"Genk Cacad" : 3. Pengungkapan Identitas
Gerimis
di daerah Surabaya dan sekitarnya. Hawa dingin menyeruak, menggelitik tulang
dan rusuk. Suatu momen sakral yang seharusnya kulakukan adalah meringkuk di
kasur dengan guling yang lengket di badan … tapi tidak untuk sore ini. Aku
menghabiskan sore bersama Sono dan Taufan duduk di kantin. Aku merasa jengkel.
Akhirnya
datang juga. Segelas jus strawberry encer dan nasi sambel udang yang akan
menemaniku merelakan ritual sakral. Sebenarnya, aku sungguh ingin bermesraan
dengan bantal, guling dan kasur, tapi aku tak berdaya. Mereka mengancam tidak
akan mensupply amunisi (baca : anime).
Kami
membicarakan anime berjudul Chuunibyou lagi. Kali ini yang diberikan Sono
adalah edisi istimewa. Sebenarnya, aku sendiri tidak tahu di mana letak
keistimewaannya, dan lagi bukan pembicaraan kami bertiga, hanya aku dan Sono.
Lebih tepatnya, Taufan hanya datang menemani kami. Dia lebih seperti pengasuh,
mengawasi kalau saja kami tiba-tiba bertindak memalukan. Mungkin saja Taufan
tahu kalau Sono akan memberitahu ‘umat pujasera’ tentang identitasnya aslinya
dari planet namex … atau aku tiba-tiba bertingkah seperti ninja, sehingga dia
harus menemani kami. Sekedar berjaga-jaga.
Lama-lama
aku jadi rela, tidak jadi jengkel. Ini karena Sono punya banyak amunisi untuk diminta.
Aku senang tidak harus membuang kuota internet untuk mendownload ini semua, dan
lagi IDMku error. Aku sungguh sedih. Teramat sedih, lalu Sono datang
menyelamatkan kehampaan laptopku.
“Ih
gila, gokil! Seriusan nggak pernah tahu kalau kamu sukanya anime juga. Dulu
kukira kamu nerd, nerd!” Kuungkapkan apa yang ada dipikiranku.
“Loh…etto,
itulah.” Sono menanggapinya dengan tawa.
“Mesti
kan, gak jelas!” Taufan protes. “Daripada ngomong sing gak nggenah, mending
downloadno aku film, Gan!” Taufan meminta bantuan Sono.
“Ini
aja copy. Chuunibyou edisi spesial. Huehuehue.”
“Males,
Cak! Ayo lah, Gan. Kon lak apik’an se.” Taufan mencoba merayu. Mari kita lihat,
apakah Sono akan terbujuk dengan rayuan Taufan.
“Mmm,”
Sono menggeleng. “Ini aja, biar greget! Kamu tidak tahu betapa gregetnya ini.”
Sono berbicara dengan bahasa Indonesia medok. Aku baru sadar betapa medoknya
Sono kalau berbicara … aku juga sih.
“Film
opo se, Fan?”
“Lanjutane
film teko nggonamu, Merlin.”
“Oalah.
Ngko coba tak tanyakno mbak kosku.”
“Temen
yo! Awas yo sampek mbujuk’i!” Taufan antusias, lebih tepatnya mengancam.
“Hahaha,
pocky!”
“Iya
pocky!” Sono ikut menimpali. Aku mendapat dukungan. Yes, dua lawan satu, Taufan
harus mau.
“Wes
ta, amal ngono lho, Rek. Uripmu gak tau beramal.”
Kita
semua tahu Taufan selalu pandai mengelak alias ngeles. Di antara kami bertiga, Taufan jadi juara. Aku dan Sono
tidak pernah menang jika harus berdebat dengan manusia satu ini, dan lagi kalau
dia jengkel … habis sudah kami diperolok. Walau sebenarnya tidak masuk akal dan
tidak ada kaitannya. Akhirnya kami diam.
“Etto,
boleh tahu kenapa ente dijulukin alien?” tanya Sono. Sesuatu yang ingin dia
ketahui semenjak berteman denganku di dunia maya, twitter.
“Iku
maneh,” gerutu Taufan. “Nggak usah ditanya lah, Son, wes jelas jawabane mergo
Chusnul iku aneh!”
“That’s
right! Tapi selain iku onok sejarahe, Bro. Hahaha,” jawabku santai. “Kalau kamu,
Gan? Kamu aneh juga, lho. Sebenernya, kamu itu spesies apa? Ngaku!” Kutunjuk
Sono dengan Sendok makanku.
Taufan
kembali melirikku dengan sinis. “Sumpah, Rek, gagal paham aku.” Dia menggerutu.
“Wiih,
cerita … cerita.”
“Kapan-kapan
lah. Kamu spesies apa dulu? Ngaku!
“OJOK
ALAY!” Taufan menyambar, dia sudah muak.
Aku
dan Sono makin senang jika Taufan marah. Kubayangkan, betapa hampa hidupnya
tanpa imajinasi. Tapi aku senang, hanya dengan cara seperti ini kami
mengalahkannya.
“Nak,
ada saatnya untuk menunjukkan kekuatanku, tapi bukan saat ini!” Kupuk-puk Taufan.
“Dih
males!”
Kupukul
meja sekali. Mereka kaget. “Ngaku, Son! Kamu spesies apa?”
“Huehuehue
Ane mutan.” Sono kembali tertawa.
Komentar
Posting Komentar