Anything I Wish I Could Tell

 Hari ini aku ingin menulis pakai bahasa Indonesia saja. Sebetulnya, banyak hal kuharap bisa kubagi denganmu. Kuharap ada juga cerita yang kau ingin bagi denganku. Tentang orang di kantormu yg tak kau sukai, tentang temanmu yg konyol suka menghamburkan uangnya, tentang proyek-proyek membetulkan motor yg sering kau ceritakan, tentang ibumu yg berencana pulang ke kampung halaman, tentang adikmu nomor 1 dan dramanya, tentang adik terakhirmu yg mungkin sudah lulus kuliah. Aku mau mendengar itu lagi darimu.

Kau tahu, ada saat-saat ketika aku bertugas pada momen wisuda dan aku berharap itu adalah wisuda adik kecilmu yg kau hadiri. Kadang-kadang aku berharap bahwa kita akan bertemu pada satu momen itu atau sekadar melihatmu dari kejauhan. Tapi kadang aku juga berpikir, jika memang akan terjadi, apa yang akan kulakukan? Hanya diam melihatmu dari kejauhankah? Barangkali juga aku tak akan siap.

 Ngomong-ngomong, soal apa yang ingin kuceritakan hari ini. Kau ingat teman yang pergi umrah bersamaku? Ya, yang kubilang dia baik sekali. Banyak hal terjadi padanya dan itu mungkin sangat menyakitkan. Hal itu yang kemudian membuat kami merenggang. Beberapa bulan ini, aku memutuskan menjauh darinya. Sebetulnya bukan tiba-tiba terjadi. Ada rentetan kejadian yang terjadi dan memang kesalahanku adalah aku tak pernah membicarakan hal-hal yang kurasa menyebalkan.

Kami sama-sama punya masalah. Waktu itu, aku terbebani dengan keluarga besarku yang dibebankan padaku. Aku merasa tidak adil ketika mereka tak pernah merawatku, tapi aku justru harus merawat mereka di saat mereka sakit. Dan itu bukan terjadi untuk satu atau dua kali saja, tetapi akan terjalani dengan rutin setiap bulan. Setiap kali bertemu, aku menggerutu perkara hal yang sama, begitu pula dengan dia. Kami berbagi cerita tentang bagaimana sialnya nasib kami kala itu. Tiba suatu ketika, dia tidak lagi mendengar dan merespon ceritaku dan aku merasa, "mungkin dia lelah mendengar cerita yang itu-itu saja." tapi dia pun tetap menceritakan perkara yang sama, yang harus kudengar. Lebih-lebih ketika dia melibatkanku dalam perkara-perkara yang harusnya aku tak terlibat di dalamnya: entah itu urusannya dengan suaminya, entah itu dia dengan mertuanya, bahkan urusan-urusan rumahnya. Aku jadi merasa capek. "Kalau kamu nggak mau lagi dengar ceritaku, kenapa aku harus dengan ceritamu? Lebih-lebih harus menemanimu urusan-urusan yg harusnya jadi urusan pribadimu". Dia tahu aku punya 'trust issue' terhadap pernikahan, dan mendengarnya menceritakan tentang betapa salah pilihannya makin membuatku gusar.

Hidupku sudah terlalu gelap. Terlalu kelam. Menyaksikan KDRT dan perselingkuhan di lingkungan keluargaku sendiri sudah membuatku sangat takut membayangkan pernikahan. Kenapa dia harus menambah trauma itu? Aku pelan-pelan mulai tidak merespon atau merespon sebatasnya saja ketika dia kembali bercerita tentang suaminya. Tapi lama-lama aku terpaksa harus kembali mendengarkan masalahnya dengan suaminya lagi dan lagi.

Suatu hari, di satu momen dia salah memahamiku. Tapi itu membuatku tahu cara pandangnya terhadaku. Setelah semua hal yg kami bagi, aku sedikit merasa kecewa bahwa ternyata itu yg dia pikirkan tentangku. Aku lalu berhenti bercerita padanya, perihal apapun. Di satu momen yg benar-benar membuatku akhirnya menjaga jarak adalah ketika dia merasa kesal, entah perihal apa, dan kemudian bicara padaku dengan nada tinggi. Aku tidak lagi bisa menoleransi hal itu. Kenapa ketika merasa tersakiti, orang seolah merasa punya hak untuk menyakiti orang lain? Orang yang tidak berkontribusi apa-apa di hidupku, kenapa begitu berani membentakku seperti itu? Aku merasa tidak adil saja ketika dia bermasalah dengan suami atau keluarganya, tapi aku yg menjadi sasaran kemarahannya. Aku sendiri punya masalah yg harus kuselesaikan, tapi aku menahan agar ucapanku tak menyakiti orang lain. Kenapa orang lain merasa begitu berhak untuk berkata 

Aku memutuskan untuk menjaga jarak beberapa waktu, menghindarinya beberapa waktu, tapi bahkan menghindar pun tidak bisa. Dia ada di mana-mana dan itu membuatku benar-benar merasa sesak. Amarah yang harus kuredam dengan mengisolasi diri sebentar, tak dapat kulakukan. Setelah beberapa minggu, ketika sakit hatiku mereda, aku mulai merespon ajakannya keluar, mendengarkan ceritanya kembali. Tapi kembali dia melakukan kesalahan yg akhirnya membuatku berpikir, "sebaiknya pertemanan seperti ini tidak dilanjutkan."

Masing-masing kita punya batas toleransi, bukan? Lalu, aku menghindarinya dengan segala cara. Pulang terlebih dahulu sebelum dia sampai di ruanganku, tidak lagi ikut lari di sabtu pagi, bahkan ikut menghindari temanku yg juga sering bersamanya. Aku tidak pandai berekonsiliasi. Mungkin memang sudah jalannya, pertemanan kami berhenti sampai di situ. Meski begitu, dia tetap orang yang baik, hanya kami tak cocok berteman akrab. Itu saja.

Jadi, aku kehilangan teman ngobrolku. Lebih-lebih ketika aku harus pindah tempat, terpisah dengan Mas Bagus dan Pak Soleh yang dulunya jadi teman ngobrolku. Kau tahu, aku jadi kesepian belakangan ini. Untuk itu aku kembali menulis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kala Itu, Cinta

Perjalanan Menuju Stasiun: Pintu Kedatangan

One More Time One More Chance