kutunjukkan surat tersebut pada kakek yang sudah sangat tua, dan ternyata beliau tak dapat membaca tulisanku. Dari situ aku sadar bahwa ternyata aku suka menulis, bahkan sebelum aku benar-benar bisa menulis. Sekedar suka.
   Kemudian menginjak bangku sekolah dasar atau SD. Dari hanya sebuah surat, aku mulai membuat puisi. Setidaknya beberapa kumpulan kata dengan gaya bahasa yang tak biasa. Awalnya memang bertemakan tentang ibu, lalu tentang guru hingga akhirnya mulai berani memasukkan unsur cinta di dalamnya. Yah, meskipun aku tidak tahu pasti bagaimana cinta itu. Mungkin ratusan kali sudah aku menulis puisi. Di setiap buku tugas di mata pelajaran yang membosankan, di setiap bagian kosong lembar kerja siswa, di sisi buku gambar yang sengaja kukosongkan untuk lebih menghidupkan gambar, di buku-buku ayah yang sudah tak terpakai, di tumpukan kertas kosong milik kakak, hingga buku catatan belanja ibu yang sengaja kucuri karena kehabisan tempat untuk menuangkan kata-kata. Aku tergila-gila dengan pensil, dengan bolpoint dan juga kertas. Aku juga mewarisi kecintaan ayah akan gambar. Ya, benar. Aku juga mencintai lukisan, tapi aku benci mewarnai. Aku tak pernah bisa menggoreskan pensil warna ke dalam gambar dengan rapi, juga tak bisa menuangkan cat air dengan baik ke dalam gambar. Untuk itu aku menyukai sketsa. Tanpa warna.
   Akhirnya aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di masa inilah aku pertama kali menuliskan cerita pendek hingga cerita panjang, bahkan sebuah Novel. Berkisah tentang apa? Tentang cinta pertama yang tak kusadari sedari dulu. Setiap hari, setidaknya satu paragraf kutulis bagaimana kulewati hari itu bersama ‘Cinta Pertama’ku. Tentu tidak secara terang kutuliskan namanya dalam bukuku, aku juga membuatnya sedikit berbeda dengan keadaan nyata yang kualami. Sungguh konyol ketika kubaca kembali cerita tersebut, tapi dengan gaya bahasa berbeda dan perasaan yang masih tersimpan, aku bisa menitihkan air mata ketika membacanya. Lupakan, mari kembali kepada cita-citaku.
   Masih di bangku sekolah menengah pertama. Seorang guru membangkitkan kembali mimpi yang pernah diterbangkan ayah ketika masih kecil dulu. Mimpi indah tentang daratan Eropa yang begitu megah dalam bayangan anak remaja berusia sebelas tahun. Aku jatuh cinta dengan bahasa. Bukan hanya sastra, tapi juga bahasa inggris yang menjadi modal untuk berkomunikasi dengan orang-orang hebat di luar sana. Lebih-lebih ketika hendak menginjak semester dua di kelas tujuh, aku mulai menyukai dan mengidolakan seorang pembalap hebat dari daratan Eropa. Bukan inggris, namun spanyol, Daniel Pedrosa namanya. Antusiasku untuk menginjakkan kaki ke daratan Eropa semakin memuncak. Aku mulai berangan menjadi seorang wartawan, menulis atau membawakan berita hebat. Kemudian aku juga berangan menjadi seorang tour guide yang mampu berkomunikasi dengan orang-orang hebat dari berbagai penjuru dunia, lalu menceritakan semua pengalaman hebat dalam bentuk novel ataupun cerita pendek. Aku tergila-gila dengan mimpiku. Mimpi yang kubawa hingga berada di bangku sekolah menengah atas.
   Di bangku sekolah menengah atas. Lebih dalam kuketahui apa yang menjadi inginku. Lepas dari bidang keilmuan alam yang kutekuni, aku tertarik dengan dunia politik yang kacau. Dari mata pelajaran Pendidikan Kewarga Negaraan, aku mengetahui banyak tentang apa itu politik, apa itu pemerintahan, bagaimana mereka berpengaruh dan bekerja. Lalu sebuah novel berjudul “Kisah Langit Senja” karangan Bubin Lantang yang kupinjam dari seorang teman, aku mulai benar-benar ingin menjadi seorang wartawan di masa depan seperti yang dilakukan oleh tokoh ‘Langit Merah’ di dalam novel “Kisah Langit Merah”. Aku terobsesi menjadi wartawan yang bekerja di desk politik. Kukorbankan rasa penasaranku tentang misteri tata surya yang selalu mengganggu tidur malamku. Menjadi ilmuan NASA sudah kulupakan, kuambil langkahku untuk mempelajari lebih dalam tentang Politik. Aku mendapat kesempatan mengikuti SNMPTN undangan. Ada konflik dalam pemilihan Perguruan tinggi negeri dan jurusan. Ayah menginginkanku mengambil jurusan Teknik geofisika dan bekerja dengannya di masa depan, ibu mengingginkanku menjadi guru dan memasuki Universitas yang sama seperti kakak, sedang aku sendiri menginginkan menjadi wartawan desk politik. Namun pada akhirnya ayah dan ibu memberiku kesempatan menentukan pilihanku sendiri, walau sedikit masih dipengaruhi oleh keinginan ayah. Aku tidak lolos SNMPTN undangan, ayah marah dan ibu kecewa. Tuhan masih memberiku kesempatan mengikuti seleksi tulis masuk perguruan tinggi negeri. Kuyakinkan ayah dan ibu bahwa aku serius dengan cita-citaku. Sebuah perjuangan yang jujur saja membuatku stress. Tekanan agar lolos SNMPTN tulis, perasaan takut dianggap bodoh dan mengecewakan ibu, serta keinginan lebih baik dari kakak justru membuat mental semakin drop. Aku melewati tes SNMPTN tulis dengan ragu, namun pada akhirnya masuk pada pilihan pertama yang kujanjikan pada ayah dan ibu. Aku resmi menjadi salah satu mahasiswi Universitas negeri yang cukup ternama di jawa timur. Aku percaya itu adalah cara tuhan memberiku ijin menjadi wartawan desk politik, melanjutkan mimpiku sewaktu duduk dibangku sekolah menengah pertama.
   Aku menjadi bagian dari mahasiswi ilmu politik. Namun yang terpenting saat itu, aku telah berubah status dari sekedar siswi menjadi mahasiswi. Aku mengikuti organisasi, sebut saja namanya AIESEC sebuah organisasi internasional yang bertujuan membawa perdamaian. Tentu saja untuk masuk, kalian harus melewati seleksi administrasi, seleksi tulis dan wawancara. Dalam sebuah acara untuk penyambutan anggota baru AIESEC atau AIESECer yang disebut LCC, aku mulai tahu bahwa yang menjadi mimpiku bukanlah wartawan, aku bahkan belum pernah menulis sebuah artikel yang layak untuk dibaca. Yang benar-benar kuimpikan adalah menjadi penulis, menulis dan menulis.
   Penulis tak bermasa depan! Setidaknya itu komentar yang kudapat dari orang-orang. Kupikir kembali tentang mimpiku sebagai penulis. Lalu kudapati sebuah solusi, bahwa tak selamanya mimpi harus diwujudkan menjadi pekerjaan. Aku bisa menulis kapanpun, dimanapun tanpa mengganggu pekerjaanku kelak. Aku mencintai tulisan seperti halnya dulu. Selama ini aku hanya menulis dan menulis tanpa mempublikasikannya, lalu beberapa waktu lalu kuberanikan mengirim salah satu novelku ke suatu lembaga bernama Plot Point. Aku masih menunggu apakah novelku akan ditebitkan ataukah tidak. Sementara itu, aku sedang dalam tahap menyelesaikan novel lainnya. Aku sedikit ragu dengan judulnya “Sayap Tunggal”, mungkin aku akan merubahnya ketika sudah menemukan judul yang lebih tepat.
   Inilah jiwaku, menulis. Tak peduli pekerjaan apa yang kudapatkan kelak, aku ingin tetap menulis, aku masih bisa menulis dan aku mencintainya. Tak peduli orang akan menyukainya atau tidak. Tak peduli orang akan mengagumi tulisanku atau malah menertawakannya, aku akan tetap menulis. Aku akan menulis apapun yang ada di dalam pikiran untuk dituangkan, entah itu dalam bentuk pesan berupa puisi yang sering kukirim untuk teman-teman di kontak telepon genggamku, dalam bentuk cerita pendek seperti yang dulu sering kulakukan, dalam bentuk novel seperti yang saat ini sedang kucoba untuk selesaikan, maupun naskah film ketika mungkin novelku layak untuk difilmkan. Aku tak berharap banyak dari tulisan-tulisanku, aku hanya puas bisa menuliskannya. Setidaknya ketika aku mati nanti, aku telah membiarkan setengah jiwaku tetap hidup dalam tulisan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Suara Angin Lewat

Sesekali Dalam Sehari