"Genk Cacad" : 5. Si Gendut dan Yang Lebih Gendut
Kupikir-pikir,
ada 2 tempat sakral yang rajin sekali kami kunjungi. Perpustakaan kampus B dan
kantin FIB. Urusan perut dan hiburan, baru kusadar hidup kami tak punya manfaat
sama sekali. Kami hanya datang ke kampus, makan, dan mencari hiburan. Kemudian
pulang ke peradaban masing-masing saat malam. Tidur.
Hari
ini, selesai kelas mata kuliah Ekonomi Politik, kami langsung menuju kantin
FIB, tempat segala makanan murah nan lezat. Kantin sejuta umat dengan bau rokok
dan berbagai macam keringat manusia. Tempat makan, diskusi, rapat, dan gathering bagi beberapa komplotan
kampus. Urusan kami di sini hanya makan. Tidak lebih, tidak kurang. Kami bukan
bagian penting dari suatu himpunan prodi, fakultas, maupun kampus. Hanya
anak-anak yang sibuk memenuhi perut dengan makanan, lalu bertugas kembali menghadiri
kuliah. Itu saja.
Di
sampingku, Sono, seperti biasa bingung memilih makanan. Raut mukanya yang
sedang berpikir sungguh menjengkelkan. Itu karena pada akhirnya dia hampir
selalu memilih nasi ayam penyet di stan depan dan segelas es teh jumbo. Stan
ini menyediakan nasi yang bisa diambil sepuasnya. Ini kemerdekaan bagi Sono
yang selalu lapar.
“Kon
mangan opo, Gan?” Taufan datang dari belakang. Mengejutkan saja.
“Emm
… Emmm.”
“Mesti
gak juelas. Kon mangan opo, Chus?”
“Udang.
Kamu?”
“Nasi
kriwul opo iki yo? Aku bosen se sambelan, tapi ngko ndang suwe kriwule. Luwe
aku.”
“Pesan
2!” Sono nyeletuk.
“Gendeng!”
Kusodorkan
piring rotan beserta kertas minyak untuk kedua temanku itu. Sono dengan cekatan
mengambil nasi. Satu … dua … tiga centong penuh, terlampau penuh malah. Aku dan
Taufan melihat Sono. Kami tak percaya.
“Kon
luwe temen ta, Gan?”
“Etto
ini untuk menambah energi.”
Kami,
aku dan Taufan menggeleng-geleng tak percaya. Kami pikir Sono sedang kesurupan.
Nasi 3 centong penuh, ayam goreng paha atas beserta lalapan lengkap, krupuk 2
bungkus, dan es teh jumbo. Mungkin perutnya berlapis. Sebelumnya aku sering
meledek Taufan karena porsi makannya yang tak wajar, tapi kali ini Sono lebih
tak wajar.
Aku
sendiri tipe yang cepat sekali kenyang dan cepat sekali lapar. Satu centong
saja sudah kenyang … dengan beberapa tambahan makanan ringan lain, seperti :
kentang atau sosis goreng, cireng, dan jus. Tapi semua itu masih lebih sedikit
dibandingkan dengan makanan Sono.
Aku
bahkan belum menghabiskan separuh nasiku, dan piring Sono sudah bersih. Jika
begitu, dia akan diam saja mendengarkan teman-teman mengobrol. Sesekali ikut
tertawa dan sesekali menimpali. Taufan sendiri masih dengan berisik melahap
makanannya. Sambil makan, sambil bicara, sambil tertawa. Jika sudah selesai,
Taufan akan sibuk sendiri membersihkan nasi-nasi yang menyangkut di kawat
giginya … tentu saja sambil berbicara. Taufan memang juara kalau soal bicara.
Dia mungkin lelaki tercerewet di Fisip.
Seketika
aku berpikir. Sejenak menggunakan otakku. Melihat ke arah dua temanku itu. Aku
heran, Sono makan lebih banyak dari Taufan, tapi badan Taufan jauh lebih gemuk
dari Sono. Padahal jika dipikir, Taufan lebih banyak mengeluarkan energi untuk
beberapa aktifitasnya seperti gosip, bully, dan debat. Sono sendiri hanya
menyumbang tertawa dan sedikit timpalan saat membully. Kemana arah segala macam
karbo itu dikonversi? Aktivitasnya hanya duduk dan menonton anime seharian.
“Lapaaar.”
Ujarnya bahkan setelah 3 centong penuh nasi. Semoga Ibu penjual sambelan
tersebut tidak bangkrut karena selalu kehabisan nasi.
“Gan,
Gan. Bobotmu sakjane piro se?”
“Emm
….” Sono menggeleng.
“Kon
mesti 85 lebih!” Taufan menuduh. Aku curiga kenapa Taufan menjadi sensitif
dengan pembahasan ini.
“Nooo,
76.”
“Wuih,
dua kali lipat lebih dari beratku, Cak!” Aku menyahut.
“Gak,
gak. Mbujuk arek iki! Mesti 85 luwih Aku ae 85.”
Sekarang
aku paham mengapa Taufan sensitif dengan pembahasan ini. Dia tidak mau jadi
lebih gendut daripada Sono. Dia tidak mau terlihat memiliki kelemahan untuk
dibully.
“Kau
berapa emang, Fan?”
“Aku
85, Chus. Makanya, Sono gak mungkin mek 76. 85 lebih mesti!”
“Kamu
lho memang gendut, Fan.” Aku membela Sono. Kata-kata barusan keluar begitu saja
dari mulutku.
“Lho
gak sadar, Cak. Makanya kamu makan sayur, biar tumbuh.” Tawa Taufan meledak.
Sono ikut tertawa.
Kami
sedang membahas siapa yang lebih gendut dari siapa, kemudian Taufan mengubah
pembahasan jadi tinggi badan. Oke. Aku diam. Rasanya ingin kusumpal mulut
Taufan dengan piring rotan, dan Sono? Kurang ajar sekali dia. Padahal aku sudah
membelanya. Sebaiknya aku diam saja. Kusesali kelancangan mulutku sepanjang
hari.
“Wes
ta, Chus. Kon menengo. Kenek kan malahan.”
Komentar
Posting Komentar