Perjalanan Menuju Stasiun: Pintu Kedatangan

 "Jika dia datang padaku, maka aku akan berlari menujunya."


Duduk, bengong, sambil melihat matahari tenggelam agaknya menenangkan. Entah kemana mataku tertuju. Apakah itu gradasi warna dari biru menuju abu terang, dan oranye semakin ke barat? ataukah itu awan-awan berwarna abu yang menggantung di langit-langit? kemana tepatnya mataku memandang, aku sendiri tidak tahu. Ketika kucoba untuk memikirkannya agar fokus pada apa yang ingin kuamati, aku justru terjatuh pada kesadaranku. Rasanya seperti merobek kertas lamunan untuk memastikan sesuatu yang aku sendiri tak tahu.

Pasar turi ini stasiun paling bising dari semua stasiun yang ada di Surabaya. Meski begitu setiap stasiun selalu lebih menyenangkan untuk disinggahi. Seperti memunculkan harapan, meski hanya letupan kecil. Aku masih mendengarkan lagu yang direkomendasikan Arif pada pertemuan kami di kereta menuju Jakarta beberapa bulan lalu: Majelis Lidah Berduri, Mitsky, dan tentu saja lirik yang ia kutip pada bagian belakang kaosnya, Phoebe Bridgers. Mulanya terasa biasa, jika takdir berpihak pada kami, maka akan ada 'lain waktu' untuk berjumpa. Enam bulan berlalu dan aku pun tak tahu dari mana asalnya. Di belahan Indonesia atau pulau Jawa sebelah mana dia tinggal, dan peluang bertemu yang hampir setipis helai rambut jika bisa dibagi tujuh. Tetapi ada waktu, seperti rasa tak sabar, yang menuntut temu. Hanya saja frustasi justru lebih besar, karena tak tahu kepada siapa harus menuntut.

"Jika dia datang padaku, maka aku akan berlari menujunya," ucapku berjanji pada diri sendiri.

Mataku lalu tertuju pada botol air mineral di depanku. Bulir-bulir air jatuh, seperti seperti uap air yang bergerak menuju tempat dengan suhu yang lebih rendah. Sebuah pertemuan komponen dengan suhu yang berbeda, luruh menjadi hujan. Dalam skala kecil, itu terjadi di hadapanku, bulir air jatuh dari botol yang baru saja keluar dari lemari es. Semesta punya cara membawa air laut bertemu pohon di gunung atau sumur di dataran tinggi. Seperti caranya menggerakkanku mengambil air dan duduk di kursi itu.

"Boleh duduk di sini?" ucap seseorang membuyarkan lamunanku.

Jika hari itu aku adalah seekor anjing, maka ekorku sudah bergerak kesana-kemari. Maka saat itu juga aku bersyukur terlahir sebagai manusia. Senyumku mengembang seketika melihat sosok di depanku. Laki-laki dengan perawakan tinggi, rambut hitam ikal - cenderung keriting, dan matanya yang menyipit ketika tertawa kala itu. How i miss this person so bad!

"How are you, Alien!" tanyanya sembari duduk. "Baru datang atau mau pergi?"

Aku masih belum bisa menjawabnya. Rasa bahagia di hatiku membuncah, hingga dadaku seraya hangat dan mekar. Aku masih terus tersenyum sangat lebar sembari memandang Arif. Menguncinya pada tangkapan mataku untuk direkam raut mukanya.

"I'm good. I'm good... Umm, you? You're gonna go somewhere?"

"I was happy when i suddenly saw you and i recognized it must be you! So i went here!"

"Me, too." Kataku membalas ucapannya. "I'm so happy to meet you again. Here. In another town, another station. How coincidence!"

"Jawab dulu, mau pergi atau baru datang?"

Raut mukanya tak sabar dan sesungguhnya aku pun ingin menanyakan pertanyaan yang sama. Berharap kami akan berada pada kereta yang sama. Memiliki kesempatan menghabiskan waktu yang panjang untuk berbincang kembali...sebelum suara dari announcer di microphone mengatakan bahwa keretaku akan segera berangkat.

"I'm gonna go. That's my train!"

"Oh, sayang sekali. Kalau gitu cepetan, sebelum ketinggalan."
jarak antara mini market dan pintu masuk cukup jauh. Aku harus segera berlari jika tak ingin ketinggalan keretaku. Baru saja aku merasa bahwa semesta begitu baik telah membawanya kepadaku, tapi sesaat setelahnya dihantam kenyataan bahwa waktu kami berbeda.

"I wish i could stay longer!" ucapku sembari berjalan mundur. Tak rela bahwa kami harus berpisah."

"It's okay. Go! you're gonna be late."

Aku akhirnya berlari menuju pintu masuk di sebelah timur. Tapi, aku sudah berjanji bahwa aku akan berlari padanya, jika dia menuju padaku. Lalu kuputuskan berbalik kembali sebelum jauh. Dengan nafas yang tersenggal-senggal, kukatakan, "listen i'm gonna be back at 10 PM on Sunday. Can we meet here?"

"Of course. I'm gonna pick you up. 10 PM on Sunday. Rite here!" ucapnya sambil menunjuk kursi di depan mini market itu.

Kami kemudian melampaikan tangan dan aku kembali berlari menuju pintu masuk stasiun. Mengejar kereta menuju Jakarta, kesekian kalinya. Itu adalah perjalanan terlama sepanjang hidupku. Seperti membenarkan perkataan Einstein, waktu melambat begitu kita menunggu sesuatu. Ya, itulah dua hari terlama dalam hidupku. Seakan waktu punya niat jahat yang membuatku gelisah, "apakah dia akan berdiri di sana ketika aku kembali? atau dia tak menepati janjinya karena lupa?" Kegelisahan itu terus kurasakan sepanjang perjalanan pulang. Perasaanku kacau dan itu kali pertama aku merasa bahwa aku tak memegang kendali atas diriku. Pikiranku ternyata punya kekuatan tersendiri yang tak bisa kuatur untuk diam dan tenang. Dia terus berisik sepanjang delapan jam. menanyakan banyak hal yang mestinya tak kuajukan dalam situasi biasa.

Ketika keretaku berhenti, aku hampir lupa membawa turun sampahku. Kakiku seperti ingin segera berdiri, turun dari kereta, dan berlari ke depan mini market di ujung barat, dekat musala. Dan aku segera berlari ketika giliranku tiba untuk keluar dari kereta. Aku menarik koper dengan tangan kananku sembari berlari kecil, menjaganya tetap seimbang. Membelah kerumunan orang berjalan yang amat lambat. Aku tak sabar. "Permisi! Permisi! Permisi!" ucapku sepanjang jalan menuju pintu keluar.

Laki-laki itu duduk bersandar di lantai, menyandarkan punggungnya ke dinding. "That is him! I found him!" Baru seketika itu aku bisa berhenti berlari. Berjalan menuju ke arahnya. Aku ingin menanggis, tapi terlalu malu untuk menangis.

Begitu melihatku, dia berdiri, membuka tangannya lebar, "welcome!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Menuju Stasiun

Tepat Di Depan Mata, Demokrasi Lahir dan Sekarat