Hamsun Datang Malam Ini
Di bawah sinar lampu paling
terang di taman Rajekwesi, reading club kembali dilaksanakan kemarin. Ini
adalah bagian dari upaya kami untuk mengubah fungsi taman kota yang semula
digunakan muda-mudi untuk berkencan, menjadi tempat berbagai kegiatan positif,
salah satunya adaah membaca. Seperti yang kujelaskan pada catatan-catatan
sebelumnya, banyak orang lalu-lalang memandangi kami dengan sangsi. Tapi, tak
mengapa. Hal ini lambat laun akan dianggap wajar jika dilakukan terus-menerus,
malah mungkin, akan dicontoh oleh beberapa komunitas pembaca lain.
Malam itu, ketika aku sampai, Mas
Wisnu sudah lebih dulu di tempat. Dia sedang sibuk memikirkan design logo.
Setelahku, datanglah Dinal, lalu Mas Risky. Dinal hanya mampir sebentar, lalu
pergi. Kukira, ada suatu hal yang menjadi alasannya datang, tapi setelah dicari
ternyata tak ada. Sebelumnya Nisa mengatakan akan datang, tapi tak kunjung
sampai. Mungkin ada keterkaitan antara keduanya. Mungkin.
Selepas Dinal pergi untuk bermain
musik, aku, Mas Wisnu, dan Mas Risky melanjutkan pembacaan. Sebelumnya, kami
berhenti pada halaman 28. Saat di mana tokoh ‘aku’ hendak pergi mengambil
pensilnya kembali di Rumah Gadai.
“Pada kaki bukit Slotsbakken, aku melewati dua orang perempuan. ketika
lewat, tak sengaja tersenggol lengan yang satu. Aku menatapnya, wajahnya gemuk,
agak pucat. Tiba-tiba mukanya menjadi merah padam dan cantik tak terhingga –
aku tak tahu sebabnya; mungkin oleh karena sepatah kata yang diucapkan orang
padanya sambil lewat, mungkin oleh karena suatu pikiran bisu yang lewat dalam
dirinya. Ataukah karena aku menyenggol lengannya? …”
Sepintas paragraph ini biasa
saja, tapi kami menyadari kekuatan Hamsun. Kekuatan itu adalah mendeskripsikan
momen paling singkat sekalipun. Sebenarnya, kekuatan ini bisa kita sadari sejak
kita mulai membaca lapar. Bayangkan, momen bersenggolan itu adalah peristiwa
yang singkat sekali, hanya sepersekian detik. Tapi oleh Hamsun, moment itu
bahkan bisa dibuat cerita beberapa paragraph, bahkan halaman. Setiap detail
digambarkan, sehingga pikiran kita mampu membayangkan ‘aku’ dalam keadaan
sejelas-jelasnya. Tokoh aku bahkan sempat memikirkan perubahan wajah gadis yang
secara tak sengaja telah ia senggol lengannya. Ia bahkan sempat berteori
perihal apa yang membuat perubahan wajah dari gadis itu sehingga menjadi cantik
yang tak terhingga. Luar biasa, bukan?
Hal lain, dan tentunya sudah kami
bahas di paragraph sebelumnya (yang berarti pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya), adalah betapa mudahnya suasana hati tokoh ‘aku’ berubah. Baru saja
dia marah, memaki, menendang karena telah meninggalkan pensil di saku jas yang
ia gadaikan, yang lantas menjadi alasan memburuknya suasana hati. Sesaat
kemudian, dia membangun harapannya kembali dengan membayangkan betapa idenya
yang hebat akan ‘Kesadaran Filsafat’ akan sangat dibutuhkan. Menjadi
pertolongan besar bagi generasi muda. Lalu suasana hatinya kembali berada di
puncak. Hal ini membawa ingatan kami pada nihilisme. Betapa fananya perasaan
senang dan sedih itu. Betapa absurdnya kehidupan ini. ‘Aku’ membangun kuat-kuat
harapan dan perasaan senang, lalu hidup menjatuhkannya kembali lagi, dan lagi,
tapi apa yang membuat manusia itu ada (eksis) menurut Camus adalah
perlawanannya pada dunia yang absurd, yaitu dengan membangun harapannya lagi
dan lagi. Menolak kefana’an dan menjadi eksis, ada.
Di satu sisi, saya merasa ada
yang salah dengan kejiwaan tokoh ‘aku’ karena suasana hati yang begitu cepat
berubah, naik menjadi turun, dan sebaliknya, dan begitu mudah dipengaruhi oleh
hal-hal kecil yang sepele. Namun di sisi lain, saya merasakan perjuangan yang
hebat melawan keterpurukan dan penderitaan yang dia alami. Kami akhirnya paham,
mengapa ‘Lapar’ begitu menginspirasi banyak penulis besar di dunia.
Pada paragraph selanjutnya,
ketika tokoh aku terpikirkan sebuah ide untuk menjahili perempuan yang tak
sengaja ia senggol itu, ia merasakan ada kebahagian yang tak terhingga.
Kebahagiaan yang membuatnya melayang, tidak seperti dirinya. Perasaan merasa
bersalah tapi juga senang yang tak terkira. Kira-kira, bagaimana rasanya? Kami
dibuat tertawa oleh cerita ini. Maka dengan ini kita bisa mengetahui betapa
berbedanya imajinasi penulis dengan orang lain pada umumnya. Konsep kesenangan,
detail kejadian, dan banyak lainnya.
Sepanjang pembacaan, kami – aku,
Mas Wisnu, dan Mas Risky tak henti-henti memvisualkan ‘Lapar’, dan orang yang
paling sesuai untuk memenuhi imajinasi kami dalam menghidupkan tokoh ‘aku’
adalah Mas Tohir. Dengan rautnya yang seolah menahan segala beban berat di
dunia ini, tapi juga sekuat tenaga melakukan pemberontakan dengan membuat
kesenangan-kesenangan kecil bagi dirinya sendiri. Ya, Mas Tohir paling cocok
memerankan ‘aku’. Lebih-lebih, beberapa hari lalu, ia tertimpa kesialan yang
luar biasa, namun begitu, kemarin, meski sungguh sangat terlambat, dia datang
dengan senyuman. Duduk dan menertawakan kesialannya.
“Hamsun datang malam ini.” Begitu
ujar Mas Risky menyambut kedatangan Mas Tohir.
Aku dan Mas Wisnu tertawa. Kami
baru saja membicarakan Mas Tohir, dan dia datang. Benar, Hamsun mendatangi kami
malam itu. Dan pertemuan kami ditutup oleh guyonan mengenai Mas Wisnu beserta
tas ransel kecilnya yang tampak tak sesuai.
Komentar
Posting Komentar