Taman - Malam - dan Bacaan
Taman Rajekwesi malam kemarin lebih ramai dari biasanya. Banyak muda-mudi berkencan, dan pasangan suami-istri beserta anak menghabiskan malam minggu bersama. Dan di tengah suasana yang sedemikian rupa, kami memilih duduk bersama dan membaca. Orang-orang lalu-lalang memandangi kami dengan sangsi. Tapi, siapa juga yang peduli?
Di bawah cahaya lampu taman yang
temaram, disaksikan bulan sabit yang tertutup gumpalan awan, kami duduk
membentuk lingkaran. Ada sepuluh orang yang hadir dalam pembacaan buku malam itu. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang baru pertama kali
bergabung dalam proses pembacaan buku Lapar karya Knut Hamsun.
Kami mengulang kembali pembacaan
pada halaman 19 atau lembar ketiga dalam kertas kopian. Sampai pada halaman
itu, kami belum mendapati kesulitan apa-apa dalam pembacaan. Tidak ada kata
aneh yang membutuhkan pembahasan mendalam. Paragraf pembuka di lembar ketiga
itu masih berisi deskripsi tentang tokoh ‘Aku’ yang merasa lapar (meskipun
tidak disebutkan secara tersurat) dan mencari apapun yang bisa dimakan, namun
nihil. Tidak ada apapun untuk dimakan.
Pada paragraph selanjutnya, Mas
Tohir menemui semacam komedi (atau apa sebutan yang lebih tepat?). Tokoh aku
seperti sedang menertawakan nasib buruk yang menimpanya. Penolakan-penolakan
yang ia terima selama ini. Salah satu yang begitu lucu menurut kami adalah pada
bagian :
“Seorang kapten berjalan
mondar-mandir memeriksa para pelamar, meraba ototnya dan melontarkan satu dua
pertanyaan, ia hanya menggeleng ketika melewatiku, katanya aku tak bisa
diterima karena pakai kacamata. Aku pergi, dan kembali lagi, tanpa kacamata.
Aku mengerutkan dahiku, membuat mataku tajam seperti ujung pisau; tetapi ia Cuma
melewatiku kembali, sambil tersenyum – ia telah mengenalku kembali. Yang paling
payah ialah bahwa pakaianku mulai begitu lusuh sehingga aku tak dapat
mengenakannya lagi bila ingin melamar sesuatu pekerjaan yang membutuhkan
seorang yang terhormat.”
Cerita di atas seperti komedi
satir tentang kehidupan yang ironi. Tidak ada pakaian layak untuk digunakan
melamar pekerjaan, tidak memiliki tubuh yang kuat, otot-otot yang besar
sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (dan uang tentu
saja). Untuk itu, dia tak berkesempatan mendapatkan makanan bagi perutnya yang
kelaparan. Di paragraph selanjutnya, ‘aku’ bahkan mengatakan tak ada sesisir
(sepotong) roti pun yang tersisa.
Hal menarik lainnya adalah malam
itu kami kedatangan tamu dari Cepu, Penyair sekaligus penerjemah. Mas Jano namanya. Begitu membaca paragraph awal di halaman ke empat, ia bergumam “Comb,
sesisir.” Saya belum mengerti maksudnya waktu itu. Ya, kita semua tahu comb itu
bahasa inggris yang berarti sisir bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Lalu kemudian Mas Jano menjelaskan bahwa mungkin yang dimaksud Marianne Katoppo
(penerjemah Lapar) adalah sesisir roti, bukan sisir.
“Betapa bertambah pedihnya
masalahku! Kini aku sedemikian papanya, sehingga bahkan tak mempunyai sisir
lagi, juga tak memiliki buku satu pun yang dapat kubaca pada saat putus asa.” –
teks terjemahan Marianne Katoppo.
“I had not even comb left, not
even a book to read, when things grew all too sad with me.”
Bagimana mungkin benda seperti
sisir bisa masuk ke dalam deskripsi tentang keadaan lapar. Sehingga, maksud
yang paling mungkin, yang ingin disampaikan penulis, adalah sesisir roti. Jika
tidak ada Mas Jano malam kemarin, kami mungkin hanya akan melewati kata atau
kalimat tersebut. Membiarkannya begitu saja.
Kami bersepakat bahwa Lapar ini
pengejewantahan nyata kehidupan penulis, meskipun toh tidak setragis tokoh ‘aku’.
Sebagian besar peserta yang hadir malam kemarin adalah penulis, sehingga
membaca Lapar seperti bercermin, lalu kami menertawakan diri kami sendiri.
Lanta, mengapa banyak orang ingin menjadi penulis? Hidup dari hanya menulis itu
susah sekali. Sangat-sangat susah (setidaknya bagi saya sendiri).
Malam itu, ada dua dewa teks,
yaitu Mas Tohir dan Mas Jano. Mereka berdua punya kemampuan analisa teks yang
luar biasa. Saya tidak melebih-lebihkan, karena ini pertama kalinya saya
bertemu yang demikian. Mereka menangkap apa yang tidak disadari kebanyakan dari kami. Mas Jano menangkap modernitas pada halaman ke lima
lembaran yang kami baca.
“Di muka toko daging, berdirilah
seorang perempuan dengan keranjang tergantung pada lengannya, mempersoalkan
daging yang hendak dibelinya untuk makan malamnya. Ketika aku melewatinya, ia
menengadah menatapku. Giginya hanya tersisa satu dalam rahang bawahnya.”
Ya, aku paham apa yang dimaksud
Mas Jano. Betapa lucunya, ketika bahkan si ‘aku’ tidak memiliki apapun untuk
dimakan, perempuan tua yang sudah tak punya gigi itu malah mempersoalkan daging
mana yang akan dimakan. Bagaimana bisa orang tua yang sudah tak memiliki gigi itu
akan mengunyah dagingnya? Untuk makan malam yang entah kapan pula. Membeli apa
yang tidak dibutuhkan, yang tidak bisa digunakan, bukankah itu yang kerap kita
jumpai di era modern ini. Entah karena tergiur diskon, entah karena hal lain
apa, tapi tanpa kita sadari, modernitas membawa kita pada perilaku konsumtif
yang berlebihan. Paragraf ini sekaligus komedi satir yang menyesakkan, sejujurnya.
Di paragraph selanjutnya, kami
bertemu dengan sisi sosialis dalam diri ‘aku’. Melihat laki-laki tua pincang
yang berjalan di depannya, ia ingin membantu laki-laki itu dengan membawakan
bungkusannya. Prinsip sama rasa. Tapi, tidak jadi dilakukan. Tidak disebutkan
alasannya dalam buku itu.
Pembacaan kami harus berakhir
pada halaman ke enam. Selain karena kami kehabisan lembar yang telah dikopi,
malam juga sudah semakin larut. Angin bertiup kencang dan menerbangkan
kertas-kertas kami. Rupanya alam semesta mendukung kami untuk menyudahi
pembacaan buku. Segera kertas-kertas itu kami masukkan ke dalam tas. Kami
lantas beralih pada diskusi ringan tentang apa saja.
Komentar
Posting Komentar