Teruntuk Kamu, Satu Lebih Tujuh
Teruntuk kamu,
tepat satu tahun dan tujun bulan, aku mulai mengenalmu. Baju
merah bergaris, raut mukamu serius. Aku duduk di anak tangga yang hanya
berjumlah tiga, mendengar kamu dan teman-temanmu saling bicara. Aku tak
mengerti bahasan itu, aku bukan bagian. Kamu datang berkenalan, sebatas
basa-basi untuk menjadi teman. Tak satupun dari kita tahu, dari sanalah semua
bermula … mungkin.
Candaan teman-temanmu, sikap anehmu … dan kutahu saat itu
kamu mencoba. Pesan pertama darimu, ucapan terima kasih karena telah datang dan
membantu. Baiklah, mari kita coba. Perjanjian yang tertunda, waktu yang
terbuang untuk menunggu, sikap acuh dan egoisku … apa aku mengecewakanmu? Saat
itu kita tahu, percobaan kita tak bisa berlanjut … dan kamu hilang, aku hilang.
Labolatorium itu kosong, tak menyisakan siapapun.
Tujuh bulan lalu, tak kutahu apa yang membawamu kembali pada
percobaan ini. Aku tahu betul, masih ada yang menahan kita di belakang.
Tidakkah ini terlalu memaksa? Tidakku yakin … tidakku meragu … tidakku meluluh. Kita kembali pada Lab. percobaan. Kamu temanku, teman yang menemani.
Sederhana sekali, seperti waktu-waktu yang kita habiskan
menunggu kereta. Sederhana sekali percakapan kala itu. Entah lari ke mana rasa
canggung kita … yang kurasakan hanya kembang senyum dan tawa melepas. Ketika
kereta datang dan aku berpamit pulang, kamu berdiri tanpa beban. Melangkah
pergi mendahului … dan aku melihat punggungmu. Jika kunaiki kereta ini, maka
dia akan membawaku jauh. Nyatanya, berjarak tak seluka itu.
Hei, apa senyummu selalu selebar itu? Baru ini kuperhatikan.
Kurenungkan waktu yang berlalu selama itu, setahun dan tujuh bulan. Deretan
prasangka masa lalu, pertengkaran karena waktu, kesibukanmu, dan keegoisanku.
Apa percobaan kita berhasil? Tidak satupun dari kita tahu. Inilah proses
percobaan, pencarian, mungkin juga penemuan. Kamu temanku, rekan yang berjalan
bersamaku, dan aku telah berpindah … padamu.
Ditulis di Bojonegoro, 5 Oktober 2015.
Komentar
Posting Komentar