Menjadi Tepat
Salam,
Akhirnya saya kembali menulis lagi. Kali ini saya menulis
dalam perjalanan menuju Surabaya. Saya baru saja membaca sebuah buku yang
inspiratif, tapi bukan itu yang ingin saya tulis. Saya ingin menulis tentang
perasaan saya. Sejauh empat bulan kami, saya dan kekasih, bersama. Beberapa hal
datang, beberapa hal terjadi, syukurlah kami masih bersama. Saya akan
menuliskannya beberapa di sini.
Kami tidak berlatar belakang studi yang sama. Saya tidak
banyak tahu tentang apa yang dia pelajari, begitupun dia tak banyak tahu
tentang apa yang saya pelajari. Meski begitu kami berusaha mengenal
masing-masing. Saya selalu mendengarkan ketika dia mulai bercerita mengenai hal
yang sedang dikerjakannya, begitupun dia banyak mendengar tentang ketertarikan
saya. Saya kadang tak mengerti apa yang dibicarakannya, meski sudah bertanya. Meski
begitu saya dengarkan saja, dia tahu saya tak paham. Beruntungnya, ilmu politik
adalah ilmu yang mungkin banyak sekali dibicarakan orang, banyak diberitakan di
media, sehingga dia paham apa yang saya bicarakan. Hanya kadang pemahamannya
berbeda. Kami berdebat, kadang bersepakat. Meski begitu, saya tidak selalu
berbicara tentang politik, lebih sering mengenai media, atau permasalahan
sosial yang dia tak sadari sebelumnya.
Kami juga menyukai hal-hal yang berbeda. Kami tidak bertukar
buku meski kadang penasaran dengan apa yang saya baca. Dia tak membaca
novel-novel fiksi romansa, psikologi remaja, ataupun non-fiksi yang saya suka.
Kami hanya terkadang bertemu di novel-novel mainstream seperti Hobbit, seri Harry
Potter, dan Da Vinci Code, lebih dari itu, dunianya adalah hal-hal realistis,
logis, dan sistematis. Tidak menghayal seperti saya. Saat bertemu, kami kadang
mencari topik yang kami ketahui bersama seperti sepak bola, Moto GP, Formula 1,
atau juga film. Seringkali berbicara soal apa yang kami kerjakan saat tidak
bersama.
Saya menyukai olahraga, begitupun dia, tapi tak juga sama.
Saya bermain basket, dia bermain bola, hanya terkadang. Saya suka mengikuti
pertandingan basket, atau sekedar menjadi suporter untuk club atau teman saya. Kadangkala muncul perasaan, mungkin jauh
lebih menyenangkan jika yang saya semangati adalah dia. Dia juga berpikiran
yang sama. Sejauh ini, saya tak pernah memberikannya dukungan saat bermain
bola, lebih tepatnya futsal. Karena memang, dia bermain di malam hari, ketika
semua urusannya selesai. Hanya agar berkeringat, dia juga bukan pemain handal,
sehingga tak pernah ikut kompetisi apapun dalam olahraga. Saya rasa begitu.
Sebagai ganti, saya menemaninya belajar untuk persiapannya ujian, atau mencari
buku-buku baru yang dia butuhkan, sambil mencari novel untuk saya sendiri.
Setelah lulus, saya banyak berada di Bojonegoro. Kami
terpisah jarak, tapi tidak terlalu menjadi masalah. Awalnya, saya berpikir
apakah bisa kembali menjalani hubungan jarak jauh, tapi semuanya mengalir …
setidaknya selama empat bulan ini. Kami rindu sebatasnya saja. Berkata ingin
bertemu, tapi tidak pernah merengek. Kami tahu kami bukan lagi anak kecil, yang
menganggap persoalan romansa adalah hal yang paling urgent sehingga boleh
mengabaikan urusan lain. Bagi kami tidak begitu. Dalam keadaan marah, kami
masih menimbang. Apakah di waktu ini kami boleh menelepon? Apakah tepat jika
kami datang? Apakah tepat mempermasalahkan hal ini? Suatu ketika kami
bertengkar untuk satu alasan. Kesibukan. Ini adalah hal yang sama seperti
hampir 2 tahun lalu, ketika kami masih masa penjajakan.
Untuk ukuran orang normal seusia saya, dia tergolong sangat
sibuk. Saya maklum, tapi kadang sebal juga. Saya tidak terlalu sibuk, hanya
kadang urusan organisasi, menjadi editor bahasa untuk skripsi dan penelitian
beberapa teman, membuatkan laporan keuangan Ayah, kadang hanya bersantai ria
sambil menulis novel dan membaca. Ketika jenuh dan dia sedang sibuk, saya lari
ke teman-teman saya. Tidak masalah, hanya kadang sebal, itu saja. Bagi dia
berbeda, sibuknya adalah perkara kewajiban, bukan bersenang-senang. Saat jenuh
dan bertepatan saya sedang dalam proses menulis, entah novel atau cerpen, saya
menolak ajakkannya keluar. Sekali dua kali, dia menerima, lantas protes.
Dianggapnya saya tidak perhatian. Dianggapnya saya hanya sedang membalas dendam
karena dia selalu sibuk. Bagi saya tidak. Jika sedang menulis, saya benar-benar
ingin sendiri, membebaskan pikiran saya. Saya bisa seharian, dari pagi hingga
tengah malam memandangi laptop atau kertas-kertas ketika sedang bernafsu
menulis. Ide harus saya salurkan, dan saya tidak mau diganggu. Dia berpikir itu
hanya alasan. Kami melewati itu semua, meski terkadang masih berdebat dengan
masalah yang sama. Kami membuat perjanjian yang harus kami patuhi, mengenai
batasan-batasan ataupun kekurangan kami masing-masing. Untuk itu, sejauh ini
kami tidak pernah bertengkar mengenai hal-hal yang sepele seperti kecepatan
membalas pesan, keharusan menelepon, atau keharusan mengantarkan kesana-kemari.
Untungnya semua itu tidak terjadi. Saya berusaha mandiri dan tidak manja, dan
dia mendukung. Saya merasa perlahan menjadi lebih dewasa. Entah dia yang
membuat saya seperti sekarang, atau situasi kami yang menjadikan kami. Sejauh
ini saya bersyukur, dia masih menjadi orang yang tepat bagi saya.
Komentar
Posting Komentar