Tidak Ada Jawaban
Malam
itu Bana mengantarkan Laras ke stasiun Pasar Senen. Mereka masih punya satu jam
sebelum kereta Laras berangkat pukul 23.15 nanti. Lalu, duduklah mereka memesan
mie ayam dan baso di depan stasiun.
Mereka
menyantap mie yang dihidangkan. Laras tak berselera, karena mie yang
dihidangkan tak direbus hingga matang. Hal itu terlihat dari mie yang masih
berwarna kekuningan dan sedikit kaku. Bana yang lapar hanya menyantap, tidak
peduli apakah rasanya enak atau tidak. Ini perkara lapar, yang konon membuat
apapun yang dimakan, akan terasa nikmat.
“Apa
kamu harus pergi sekarang?” Tiba-tiba saja Bana menanyakan hal itu kembali.
Pembicaraan ini sudah lebih dari yang ke-sepuluh kalinya, dan tentu saja Laras
akan memberikan jawaban yang sama. Tetapi kali ini lain, Laras hanya melihat
saja.
“Kamu
akan kembali minggu depan, kan?” secepatnya Bana memperbaiki pertanyaannya.
“Ban?”
“Ya?”
“Kita
sudah bicarakan hal ini ratusan kali.” Laras menatap mata sahabatnya dalam.
“Aku butuh liburan.”
“Kita
bisa pergi ke Bogor, ke puncak, kalau kamu mau?”
“Liputan
lagi? Ketemu orang-orang itu lagi? Sudahlah, Ban. Aku bosan di sini-sini terus.
Aku jenuh, dan aku butuh menyegarkan kembali otakku dari macam-macam rutinitas
ini.”
Bana
diam. Dia tahu tidak ada yang bisa melarang Laras ketika sudah berkemauan.
Tidak juga dirinya. Kemudian, disematkan poni laras di balik telinganya oleh
Bana.
“Ponimu
sudah mulai panjang,” ujar Bana.
Sambil
memakan mie yang terlanjur dipesan, Laras hanya mengangguk. Begitu selesai,
mereka segera bergegas menuju gerbang keberangkatan. Di satu sisi, Laras
merasakan semangat yang membara dalam tubuhnya, bahwa ia akan segera menjelajah
tempat baru yang sama sekali belum ia ketahui. Ia akan turun di sembarang
stasiun yang dianggapnya menarik, dan melakukan ekspedisi liarnya sendiri …
meninggalkan Bana. Lalu Bana? Dengan perasaan khawatir yang tanpa sebab, masih
akan berusaha menggoyahkan hati Laras. Apapun yang terjadi. Sehingga Laras akan
pulang kembali bersamanya menyusuri jalanan ibukota.
“Kalau
kamu berubah pikiran, segera telepon aku.”
“Baannn,
please!”
“Hanya
kalau kamu berubah pikiran. Aku bilang KALAU.” Bana menegaskan kata
terakhirnya.
“Oke,
tapi itu nggak akan terjadi. Sekarang kamu pulang, istirahat. Tidur, besok kamu
ada janji sama orang PARA Syndicate, oke?”
Bana
mengangguk. Ini benar-benar kesempatan terakhirnya untuk membujuk Laras.
“Pokoknya, hubungi aku begitu kamu berubah pikiran.”
“Aku
akan hubungi kamu untuk cerita.” Laras sedikit berlari menuju bagian
pemeriksaan tiket. Dia melambaikan tangan kepada Bana dan menyuruhnya untuk
segera pergi. “Sudah. Pulanglah!”
Sampai
Laras menghilang di balik kerumunan, Bana tak juga beranjak dari tempatnya.
Perlahan dimasukkan tangannya ke dalam saku. Untuk sekadar memastikan bahwa
benda di dalam kantongnya masih ada. Masih aman. Sebuah cincin yang dibeli
sejak seminggu lalu. Cincin yang dibeli dengan tabungan yang ia sisakan dari
gaji tiap bulannya selama dua tahun. Selama itu juga dia telah yakin bahwa
persahabatannya dengan Laras sudah berakhir, yang sudah ia ubah dengan kasih
sayang antara laki-laki kepada perempuan.
***
Tepat
satu minggu setelah keberangkatan Laras, Bana kembali menjemputnya di stasiun
Pasar Senen. Telepon semalam menunjukkan betapa bahagianya Laras akan
perjalanannya. “Ban, aku senang dengan perjalananku ini. Sepertinya aku sudah
menghabiskan jatah bahagiaku selama di sini.” Begitu katanya dalam telepon.
“Ah, aku senang sekali. Sampai-sampai aku rela jika harus mati di sini.”
Bana
tak suka dengan ucapan Laras, tapi Laras mungkin sedang senang sekali. Ia
memang suka meluap-luap dan berlebihan saat menggungkapkan perasaannya. Bana
harus maklum itu. Dia membiarkannya saja.
Satu
jam lagi. Satu jam dari sekarang, Bana akan memberikan cincin itu pada Laras.
Satu jam setelah ini, maka persahabatannya dengan Laras akan berakhir. Entah
berubah menjadi hubungan asmara, atau berakhir sama sekali. Ini adalah
pertaruhan, dan Bana memutuskan untuk bermain. Untuk menang atas perasaannya,
atau kalah sama sekali. Tak lagi memiliki apapun untuk bersama Laras.
Tibalah
saatnya. Kereta Laras sudah tiba. Jantung Bana berdebar. Sebentar lagi
pertaruhan itu akan dimulai. Bana melihat Laras keluar dari balik pagar besi.
Gadis itu berlari, dia terlihat senang sekali. Bana melambaikan tangan. Mereka
berpelukan.
“Aku
senang sekali, Ban.”
“Ceritakan
padaku tentang perjalananmu!”
“Oke.
Akan kuceritakan dengan detail dan sampai tuntas soal apa saja yang kutemukan
di sana.”
“Baik,
tapi sebelumnya kita cari tempat makan dulu. Kamu mau makan di mana?”
“Aku
mau es campur di depan Taman Makam Kalibata.”
“Baik,
kita akan ke sana.”
Mereka
bergegas menuju tempat parkir motor. Sembari menerobos kemacetan Jakarta, Laras
tak hentinya bercerita mengenai orang-orang yang ia temui di stasiun tempat ia
berhenti. Ia senang bukan main tentang perjalanannya. Ternyata ia tak hanya
mendatangi satu kota, melainkan tiga. Iya tiga kota dalam satu minggu. Sinting
memang. Dia menginap di Masjid-masjid atau rumah warga yang bersedia
menampungnya. Dan bahkan, ia bercerita bahwa satu hari ia tidur di stasiun,
mengobrol dengan ibu-ibu penjual nasi pecel di sekitar stasiun.
“Kamu
tidur di stasiun itu, di mananya?”
“Di
kursi tunggu. Ngobrol juga sama Satpam di situ sampai pagi. Yaaa, nggak
pagi-pagi juga, sih.”
Bana
geleng-geleng. Ia selalu tak habis pikir dengan tingkah Laras. Tapi bukankah
ada hal yang harus diberitahukan Bana? Segera ia mengatur nafas begitu Laras
sibuk dengan es campur di depannya.
“Ras?”
“Ya?”
Bana membetulkan letak duduknya. “Aku
ingin bicara sesuatu sama kamu.”
Laras
diam. Dia sudah menyadari ini dari lama. Semenjak Bana mulai bersikap posesif
terhadapnya, terlalu protektif dengan apa-apa yang dilakukan. Dia tahu
perubahan itu.
“Aku
mau ….”
“Ban,
bisa kita hentikan saja pembicaraan ini?”
“Maksudmu?”
“Aku
tahu apa yang akan kamu bicarakan. Jadi, mari kita sudahi ini.”
Bana
hanya melongo. Dia terkejut. “Apa yang sudah kamu ketahui?” tanyanya tak yakin.
Laras
menatap lurus mata Bana. Dia hanya diam, tidak mengatakan apapun, dan
sepertinya memang tidak berniat menjawab pertanyaan Bana. Sekian detik itu,
entah apa yang sudah disampaikan lewat tatapan mata Laras.
Sebentar, Bana menunduk. Mengambil nafas, dan
kembali menatap Laras. “Jadi kamu sudah tahu?”
“Ya.”
Tegas jawaban itu diberikan. Tidak mengandung sedikitpun keraguan.
Mereka
saling berpandangan. Ada jeda yang panjang, yang diisi oleh keheningan. Laras
harap Bana sadar, bahwa Bana lebih berarti dari sekadar hubungan pacar-pacar’an yang diposting di media sosial, atau lelaki
yang dibawa ke pesta bersamanya. Bana lebih berarti dari hubungan yang
diracuni cemburu dan pertengkaran, yang bagi Laras sendiri, tidak bermutu. Bana
lebih dari itu.
Bana
masih menatap dalam mata laras. Mencari jawaban atas pertanyaan yang hampir
saja diberikan, atau mungkin, lebih tepatnya, dia mencari alasan yang menjadi
dasar Laras untuk menghentikannya. Laras tak punya laki-laki yang sedang dekat
dengannya, tidak juga laki-laki yang tampak disukai. Apa selama perjalanan itu
Laras bertemu lelaki yang membuatnya jatuh hati? Tapi, semudah itu Laras jatuh
hati? Tidak. Lantas apa? Apa yang membuat Laras seketika menghentikan niat Bana
mengutarakan perasaan? Ah, rupanya … Bana sadar. Dia pada akhirnya mengerti
jalan pikiran Laras, tidak, dia sudah mengetahui. Perasaannya pada Laraslah
yang membuat dia buta. Mereka tidak perlu apa-apa lagi untuk dikatakan. Mereka melanjutkan
makan.
Komentar
Posting Komentar