"Genk Cacad" : 1. Bermula dari Sini
Perkenalkan
dua orang temanku, Sono dan Taufan. Teman satu jurusan yang kemudian menjadi
bagian dari kehidupan pentingku di kampus tercinta, Universitas Airlangga.
Kami, yang entah bagaimana menjadi dekat, menamai perkumpulan kami dengan
sebutan ‘Genk Cacad’.
Genk
Cacad tidak hanya terdiri dari kami bertiga saja, tapi juga beberapa teman lain
yang kami ‘paksa’ bergabung … meski tak mau. Ada Wira, Dimas Balarena, dan
mungkin saja Dhimas. Orang-orang dengan tingkat dan jenis ke’aneh’an yang
berbeda. Kami, mungkin saja, disatukan oleh game dan anime. Tapi bagaimanapun,
mereka bertiga tidak terlibat jauh dengan segala macam persekongkolan aneh dan kesintingan
kami.
Penemuan
itu diawali ketika hujan mengguyur sebagian Kota Surabaya. Aku masih di kantin
FIB bersama Taufan dan Sono. Kami menikmati semangkuk soto Lamongan seharga
7000 rupiah ala pujasera FIB. Level kami memang bukan soto Cak Har yang super
terkenal. Begini saja sudah mewah, ditambah guyonan receh dan es teh. Kami
sudah senang.
Aku
dan Taufan asik membicarakan tugas mata kuliah dasar jurnalistik (Dasjur).
Hanya ada sedikit mahasiswa ilmu politik yang mengambil mata kuliah tersebut.
Siapa lagi kalau bukan aku dan Taufan, dua mahasiswa yang tersesat di prodi
politik. Ini semua hukuman dari Tuhan karena kami murtad dari ilmu pasti.
Banyak
mahasiswa yang bilang Dasjur adalah mata kuliah yang berat, tapi bagi kami
tidak begitu. Kami diberikan tugas buletin kelompok tiap minggu, dan satu kali
dalam satu semester membantu koran hima komunikasi. Tidak terlalu melelahkan
sejujurnya. Namun akan berbeda cerita jika 24 sks yang kami ambil membebankan tugas
di minggu yang sama. Belanda telah tiba, dan kami rakyat jelata harus bekerja
ekstra.
Aku
lupa bahwa Sono ada bersama kami. Dia dengan khidmat menyimak sajian di
depannya. Semangkuk soto, es teh, dan laptop. Aku jadi penasaran apa yang dia lihat.
Rautnya sangat serius, kadang tertawa sendiri. Cekikikan seperti kesurupan
setan, kadang juga nangis bombay keluar bawang … bawang putih, bawang merah,
lalu kami jual per kilo lima ribu. Eh salah, itu sawah sih. Tidak, itu tidak
benar. Mana ada setan yang berani merasuki Sono? Justru setan yang takut
kerasukan oleh Sono.
“Lihat
apa, Son?”
“Ha?”
Sono menoleh sebentar, lalu tertawa kembali. “Hahaa … hahaa.” Hanya itu yang
keluar dari mulutnya. Benar-benar khidmat, dia beribadah saja tidak sekhidmat
itu. Mungkin Sono sudah berpindah keyakinan.
Aku
baru paham, Sono tidak hanya tidak mengikuti apa yang kami bicarakan, tapi juga
tidak sedang berada bersama kami, aku dan Taufan. Dia sedang ada di dunianya
sendiri. Dunia yang begitu asik sehingga membuatku penasaran. Sono masih
cekikikan seenak jidatnya. Melihatku penasaran dengan keadaan jiwa Sono, Taufan
memberi peringatan, dia berubah menjadi Ustadz yang memperingatkan jamaah
yasinnya. Allah masih membukakan pintu
kalau kau mau bertaubat, wahai saudaraku.
Benar.
Taufan dan Sono sudah berteman dari awal kuliah, ketika mereka masih mahasiswa
baru yang cupu … dan aku lebih cupu lagi karena berasal dari negeri
antah-berantah. Sehingga Taufan tahu betul tentang Sono dengan segala
ketidakmanusiawiannya. “Gak sah direken, Chus. Arek iku mesti freak! Wes
biasa.” Kali ini peringatan Taufan tegas. Aku semakin penasaran. Kuputuskan
untuk mengubah arah dudukku menjadi searah dengan Sono. Kuintip apa yang
menyita perhatiannya, sampai hati melupakan kami yang ada di depannya.
Anime!
Sekilas, aku belum pernah melihat anime yang sedang ditonton Sono. Sepertinya
seru. Ini membuatku kembali ke masa di mana aku bertengkar dengan teman
sekelasku hanya karena aku mengagumi Sasuke dan mereka mendukung Naruto. Kami
perang jurus, berkelahi betulan. Aku kena jurus seribu bayangan, alias pukulan
bertubi-tubi. Aku menangis. Mereka menertawakanku. Lupakan, itu hina. Aku harap
amnesia.
“Kamu
juga suka anime ta, Son?”
Jreng!
suara gitar Bang Haji Rhoma terdengar. Sono melihat ke arahku. Matanya bersinar
seperti menemukan air di padang pasir. Berkaca-kaca. Di sisi lain, Taufan
mengangga. Semua kaget dengan pertanyaanku. Apa yang salah?
‘Juga’
menandakan si penanya merupakan penggemar anime. Ini berkah. Ini mukzizat. Sono
hanya mengangguk, tapi raut mukanya berkata lebih dari itu. Come on … there must be something else.
“Kamu
punya anime apa aja? Aku minta po’o!”
“Yahooo!
Ternyata kamu …” Sono tertawa.
“Loh
loh. Kon sisan Chus? Astaghfirullah,” Taufan lebih kaget. Dia syok sampai
melotot. Dia mengira aku adalah cewek normal meski sedikit cacat di otak. Kini,
harapannya untuk menemukan teman yang normal sudah sirna. Dia terlalu kaget
hingga mau pingsan. Aku lebih khawatir kalau Taufan pingsan. Siapa yang akan
sanggup menggendongnya? Aku tak kuat, semua tugas kuliah sudah teralu berat,
tapi badan Taufan tentu lebih berat. Ya Tuhan, selamatkan nyawaku … dan Taufan
berdoa agar Tuhan melindungi dia dari semua ketidakwarasan di dunia ini.
Kurenungkan
kembali, bagaimana Tuhan mempertemukan kami bertiga. Manusia-manusia unik yang
tiada duanya di dunia. Iya, unik hanyalah cara lain untuk mengatakan aneh. Kami
dipertemukan lewat mata kuliah dasar jurnalistik. Aku menjadi akrab dengan
Taufan, yang sejujurnya karena terpaksa. Taufan sendiri sebenarnya merasa ogah
dengan keadaan tersebut. Lantas Sono sebagai pasangan setia Taufan, secara
otomatis juga menjadi akrab denganku. Ditambah dengan segala kesamaan sifat dan
kegemaran. Dari situlah Genk Cacad mulai dirintis.
Komentar
Posting Komentar