Puisi Kemarin
Tiga ketukan sebelum petikan gitar
dan tanganmu masih menggantung
di udara, merapal mantra dalam kepala
akankah kau petik pada detik pertama
lepas ketuk ketiga, atau
pada detik kedua setelah
menarik nafas dalam.
Kita menunggu dalam jeda waktu
sebelum malam tiba, dan
kita berdua harus kembali pulang.
Pernahkah kau bayangkan tiga ketukan
yang masing-masing berjeda sedetik,
untuk kita menahan nafas dan diam.
Apakah kau masih sama seperti dahulu?
Meraih gitar dan menyayikan lagu untukku
seraya bertanya bagaimana hariku.
Apakah kau masih sama seperti saat itu?
Memintaku menunggu untuk
merapikan penampilanmu, sebelum...
Sambil menunggu ketukan terakhir,
kupikirkan ulang mengapa kuambil
langkah mundur di stasiun kereta.
Bisakah kita bicara berdua kembali?
Duduk di tepi danau dari kejauhan
lampu-lampu kota, atau...
makan dan tertawa di tempat-tempat biasa.
Kurapikan isi kepalaku dalam puisi
yang masih berantakan
sambil memilih kata,
“aku ingin memesan kemarin,
yang belum terselesaikan dengan baik."
dan biarkan, semua yang tak terucap
lesap di tanah tandus bersama hujan,
menguap kemudian oleh mentari pagi.
Aku tak menyiasati puisi, dan
kau kubiarkan kembali memetik senar.
Komentar
Posting Komentar