Mawar Hitam dan Tiga Pedang Menghujam Hati
Aku duduk di
teras sebuah Musala, menunggu Ari datang. Pesanku di WhatsApp baru centang dua,
belum berwarna biru. Baru sesaat kemudian dia menjawab jika dirinya baru saja
bangun. Butuh setengah jam untuknya sampai ke tempatku.
“Mau ke mana?”
tanyanya. Kami belum merencanakan mau pergi ke mana, bahkan sejujurnya
kedatanganku ke kota ini, Kota di perbatasan antara Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah, juga tidak terencana. Aku hanya ingin dan
kemudian berangkat ke sini.
“Entah. Ke mana
saja.” Sembari naik ke motornya aku sebetulnya tengah memikirkan ke mana kami
harus pergi. “Nol kilo meter jauh?” tempat yang pernah dia sebut dalam
ceritanya.
“Nggak juga. Mau
ke sana?”
“Yup!”
Kubetulkan posisi dudukku. Ada yang kusadari ketika itu, moodnya tidak dalam kondisi yang baik. Entah karena baru saja
bangun dari tidur, entah karena aku datang tiba-tiba, entah karena dia harus
membatalkan janjinya, entah sedang malas bertemu denganku, atau hal lain yang
tidak bisa kuterka.
Aku rindu
manusia di depanku, yang sedang memboncengku. Manusia dengan jaket merah
converse dan celana denim pendek. Dia tiba-tiba menarik dirinya ketika aku
menyandarkan kepalaku di punggungnya.
“Aku mau
nyender,” ucapku padanya.
“Nggak usah.”
Ada apa? Ada apa
dengan penolakan ini? Ada apa dengan laki-laki yang tempo hari memintaku untuk
membuka diri, menyampaikan keinginannya untuk bersandar di bahu atau rebah di
pangkuanku? Ada apa dengan laki-laki ini? Aku terus bertanya sepanjang jalan.
Aku seketika memikirkan hal-hal buruk tentang kedekatannya dengan perempuan
lain, perempuan yang dia pernah sebut dalam ceritanya suatu malam, yang dalam
pandangannya begitu menarik karena mengatahui banyak hal yang dia ingin tahu;
matematika, seni, dan sebagainya. Mungkinkah? Belakangan dia juga jarang sekali
merespon pesanku. Dia bahkan mengabaikannya jika terdengar klise. Aku tidak
sanggup untuk tidak marah. Kami diam sepanjang perjalanan.
Sesampainya di
tempat yang dituju, dia menawariku untuk membeli camilan, aku menolak. aku
menolak untuk ikut masuk ke dalam mini market. Dia kembali, berdiri di depanku.
“Kamu mau makan
apa?”
“Nggak.”
“Beneran?”
Aku kembali
menggeleng. Dia pergi. Sungguh kencan
macam apa ini? Pekikku dalam hati. Aku benar-benar diliputi kemarahan.
“Mau siomay?”
Aku kembali
mengeleng, lalu pergi meninggalkannya. Aku berkeliling sendiri mencari tempat
duduk. Terlalu ramai, aku tidak suka bergabung dengan orang-orang asing. Kemudian
aku menemukan satu titik di mana aku bisa bersandar. Bukan tempat duduk tentu
saja. Di bawah sebuah monumen, aku duduk menyilangkan kaki. Dia menyusul sesaat
kemudian. Sejak kejadian di atas motor, aku sama sekali tidak ingin memulai
pembicaraan. Marah cenderung sedih. Jika kukatakan, maka aku akan menangis,
maka kutahan segalanya. Dia tidak mau memulai pembicaraan. Kami diam sekitar
empat puluh menit. Dia berkali-kali berdehem, aku tidak menggubris dan memilih
untuk bercerita pada temanku lewat pesan WhatsApp tentang kekesalanku.
Aku terus
menunggu dia memulai pembicaraan, tapi tidak ada satu patah kata pun yang
keluar, dan itu benar-benar membuatku lebih marah. Dia bahkan tidak menghargai
kehadiranku di sini, untuk dia, untuk bertemu dengan dia. Aku benar-benar
marah, sedih, dan segalanya bercampur, sampai kukatakan, “Ayo pulang!” aku
sudah tidak tahan. Aku akan menangis di perjalanan, tidak di depannya.
“Pulang atau
pindah?”
“PULANG!”
Aku sama sekali
tidak menatapnya.
“Ayo makan.” Dia
menawariku dalam perjalanan pulang.
“Nggak!”
“Makan dulu.” Ucapnya
sekali lagi sembari membelokkan arah menuju rumahnya.
“NGGAK MAU!”
Kutarik jaketnya untuk memastikan bahwa dia mendengarkanku. “PULANG!”
Dia mengantarku
kembali ke stasiun. Aku turun tanpa berkata apa-apa padanya. Pulang dengan
perasaan kesal, marah, sedih, dan segalanya. Ini harus berakhir! Memang tidak
pernah benar-benar dimuai, tapi aku harus mengakhiri semuanya. Bulan tengah
bersinar di atas atap Stasiun kala itu. Satu tahun lalu, purnama yang
sama, aku mulai mengenalnya. Purnama kali ini, aku benar-benar harus
mengucapkan selamat tinggal. Sebenar-benarnya selamat tinggal. Sesungguh-sungguhnya
perpisahan.
Komentar
Posting Komentar