"Genk Cacad" : 4. Genk Perpus
Kelas
Gerakan Sosial dan Politik adalah kelas gabungan antara mahasiswa Ilmu politik
dan Hubungan Internasional, mungkin juga Administrasi Negara. Seperti biasa
Taufan selalu datang terlambat. Rumahnya memang jauh dari peradaban manusia.
Dia duduk di bangku belakang, sama seperti Sono. Meski begitu mereka masih
memperhatikan Dosen yang mengajar. Aku sendiri duduk di bangku kedua dari
depan. Kutinggalkan kebiasaan duduk di
bangku terdepan karena isunya horor. Dosen akan memakan mahasiswa yang duduk di
bangku terdepan, mencabik-cabik jiwanya. Ah, tidak juga sih. Kutinggalkan
kebiasaan itu karena tidak ada seorang teman pun yang mau duduk di baris
terdepan bersamaku. Aku jadi mudah bosan tanpa teman bicara.
Meski
sudah duduk di barisan nomor dua, aku masih mengantuk. Aku tidur dengan segala
resiko yang akan kutanggung. Pertama, aku bisa saja ketahuan oleh Dosen dan
dikeluarkan dari kelas. Kedua dan yang paling kutakuti, aku bisa tertidur pulas
dan terbangun dengan bekas merah di wajah karena menempelkan wajahku terlalu
lama di atas buku, atau yang terburuk jika aku bangun dan belepotan liur. Sungguh, memalukan!
“Sejauh ini ada yang ditanyakan?” Dosen
memperhatikan seluruh mahasiswa di kelasnya. Sepi. “Kalau begitu, sampai di
sini perkuliahan hari ini. Terima kasih. Assalamualaikum.”
Mataku
langsung menyala. Kulirik ke belakang, ke arah kedua temanku. “Makan yuk, luwe!”
Taufan menguap, lalu mengangguk.
“Kon gak mangan tah gan?” tanyanya pada Sono.
“Ane puasa. Huehuehue,” jawab Sono.
Siapa juga yang percaya.
“Oo tak antem kon! Lambemu poso,
wong mau mari mangan ngono!”
“Huehuehue. Maka dari itu ane puasa
sekarang.”
“Terus
kon kate nang ndi?”
“Perpus,
Gan! Jadi anak rajin.”
“Rajin dari Hongkong! Ya wes nanti
aku nyusul. Mau makan dulu bro, nasi di kantin udah dadah dadah,” aku berpamit.
Aku
dan Taufan berangkat ke kantin FIB seperti biasa. Kami makan ala rakyat jelata.
Harga makanan kami saja tak lebih dari lima belas ribu perak. Sepiring nasi
sambal ayam dengan segelas es teh. Jika sedang sedikit kaya, aku memesan jus
strawberry abal-abal, yang rasanya lebih menyerupai air gula daripada jus
strawberry. Mungkin karena jusnya terbuat dari tiga atau empat buah strawberry
ukuran kecil dan ditambah dengan 4 sendok makan gula dan air. Ibu penjual jus
ini berperan serta menaikkan gula darahku.
Selesainya
makan, kami meluncur ke Perpustakaan kampus B. Sono duduk di ruang publik
bersama Dhimas, salah satu teman Taufan dan Sono sedari semester satu. Kukira
tujuan kami semua sama. Berburu WiFi.
“Hoi!”
Kuangkatkan tangan dari kejauhan. Aku tahu, Taufan melirikku sinis dan berjalan
sedikit menjauh. Dia seolah membatin. Jangan
sampek dianggep aneh juga!
Akhir-akhir
ini aku mengikuti jejak ketiga temanku, menjadi pengunjung rutin Perpustakaan.
Saat ini perkumpulan menjadi seimbang, ada dua orang normal dan dua orang aneh.
Konferensi meja persegi panjangpun resmi dibuka. Dhimas dengan resmi akan
mendownload video bela diri. Taufan secara resmi bisa streaming video klip musik yang sedang hitz. Aku secara resmi bisa
menonton anime yang diberikan Sono … sedang Sono sendiri resmi streaming video JKT48.
“Alay!”
komentarku setiap kali memergoki Sono menonton video kesukaannya tersebut.
“Emboh, Gan. Ojo alay ta! Rusak industry
tanah air gara-gara kon seneng JKT48,” Taufan menyeluruh ketus.
“Eto, ini bagus. Anti mainstream.
Huehuehue.”
“Gak menisan dadi penonton d*hsyat
kono lo, Son, lalala yeyeye, enak oleh bayaran, ketimbang JKT48 ga jelas!”
Aku
dan Dhimas tertawa puas karena Sono kembali dapat omelan dari Taufan. “Kapok
kon!”
Saat
itu, muncul sekelompok Dea, Heri, Otit, dan kawan-kawannya. Seketika itu juga
Sono mengganti lagu yang diputar menjadi ‘When I see you smile’ dari Bad
English. Aku mencium bau-bau tak sedap. Seperti bau pencitraan dan ke’alay’an yang
sedang disembunyikan.
“Palsu
wah!” Kuprotes Sono.
“Iyo
mboh iki. Wes ta, Gan, ngakuo lek kon alay.” Taufan langsung menyambar bagai
petir. Tar Tar Tar … dan kami semua diam. Baginda Taufan sedang berkhutbah.
Sono sendiri seperti biasa, hanya tertawa “Hue hue hue.” Klasik.
Di
lantai 1, ruang publik ini semua dimulai. Kami lebih akrab karena sering sekali
menghabiskan waktu bersama di sini. Jika bosan, aku sudah menyediakan kartu
untuk bermain. Tentu saja ada hukuman untuk setiap yang kalah, biasanya kami
menentukan hukuman sebelum permainan dimulai.
Hal
yang paling mengenaskan … aku adalah orang yang paling sering kalah. Taufan,
manusia terkejam di muka bumi, selalu menawarkan hukuman yang beratnya melebihi
berat badannya. 20 kali putaran! Aku harus memutari meja-meja di ruang publik
sebanyak 20 kali, dan cukup diketahui bahwa bukan hanya kami yang mengunjungi
ruang publik. Ruang publik adalah area yang memiliki paling banyak pengunjung.
Jika bisa kubungkus mukaku saat itu, aku ingin membungkusnya dengan bungkus
burger Mc.D. Itu sungguh MEMALUKAN!
Suatu
ketika, orang tidak dikenal menghitungiku ketika sedang menjalani hukuman. Reputasiku
hancur seketika. Dengan ini pula secara resmi masa jombloku akan diperpanjang.
Tidak ada laki-laki bermartabat yang mau mengencaniku dengan reputasi seperti
ini. Kuharap, manusia-manusia yang menghitungi hukumanku hilang dari peradapan.
Jika tidak, gugurlah harapanku akan masa depan yang cerah. (T_T)
“Curang wah, sik 18 iku, gurung 20!”
“Isin,
cak!”
“Hahaha,
looser!”
Komentar
Posting Komentar