Salam, Untuk kedua kalinya di malam ini saya menulis. Kali ini saya ingin membahas topik yang sama namun berbeda. Menyaksikan seorang teman yang gugup hendak bertemu dengan sang pujaan, rasanya teringat ketika jatuh cinta (dulu). Cinta seperti apa? kali ini benar, tulisan ini membahas tentang cinta pada sesama manusia (?). Perasaan peduli kepada orang lain lebih dari diri sendiri, perasaan khawatir saat pujaan tak kunjung datang menemui, perasaan rindu saat tak berjumpa, perasaan sakit melihat deritanya, ya seperti itu kira-kira. Saya ingat, dia adalah orang pertama yang membuat saya jatuh cinta, orang pertama sekaligus penyiksa yang luar biasa. Tak sekalipun saat bersamanya saya katakan bahwa saya cinta. Fase denial karena dia sama sekali bukan tipe ideal yang saya mimpikan. Bukan lelaki dengan kecerdasan diatas rata-rata, bukan pendiam yang menyimpan sejuta misteri, bukan lelaki dewasa yang bisa bersikap manis dan memperlakukan perempuan dengan baik. Dia jauh sekali dari itu. ...
Itu adalah tujuh jam yang singkat, tetapi mata dan tubuh kami punya batas untuk merespon kemauan otak dan melanjutkan percakapan. Lalu, masing-masing kami harus melanjutkan perjalanan masing-masing. Pergi ke tempat tujuan masing-masing. Kupikir aku tak akan paham bagaimana bisa Celine memutuskan turun dari kereta dan menghabiskan sepanjang malam mengobrol dengan Jesse pada seri pertama Before Sunrise. Dua bulan lalu aku naik dari Surabaya menuju Jakarta. Seperti biasa kubuka buku, bukan untuk membunuh waktu-waktu bosan, tetapi untuk berjaga-jaga agar tak ada yang mengajakku bicara. Aku punya teori bahwa dua benda paling ampuh yang bisa melindungi manusia dari percakapan yang tak diinginkan adalah buku dan headset. Teori ini sudah kuuji dalam berbagai perjalanan darat, laut, dan udara. Kombinasi keduanya sangat dianjurkan bagi mereka yang menghindari percakapan basa-basi dan kecanggungan menghadapi orang asing. Kala itu kubawa satu buku Intan Paramaditha favoritku, Si...
"Jika dia datang padaku, maka aku akan berlari menujunya." Duduk, bengong, sambil melihat matahari tenggelam agaknya menenangkan. Entah kemana mataku tertuju. Apakah itu gradasi warna dari biru menuju abu terang, dan oranye semakin ke barat? ataukah itu awan-awan berwarna abu yang menggantung di langit-langit? kemana tepatnya mataku memandang, aku sendiri tidak tahu. Ketika kucoba untuk memikirkannya agar fokus pada apa yang ingin kuamati, aku justru terjatuh pada kesadaranku. Rasanya seperti merobek kertas lamunan untuk memastikan sesuatu yang aku sendiri tak tahu. Pasar turi ini stasiun paling bising dari semua stasiun yang ada di Surabaya. Meski begitu setiap stasiun selalu lebih menyenangkan untuk disinggahi. Seperti memunculkan harapan, meski hanya letupan kecil. Aku masih mendengarkan lagu yang direkomendasikan Arif pada pertemuan kami di kereta menuju Jakarta beberapa bulan lalu: Majelis Lidah Berduri, Mitsky, dan tentu saja lirik yang ia kutip pada bagian belakang ka...
Komentar
Posting Komentar