Perjalanan Menuju Stasiun
Itu adalah tujuh jam yang singkat, tetapi mata dan tubuh kami punya batas untuk merespon kemauan otak dan melanjutkan percakapan. Lalu, masing-masing kami harus melanjutkan perjalanan masing-masing. Pergi ke tempat tujuan masing-masing.
Kupikir aku tak akan paham bagaimana bisa Celine memutuskan turun dari kereta dan menghabiskan sepanjang malam mengobrol dengan Jesse pada seri pertama Before Sunrise. Dua bulan lalu aku naik dari Surabaya menuju Jakarta. Seperti biasa kubuka buku, bukan untuk membunuh waktu-waktu bosan, tetapi untuk berjaga-jaga agar tak ada yang mengajakku bicara.
Aku punya teori bahwa dua benda paling ampuh yang bisa melindungi manusia dari percakapan yang tak diinginkan adalah buku dan headset. Teori ini sudah kuuji dalam berbagai perjalanan darat, laut, dan udara. Kombinasi keduanya sangat dianjurkan bagi mereka yang menghindari percakapan basa-basi dan kecanggungan menghadapi orang asing.
Kala itu kubawa satu buku Intan Paramaditha favoritku, Sihir Perempuan. Aku duduk di kursi, di dekat jendela. Bangku sebelahku sempat terisi, tetapi kemudian kosong ketika penumpang itu turun di stasiun Bojonegoro. Mungkin karena bukan akhir pekan, maka kereta terasa lebih lenggang. Di gerbong yang kutempati saat itu hanya ada beberapa orang saja, selain karena kereta eksekutif menampung lebih sedikit penumpang.
Keretaku berhenti di Stasiun Tawang, Semarang. Artinya sudah hampir separuh jalan. Masih ada sekitar enam jam lagi untuk sampai ke Jakarta. Dari Stasiun Tawang masuk dua penumpang di gerbongku. Dua laki-laki. Satu laki-laki berjalan ke bangku lebih depan dan satu lagi berhenti di baris yang sama denganku. Kupikir laki-laki itu duduk di seberang kursiku. Dia menaikkan tas ranselnya ke atas. Saat membelakangiku, bisa kulihat ilustrasi di bagian belakang kaosnya. Aku suka tulisan di kaos belakangnya, “Either it’s government drone or an alien spaceship, we’re not alone.”
Aku tersenyum tipis membaca
tulisan itu. Terlepas kepercayaanku akan eksistensi alien, tapi seringkali term
alien digunakan untuk menganalogikan kesepian, keterasingan, atau kesendirian.
Sebagaimana ketika Marx menggunakannya dalam konsepnya tentang Alienasi, apakah
itu berarti bahwa ia percaya keberadaan alien? Tidak juga. Dia hanya
menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan keterisolasian manusia dari
kelompoknya. We born alone and die the same way.
Aku kembali membaca novel di tanganku, Sihir Perempuan. Salah satu cerpen favoritku di dalam buku itu berjudul Sang Ratu, yang di dalamnya banyak simbol-simbol untuk diurai maknanya. Termasuk kemudian soal mimpi yang dialami karakter di dalamnya dan upaya untuk menafsirkan.
“I love Intan Paramaditha,” ucap
laki-laki yang duduk tadi mengagetkanku.
Here it goes, percakapan yang tak menyenangkan, batinku. Dengan agak berat hati aku menoleh padanya dan mencopot salah satu earbuds di telingaku. “Sorry?” sembari pura-pura tidak mendengar apa yang barusan dia katakan, hanya untuk memastikan apa yang kudengar.
“I said, I love Intan’s books, too." Mas-mas itu tersenyum lebar dengan mata berbinar melihat ke arahku. Kepada bukuku tepatnya. Sudah baca yang Gentayangan?”
“Ah, yaa, sorry.” Anjir, batinku. Aku harus berinteraksi dengan orang asing. Kulepas satu lagi earbuds yang masih menempel, lalu menutup bukuku. “No, i haven't read that yet.”
“You should! Itu adalah salah satu novel
Indonesia terbagus yang pernah kubaca.” Mas-mas tadi terlihat amat excited mengatakannya. Membuatku sedikit tak enak, karena memberikan respon yang datar.
“Ah, okay, i will.” Aku tersenyum tipis, lalu kembali memusatkan perhatian ke buku yang kupegang.
Baru sepersekian detik kukembalikan pandanganku ke arah buku, mas-mas tadi mengagetkanku dengan mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku dan mendekat. Ia menggeser posisi duduknya ke kursi di sampingnya dan mulai menjelaskan mengapa Intan Paramaditha adalah penulis yang bagus. Ia berbicara panjang lebar tentang teknik
penulisan yang digunakan Intan, yang menurut hematnya, jarang digunakan penulis
lain dan Intan sukses menggunakannya. Aku sedikit banyak bersepakat dengan apa
yang ia katakan, meski sejujurnya tak banyak tahu mengenai teknik penulisan. He seems to know about literature better than me, batinku. Tidak ada yang dibuat-buat dari caranya mengajak bicara, menjelaskan, dan ekspresinya yang terlihat jujur, meski kadang terdengar sedikit canggung.
“Aku sejujurnya nggak paham soal
teknik, tapi sudut pandang yang digunakan Intan ketika menuliskan cerita adalah
hal yang menarik menurutku. Like, when other feminist writers are trying to do a
counter attact to women strereotype, Intan is not. She’s Brilliant…”
Menanggapi pandangannya, aku menjelaskan mengapa Intan adalah penulis yang jenius
menurutku. Tulisannya mengesankan dan menyiratkan makna perlawanan dari sudut pandang yang berbeda.
Intan adalah salah satu penulis dan juga penulis perempuan favoritku. Aku sudah jatuh cinta pada tulisannya sejak pertama kubaca antologi cerita pendeknya bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad, ketika mereka menuliskan Kumpulan Budak Setan sebagai pembacaan ulang atas tulisan Abdullah Harahap. Tujuanku membeli kumcer itu awalnya adalah untuk membaca tulisan Eka Kurniawan, salah satu penulis hebat yang dimiliki Indonesia saat ini. Sayangnya, kumcer tersebut justru membuatku malah menaksir karya-karya Intan Paramaditha.
“Eka memang hebat dalam menulis
novel, tapi di Kumpulan Budak Setan itu dia kalah hebat dari Intan Paramaditha,
bahkan Ugoran Prasad,” kataku padanya. Aku mulai nyaman berbicara dengan mas-mas ini. Kami bertukar pendapat seolah kawan lama yang bertemu kembali lepas terpisah jarak.
“Kamu tahu Mas Ugo juga?”
“iii...yaa?" Jawabku agak ragu. "Aku sebatas tahu dia ikut nulis dalam kumcer itu dan dia musisi hehe. Lain-lainnya sih aku kurang tahu. Why?” Kubalas bertanya padanya.
Dia kemudian berpindah lagi. Dari tempat duduknya yang berada di sebrang tempat duduk, ia beralih duduk di sampingku. Tepat di sampingku. A gesture of excitement, i guess?
“Mas Ugo tuh musisi yang keren menurutku. Lagu-lagu dia keren lah kalau kamu pernah dengar."
Aku menggeleng sambil meringis.
"Coba deh kapan-kapan kalau lagi mood dengerin lagunya. Kayaknya sih kamu bakal suka kalau denger ceritamu soal kenapa kamu suka tulisan-tulisannya Intan tadi."
"Okay, will be on my list."
"Dia itu kan aslinya orang teater. Jadi, dia itu satu-satunya orang teater yang punyar gelar doktor. Aku malah tahu Mbak Intan karena dia pernah monolog di salah satu pertunjukkannya Mas Ugo.” Lalu dia bercerita banyak tentang Melancholic Bitch yang kemudian menjadi Majelis Lidah Berduri. Band yang benar-benar belum pernah kudengar sebelumnya.
Sambil mendengarkannya bercerita,
kubuku aplikasi Spotify dan mencari Majelis Lidah Berduri. Satu lagu
kolaborasinya dengan Frau ini pernah kudengar sebelumnya. “Ahh, I know this one!” Aku
suka musiknya. Obrolan novel itu kemudian beralih ke musik. Kami banyak
membahas soal Pink Floyd dan beberapa masterpiece-nya. Di tengah-tengah itu, dia dengan penuh antusias menceritakan proses pembuatan Wish You Were Here yang menurutnya didedikasikan untuk Syd Berret, vokalis Pink Floyd yang kemudian berhenti
karena masalah kesehatan mental.
Aku melihat gerak tangannya yang
sangat antusias ketika bercerita mengenai musik, matanya yang berbinar-binar dan melebar seperti
kaca di mana aku bisa melihat pantulan cahaya lampu dan bayanganku sendiri yang mendengarkannya dengan seksama. "We’re just two lost soul swimming in the fish
bowl, year after year..." Are we?
Kupikir dia adalah musisi, anak band, atau setidaknya mengambil jurusan seni, karena dia banyak bercerita tentang produksi dan distribusi di industri musik. Rupanya bukan, dia hanya penikmat musik sebagaimana aku menikmati novel. Dari novel dan musik, obrolan kami mengalir kemana-mana. Membawa kami menyusuri politik yang menjadi bidangku, theis dan atheisme, hingga psikologi dari kacamata awam.
Kami lupa bahwa itu adalah tengah malam menuju pagi. Kereta sudah sangat sepi dan kami hampir tiba di Pasar Senen sebentar lagi. Sepuluh menit lagi kereta kami akan sampai dan kami harus turun mengakhiri percakapan yang menyenangkan itu.
Sembari berkemas sebelum kereta berhenti, laki-laki itu kembali mengajakku ngobrol. “By the way, aku lupa belum tanya namamu. Aku Arif!” dia menyodorkan tangannya.
“Aku alien. Hahaha. Bercanda. Aku Sisi.” Kusambut tangannya.
“Nice to meet you, Sisi. Betewe, kemana setelah ini?”
“Ke hotel langsung paling. Tidur. Besok ada seminar pagi. Kamu?” Kuturunkan koperku dan kumasukkan buku serta camilan yang sedari tadi menemani kami ngobrol.
“Sama. Aku sih mau ke Baduy. Kumpul di Tanah Abang jam 8. Wanna grab a beer?”
“No, sorry, i don’t drink.”
“Ya ngopi aja maksudnya. Mau ngopi di sekitar stasiun sebentar, nggak?”
“Boleh.”
Kami turun dari kereta, berjalan sambil terus melanjutkan obrolan, lalu mencari tempat ngopi yang masih buka di sekitar Pasar Senen. Tak ada kedai kopi yang buka di jam 2 pagi, hanya warung-warung kecil penuh bapak-bapak ojek online yang menunggu pesanan masuk. Kami kemudian melipir ke salah satu resto yang masih buka sembari menyantap nasi goreng yang tak enak.
“Well, sejujurnya aku tadi tertarik sama tulisan di belakang kaosmu sih,” kataku padanya.
“Ini?" tanyanya sembari membalikkan badannya. "Ini mah bikin sendiri. Aku ngambil quote ini dari lagunya Pheobe Bridgers, I know the end. Tahu, nggak?”
“Nggak. Hahaha. Laguku itu-itu doang. But, do you believe that alien is exist?”
“OFCOURSE, I DO!” jawabnya dengan suara yang cukup keras, karena terlalu bersemangat.
Aku tertawa mendengarnya, lalu memberikan isyarat untuk mengecilkan volume suara. “If they were exist, i wonder how they see us and how they interact to each other. Kira-kira mereka bersosialisasi juga gak ya?”
Dia meletakkan sendok makannya ketika hendak berbicara seperti hendak mengatakan hal yang serius. “To understand about alien species, we need to stop thinking like a human and leave your ‘humanity’ behind. Hahaha.”
Sepanjang malam itu kami menghabiskan waktu membahas tentang kemunculan-kemunculan Unidentifies Flying Object (UFO) atau Unidentified Anomalous Phenomenon (UAP) di masa lalu. Kami mulai membuat teori tentang kehidupan mereka di planetnya dan seberapa jauh kemungkinan jarak antara kami dan mereka. Aku berbicara padanya bagaimana aku mulai tertarik dengan hal-hal berbau luar angkasa, mungkin juga separuh melantur karena masing-masing kami sudah mulai mengantuk.
Percakapan kami terhenti ketika suara tarhim terdengar dari toa-toa masjid, yang artinya subuh sebentar lagi. Kami belum tidur sama sekali dan masing-masing harus bergiat pagi. Itu adalah tujuh jam yang singkat, tetapi mata dan tubuh kami punya batas untuk merespon kemauan otak dan melanjutkan percakapan. Lalu, masing-masing kami harus melanjutkan perjalanan masing-masing. Pergi ke tempat tujuan masing-masing.
Aku memesan taksi online karena jarak hotel dengan stasiun cukup jauh, sementara dia memesan ojek online. Kami melambaikan tangan tanpa menukar nomor telepon masing-masing. Sejujurnya aku bahkan tak ingat apa kami sempat meminta nomor. Mungkin karena terbawa suasana, kami merasa seperti telah mengenal satu sama lain jauh sebelum itu, dan karenanya kami tak perasa perlu meminta kontak masing-masing. Whatever will be, will be. Jika semesta mengatur sebuah pertemuan, maka kami akan bertemu kembali.
Mengingat kejadian dua bulan itu, ada rasa
bahagia, tetapi bukan kegembiraan. Semacam perasaan lega. Perasaan menjadi
asing yang hampir selalu membuatku menjauhi kerumunan atau menghindari orang-orang, ternyata bisa juga meluruh ketika menemukan lawan bicara sepadan.
Kuingat kembali tulisan di belakang kaosnya kala aku merasa amat kesepian, sebab tak satupun orang mengerti pikiran-pikiranku atau apa saja yang kubicarakan. Either it is
government drone or alien spaceship, we are not alone. I hope so.
Komentar
Posting Komentar