Cerita Pendek : Insecure
Sekian lama kami saling diam,
tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Malam minggu ini seperti biasa, ketika
dia datang untuk bertemu (?). Kuhidangkan secangkir cappucino untuknya ,dan
secangkir cokelat panas untukku, lantas dia berkencan sendiri dengan laptop dan
urusan bisnisnya, sedang aku menenggelamkan diri dengan buku-buku fiksi,
pensil, dan kertas sketsa.
Kumisnya tipis, rambutnya sedikit
lebih panjang dari biasa, kantung matanya bertambah tebal, aku tahu banyak
urusan yang mengganggu pikirannya beberapa hari terakhir. Meski begitu kami
masih meluangkan malam minggu bersama. Sadar aku mengamatinya, dia meraih
tangan kananku dengan tangan kirinya. Mengusap tanganku dua kali, lantas
menggenggamnya. Kulepaskan genggamannya, lantas kudekatkan diriku, dan
merapikan rambutnya. Sekarang aku duduk tepat disampingnya, mengambil posisi
membelakanginya. Bersandar.
“Aku akan keluar kota esok lusa,”
ucapnya tiba-tiba.
Aku tak pernah terkejut mendengar
kalimat semacam itu, bahkan ketika dia mengatakan akan pergi detik itu juga.
Mungkin karena terlalu sering.
“Ke Makassar,” katanya lagi. “Kau
mau oleh-oleh?”
Didepanku, di lemari yang berdiri
hanya beberapa langkah dariku, masih ada kacang bali dan pie susu yang berjajar
dengan oleh-oleh lain sebelumnya. Kugelenggkan kepala.
“Kau mau ikut?” dia bertanya
sekali lagi, dan sekali lagi aku menggeleng. “Baiklah.”
Ruang tamu itu kembali hening,
memang seperti itu biasanya, tapi entah bagaimana menjadi terlalu sepi untukku.
Biasanya karekter buku akan muncul memenuhi pikiranku, tapi entah tulisan itu
hanya menjadi tulisan yang kubaca, bukan adegan yang kutonton. Kututup buku
setebal 500 halaman itu. Baru kusadar dia telah menutup laptopnya lebih awal.
Kulihat raut mukanya, dingin seperti biasa dengan pandangan yang selalu santai,
bahkan dalam keadaan rumit. Menyeramkan. Atau mungkin pikiranku yang terlalu
menyeramkan. Ketakutan-ketakutan tanpa alasan.
Bagaimana jika malam minggu
mendatang, kami bahkan tak punya waktu untuk saling melihat? Atau tak lagi mau
menyempatkan diri untuk saling melihat? Karena dia terlampau bosan dengan
kegiatan ini. Bagaimana jika pertemuan selanjutnya aku tak bisa menyandarkan
diriku dibahunya? Karena aku selalu membutuhkan pundaknya untuk bersandar, tapi tak ada dariku yang dibutuhkan olehnya, lantas aku satu-satunya yang merasa
kehilangan. Semenakutkan itu pikiran-pikiranku. Bagaimana mengatakan agar tak
membuatnya pergi? Mengatakan agar tak membuatnya melihatku lemah? Kuputuskan
untuk kembali diam dengan segala keributan yang tak kunikmati.
“Kenapa tak bicara?” Dia bertanya
untuk kesekian kali.
“Aku dapat membacamu. Kumis tipis
dan rambutmu yang mulai memanjang menunjukkan kau tak punya waktu untuk
mengurus dirimu beberapa hari ini, bisa jadi karena terlalu banyak pikiran atau
bahkan pekerjaan yang berat. Kantung matamu tebal, kau sering begadang untuk
alasan tertentu. Garis di pergelangan tanganmu menunjukkan kau terlalu banyak
mengetik. Parfum lebih banyak, tak ada waktu untuk mandi, kau langsung
mengendarai mobil ke mari. Kau bahkan tak sempat pulang ke rumah untuk
berganti. Hanya berganti kaos di mobil, kupikir kemeja dan jasmu masih ada di
kursi belakang, karena kau masih mengenakan celana kerjamu. Kau mengganti
sepatu ketika berhenti di jalan untuk sholat. Apa aku salah?”
Dia tersenyum, melirik ke arah
buku yang baru saja kututup. Menggeleng.
“Menurutmu, kenapa Sherlock memutuskan untuk
tidak menikah?
“Aku tak tahu. Bagaimana menurutmu?”
“Dia tak membutuhkan apapun
selain kerajaan pikirannya.”
Dia mengangguk, mengerti.
“Gadis-gadis mengaguminya,
mungkin juga mencintainya. Tapi kau tahu, tak ada yang membuat gadis merasa dirinya
berharga selain pasangan yang membutuhkannya…” kuhentikan kalimatku. “Apa kau
pernah merasa membutuhkanku?”
Aku menangkap sedikit ekspresi
terkejut di matanya. “Dua jam perjalanan untuk sampai ke sini setiap minggu. Untuk
dibuatkan cappucino yang bisa dibeli di café dekat kantor, tapi di sini bisa
dinikmati denganmu. Bisa melihatmu duduk tenggelam dengan novel-novelmu, dan mendengar
apa yang kau lakukan seminggu ini, atau bahkan cerita yang sama sekali tak
kumengerti. Aku butuh melihatmu, butuh tahu apa yang kau lakukan saat aku tak
ada. Apa itu cukup?”
Semanis biasanya, cokelat panas
yang telah dingin itu kuteguk.
*Cerita ini hanya fiktif. :)
Komentar
Posting Komentar